Kamis, 22 Desember 2011
KASUS MESUJI BUKAN BASA BASI
Selasa, 08 November 2011
TAHURA SEMAKIN MENANGIS
(Direktur Eksekutif Pengurus Pusat Garuda Sylva (Garsy) 2010-2012; Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Daerah Lampung 2010-2014; Wakil Sekretaris DPD KNPI Provinsi Lampung 2010-2013)
Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (2003), target Lampung adalah salah satu provinsi yang memiliki kawasan hutan 30% dari total luas 1.004.735 hektare (ha). Hal tersebut didasarkan pada Perda No. 5/2001 tentang Penataan Ruang Provinsi Lampung, SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 256/Kpts-II/2000, tanggal 23 Agustus 2000, terdiri atas Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam (462.030 ha), kawasan hutan lindung (317.615 ha), hutan produksi terbatas (33.358 ha), dan hutan produksi tetap (191.732 ha).
TAMAN Hutan Raya (Tahura) menurut UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem yaitu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli, dan/atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, budaya, pariwisata, serta rekreasi. Sedangkan Tahura menurut fungsinya yaitu termasuk dalam hutan lindung. Menurut UU No. 41/1999, hutan lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Bagaimana dengan kondisi Tahura saat ini? Sangat sedikit media cetak maupun elektronik mengekspos sebuah liputan khusus yang menggambarkan kondisi Tahura yang dimiliki oleh Lampung. Memang secara sepintas Tahura jika dilihat dari kejauhan, seperti dari Kota Bandarlampung terlihat bukit yang memanjang nan hijau. Bila kita mencoba melihat dari dekat baik pendakian maupun pesawat udara, akan kita temukan kondisi yang sebenarnya. Yaitu kondisinya yang botak-botak dan rusak.
Taman Hutan Raya kondisinya saat ini memprihatinkan, sepanjang mata memandang hamparan cokelat; kopi; bahkan tanaman semusin seperti padi, cabai, tomat, dan jagung, banyak kita temui di Tahura.
Sedikit sekali hamparan pepohonan berikut satwa-satwa yang biasa ditemui seperti burung rangkong, siamang, kera ekor panjang, kancil, beruang madu, dan kijang.
Pada 2005 survei yang diadakan oleh Garsy masih menemukan beberapa titik yang masih terdapat wilayah berhutan dan beberapa satwa-satwa liar di atas. Pada 2007 Garsy bersama Himpunan Mahasiswa Kehutanan (Himasylva) Unila menemukan kondisi kawasan yang semakin terdegradasi akibat pengolahan lahan. Bahkan, kami melihat penebangan pohon-pohon hutan untuk diganti dengan tanaman produksi seperti cokelat dan kopi.
Begitu juga perburuan/penangkapan beberapa satwa yang dianggap sebagai perusak tanaman produksi masyarakat yang mengelola lahan kawasan hutan tersebut. Memang tidak dipungkiri kini sudah banyak masyarakat yang sudah menduduki Tahura untuk mengolah lahan tersebut guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, ada juga yang berani membangun perkampungan (talang) secara tetap (bangunan permanen) hingga bertahun-tahun.
Apakah hal ini terus dibiarkan oleh kita semua. Mengingat, fungsi Tahura yang sangat penting yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini? Apakah pemerintah kabupaten/kota, Dinas Kehutanan provinsi, atau masyarakat yang mengelola kawasan hutan?
Mengingat keberadaan Tahura yang lintas kota/kabupaten, seperti Pesawaran dan Bandarlampung. Maka, wilayah kelola Tahura berada di wilayah pengelolaan provinsi yang sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan Tahura oleh gubernur atau bupati/wali kota Pasal 1 ayat 1 point a, yaitu memberikan tugas pembantuan pengelolaan Taman Hutan Raya kepada Gubernur sepanjang wilayah Taman Hutan Raya yang bersangkutan berada pada lintas Kabupaten/Kota.
Apa saja yang dilakukan sampai kini oleh gubernur Lampung dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi untuk pengelola Tahura belum dianggap maksimal, walau penambahan jumlah personel polisi kehutanan (polhut). Selain itu, personel pegawai Dinas Kehutanan juga belumlah dapat menjawab permasalahan di lapangan. Saat ini yang dibutuhkan yaitu adanya sinkronisasi kebijakan yang dapat mengakomodasi semua pihak. Baik pemerintah, masyarakat, akademisi, maupun NGO.
Selain itu, aksi nyata yang berkesinambungan di lapangan untuk melaksanakan program-program yang bukan berorientasi pada keproyekan tetapi berorientasi pada kesadaran untuk mengembalikan fungsi dari Tahura dengan program-program untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah lebih diutamakan. Maka, seharusnya berbagai program yang lintas sektoral di atas didukung penuh oleh pemerintah pusat. Sehingga, dana kehutanan bukan sekadar dihabiskan untuk biaya-biaya operasional kedinasan, bantuan, dan administrasi perkantoran. Semoga slogan Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera dapat terwujud sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33. (*)
Tulisan ini dipublikasikan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/43347-tahura-semakin-menangis
Selasa, 01 November 2011
Tamu
Halaman rumah kita bagaikan cermin pribadi kita, kita persilahkan masuk tamu-tamu kita sesudah dalam rumah kita bersihkan.
Sabtu, 29 Oktober 2011
PEMUDA SEBAGAI PENERUS CITA-CITA BANGSA (Refleksi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober)
Kamis, 27 Oktober 2011
Syair Kerinduan kepada Dzat Pencipta Jagad Raya
Tuhan dalam rinduku aku termangu, dalam sepiku aku mengadu.
Tuhan tidaklah Engkau janjikan kepada umat Muhammad atas seribu sati janji tanpa ada usaha dari umat Muhammad, namun saat ini aku belumlah pantas untuk menjadi umat yang taat.
Begitu juga aku juga tidak menginginkan menjadi umat yang tidak taat atas perintah-perintahMu.
Jikalau aku mengadu, seribu satu manusia mencaciku bahkan menjadikan aku orang kafir, sehingga aku pantas untuk diperangi olehnya.
Tuhan Yang Maha Melihat, aku juga merasa berdosa atas nikmat yang Engkau berikan yang telah aku pergunakan untuk kesia-siaan, bahkan aku juga pantas untuk menyandang umat yang kufur.
Tuhan, aku ini umat yang paling hina, bahkan lebih hina dari binatang. Bagaimana tidak, bahkan Engkau lebih tahu atas nafsu hatiku, nafsu akalku.
Aku hinakan diriku, sehingga aku disebut-sebut orang menjadi orang atheis, sehingga aku pantas disandangkan orang yang kafir dan pantas untuk diperangi.
Tuhan Yang Maha Suci, inilah diriku yang selalu mengadu kepaMu disaat-saat kekosongan waktuku untuk mendapatkan ridhaMu.
Tuhan, biarkan aku dicampakkan oleh orang-orang yang menganggap dirinya berhak mewakili firman-firmanMu dengan seribu bahkan sejuta kata kafir, kufur, atheis, dan masih banyak predikat yang diberikan untukku.
Tuhan, aku ikuti jalanMu melalui jalan para pencari kebenaran di muka bumi, bukan jalan orang yang membenarkan dirinya atas nama jalanMu. Maka ampuni aku.
Lampung, 27 Oktober 2011
Syair Kerinduan kepada Dzat Pencipta Jagad Raya
Tuhan dalam rinduku aku termangu, dalam sepiku aku mengadu.
Tuhan tidaklah Engkau janjikan kepada umat Muhammad atas seribu sati janji tanpa ada usaha dari umat Muhammad, namun saat ini aku belumlah pantas untuk menjadi umat yang taat.
Begitu juga aku juga tidak menginginkan menjadi umat yang tidak taat atas perintah-perintahMu.
Jikalau aku mengadu, seribu satu manusia mencaciku bahkan menjadikan aku orang kafir, sehingga aku pantas untuk diperangi olehnya.
Tuhan Yang Maha Melihat, aku juga merasa berdosa atas nikmat yang Engkau berikan yang telah aku pergunakan untuk kesia-siaan, bahkan aku juga pantas untuk menyandang umat yang kufur.
Tuhan, aku ini umat yang paling hina, bahkan lebih hina dari binatang. Bagaimana tidak, bahkan Engkau lebih tahu atas nafsu hatiku, nafsu akalku.
Aku hinakan diriku, sehingga aku disebut-sebut orang menjadi orang atheis, sehingga aku pantas disandangkan orang yang kafir dan pantas untuk diperangi.
Tuhan Yang Maha Suci, inilah diriku yang selalu mengadu kepaMu disaat-saat kekosongan waktuku untuk mendapatkan ridhaMu.
Tuhan, biarkan aku dicampakkan oleh orang-orang yang menganggap dirinya berhak mewakili firman-firmanMu dengan seribu bahkan sejuta kata kafir, kufur, atheis, dan masih banyak predikat yang diberikan untukku.
Tuhan, aku ikuti jalanMu melalui jalan para pencari kebenaran di muka bumi, bukan jalan orang yang membenarkan dirinya atas nama jalanMu.
Maka ampuni aku.
(Syair Kerinduan kepada Dzat Pencipta Jagad Raya. Lampung, 27 Oktober 2011)
Kamis, 20 Oktober 2011
BERSIH-BERSIHLAH TNBBS
Media masa, baik cetak maupun elektronik, di Indonesia khususnya Lampung sedang ’’Geger’’. Geger dalam arti ramai membicarakan tentang peristiwa yang mungkin hampir sama motifnya di zaman Orde Baru. Yaitu penurunan perambah yang menduduki kawasan hutan konservasi.
NAMUN, pascareformasi menjadi titik baliknya para penggarap di kawasan hutan untuk memberanikan diri ’’adu nyali’’ memasuki areal kawasan hutan. Seperti di daerah resort Ngambur, Balaikencana, Sukarajaatas, Rataagung, Pugungtapak, Waynipah, Tampang, Biha, Pemerihan, Balikbukit, dan Lombok. Menurut data per Desember 2010 Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS), jumlah luas areal yang sudah dirambah yaitu 61.786 hektare dengan jumlah kepala keluarga (KK) 16.214. Angka luasan wilayah dan jumlah KK yang ’’mencengangkan’’, di mana salah satu kawasan konservasi di Indonesia memiliki jumlah perambah yang sangat banyak dibanding luas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang hanya 355.511 ha.
Belum lama ini, berita di media cetak memberitakan tentang penurunan perambah pada beberapa resort di TNBBS. Antara lain, resort Ngambur, Balaikencana, Sukarajaatas, dan Rataagung dengan total luas areal yang dirambah yaitu 15.527 ha yang terdiri 2.385 KK (data BBTNBBS, 2011).
TNBBS merupakan salah satu taman nasional di Pulau Sumatera yang memiliki ekosistem hutan dataran rendah terbesar pada hutan hujan tropis di Asia Tenggara. TNBBS memiliki fungsi strategis sebagai penyangga kehidupan yang perannya sangat penting bagi masyarakat sekitarnya. Sebab, kawasan ini merupakan daerah tangkapan air (cachment area).
Kawasan TNBBS memiliki 23 sungai besar dan ratusan anak sungai yang mengalirkan airnya ke daerah-daerah hilir di sepanjang pesisir Tanggamus, Lampung Barat, dan wilayah Bengkulu Selatan. Pada kawasan TNBBS sangat banyak potensi flora dan fauna, seperti harimau sumatera, gajah sumatera, badak sumatera, beruang, dan meranti.
Melihat potensi tersebut, TNBBS di tunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982. Kemudian ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 489/Kpts-II/1999 tanggal 29 Juni 1999 yang luasnya ± 355.511 ha dan terletak di dua provinsi, yaitu Lampung dan Bengkulu. Pertanyaannya mengapa potensi tersebut justru menjadi ’’ancaman’’ bagi kita? Berbagai penelitian yang dilakukan, baik segi ekonomi, budaya, maupun sosial, menjadi lampu kuning yang dapat berbalik sewaktu-waktu ke hijau dan merah. Dan, kesemuanya bergantung dari kemauan jga kesadaran kita bersama guna menjaga maupun melestarikan keberadaan taman nasional.
Ancaman dan gangguan taman nasional yang sampai kini terjadi yaitu perambahan, konflik tata batas, perburuan liar, pembalakan liar, invasi tumbuhan pengganggu, penambangan liar, jalan tembus, dan tekanan enclave. Kesemuanya memberikan andil terhadap rusaknya ekosistem TNBBS. Namun, konsentrasi saat ini bagi BBTNBBS yaitu penurunan perambah, yang sampai ini masih menyimpan banyak masalah di balik penurunan perambah seperti hilangnya pekerjaan.
Bisa saja pihak taman nasional saat ini tegas untuk menurunkan perambah. Akan tetapi, apakah semangat tersebut akan tetap konsisten dalam pelarangan dan penghentian perambah untuk masuk kawasan konservasi yang dijuluki Tropical Rainforest Heritage of Sumatera oleh UNESCO pada 2004. Atau bisa jadi dalam 2–3 bulan ke depan, mereka (perambah) memasuki kawasan kembali untuk kembali berkebun dan memetik hasil dari tanaman-tanaman yang mereka tanam bertahun-tahun lamanya di kawasan hutan konservasi.
Pihak BBTNBBS harus kembali belajar dari pengusiran perambah di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) beberapa bulan lalu. Tetapi, gejala ’’back to forest again’’ untuk napak tilas sisa-sisa usaha di kawasan oleh para perambah sudah mulai terjadi berbagai cara saling umpat-umpatan dengan petugas. Di mana fungsi pemerintah daerah? Apakah semua permasalahan dikembalikan ke pemerintah pusat yang diwakili unit pelaksana teknis (UPT) di daerah, sehingga seolah-olah pemerintah daerah lebih mencari aman. Sebab, indikasi nuansa ’’politis’’ lebih kuat dibandingkan kebutuhan akan pentingnya alam (taman nasional) bagi kehidupan orang banyak yang dapat menyediakan suplai oksigen, cadangan pangan, sumber obat-obatan, sumber air, dan lain-lain.
Perambah-perambah yang saat ini sedang diturunkan menurut hemat saya tidak dapat disalahkan begitu saja, mengapa? Karena perambahan terjadi beberapa faktor. Antara lain, faktor kebutuhan ekonomi, kebutuhan sumber daya lahan, lemahnya penegakan hukum, kurangnya tersampaikannya informasi kepada masyarakat, serta kebijakan (policy) yang kurang mendukung.
Saya pikir seharusnya masyarakat juga tidak berpangku tangan menunggu bantuan dari pemerintah saja. Akan tetapi, harus bangkit dan mandiri memulai kehidupan barunya di luar kawasan taman nasional dengan memberdayakan segala pikiran dan tenaga untuk keberlanjutan hidup mereka. Belajar dari proses pembangunan hutan di Kabupaten Gunungkidul, Jogjakarta, yang benar-benar memulai semangat dari ’’gersang dan tandus’’ hingga ’’hijau dan sejuk’’ di wilayah mereka. Jika boleh saya katakan, inilah yang disebut dengan pembangunan mental dan spiritual masyarakat yang sukses.
Pihak BBTNBBS sendiri juga tidak selamanya salah untuk melakukan penurunan perambah di kawasan konservasi dengan menggandeng berbagai pihak termasuk aparat kepolisian. Karena mereka bekerja untuk berupaya menyelamatkan salah hutan hujan tropika yang masih di Provinsi Lampung dan Bengkulu yang masih tersisa. Namun kita juga harus memahami bersama, bahwa yang terjadi saat ini adalah permasalahan klasik yang melanda kawasan konservasi termasuk taman nasional yaitu keterbatasan anggaran, staf yang kurang memenuhi syarat, kelemahan infrastruktur, hubungan yang tidak lancar dengan masyarakat setempat di sekitar kawasan (Wiratno, 2004).
Selain itu, juga keterbatasan sumber daya manusia (kualitas dan kuantitas) serta keterbatasan sarana dan prasarana. Sebagai contoh data di BBTNBBS personil kehutanan yang bertugas di wilayah masing-masing resort hanya 3–4 personel sedangkan kawasan yang harus dijaga seluas 13.000 hingga 37.000 ha. Idealnya adalah 3.500 ha/pegawai (Laksono, 2000).
Permasalahan ini seharusnya menjadi perhatian penting pemerintah pusat untuk menyikapi permasalahan yang terjadi agar tidak ada kesan pusat memerintahkan untuk melestarikan kawasan hutan. Akan tetapi, tidak diimbangi jumlah personel yang memadai.
Jika kita melihat dari sejarah berbagai kasus-kasus yang ada di taman nasional, membuktikan pengelolaannya tidak segampang yang dibayangkan ketika pada awal penetapan. Penunjukan taman nasional masih bersifat top down sebagian besar mekanismenya ditetapkan di tingkat pusat dengan konsultasi terbatas di wilayah provinsi.
Padahal, di luar Pulau Jawa kebergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam sangat tinggi. Akibatnya seperti saat ini banyak konflik berkepanjangan antara masyarakat dan pihak taman nasional. Hal inilah yang menjadi menarik untuk dikaji dan diselesaikan secara adil dan bijak melalui pendekatan partisipatif dengan mengintensifkan sosialisasi ke masyarakat. Terutama yang memiliki hubungan tradisional terhadap taman nasional. Namun, hal ini belum dianggap penting oleh para manajer taman nasional.
Posisi dan keberadaan taman nasional di luar Pulau Jawa, dalam hal ini TNBBS, harus diubah. Paling sedikit harus dilakukan renegoisasi ulang terhadap kelompok-kelompok masyarakat setempat. Dengan tujuan yang diharapkan dapat memperbaiki persepsi masyarakat mengenai eksistensi taman nasional baik status lahan, fungsi serta perannya bagi masyarakat setempat dan masyarakat sekitar, maupun dalam konteks yang lebih luas.
Selain itu, manajerial dari TNBBS harus memerlukan seorang manajer berjiwa rimbawan dan mampu menyusun strategi dan taktik pengelolaan yang bervariasi sekaligus adaptif terhadap kondisi riil lapangan. Pola-pola pengelolaan konvensional yang sangat bergantung pada kebijakan dan arahan pusat harus ditinggalkan. Kemampuan menganalisis para pemangku kepentingan, membangun jaringan kerja dan penyuluhan konservasi, mengembangkan kolaborasi dengan masyarakat, kelompok-kelompok LSM seperti (Garsy, Watala, Mitra Bentala, Walhi, Wanacala, Ulayat, EKWS, Telapak, Kawan Tani, WWF, WCS, dan YABI), perguruan tinggi, serta lembaga donor internasional sudah harus prasyarat minimum.
Saya yakin, dengan demikian di masa mendatang diharapkan tidak akan muncul lagi pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi, hakikat, dan konsekuensi penetapan taman nasional. Kemudian hubungannya dengan hak-hak masyarakat terhadap sumber daya yang ada di dalamnya termasuk permasalahan ’’perambah’’ yang belum kunjung selesai-selesai. Semoga BBTNBBS dan kita semua saling memahami akan pentingnya keseimbangan alam untuk kelangsungan hidup manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. (*)
Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/42791-bersih-bersihlah-tnbbs
Kamis, 15 September 2011
KAWASAN KONSERVASI: TANTANGAN GENERASI MUDA
Hutan Konservasi menurut UU No. 41/1999 yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
DI Indonesia, kawasan konservasi sebanyak 486, salah satunya Provinsi Lampung yang terdiri Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Cagar Alam Laut (CAL) Anak Krakatau, dan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman.
Pengukuhan kawasan konservasi di Indonesia tidak lepas dari sejarah panjang gerakan konservasi dunia yang didasarkan atas kebutuhan manusia akan keseimbangan alam dan lingkungan. Akhirnya beberapa tempat di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah untuk menjadi kawasan konservasi yang bertujuan untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Kerusakan alam di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perubahan laju deforestasi yang signifikan, yaitu ± 2 juta hektare per tahun. Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah yang kurang tepat atas kepemilikan kawasan konservasi. Pengusahaan hutan skala besar, illegal logging, pertambangan, perambahan sangat turut andil memperparah kondisi yang ada hingga kini.
Sudah banyak lembaga pemerintah, nonpemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat yang berupaya menjadi bagian dari pencegahan beberapa permasalahan di atas. Namun sampai detik ini belum menunjukkan hasil yang signifikan dan bisa jadi mandeg dibandingkan dengan kebutuhan jumlah serta luasan kawasan konservasi di Indonesia.
Bagaimana hubungannya antara kawasan konservasi dengan tantangan generasi muda? Permasalahan yang sering muncul yaitu generasi muda dianggap belum maksimal dan saatnya turut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi secara langsung. Padahal, generasi muda menjadi bagian penting dalam upaya mewujudkan peran-peran konservasi di masa yang akan datang untuk menghadapi permasalahan-permasalahan seperti di atas.
Pemerintah masih menempatkan generasi muda ke dalam bagian bawah, bukan sejajar dengan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai wujud atas persamaan kewajiban untuk melestarikan kawasan konservasi yang masih ada maka pemerintah sudah saatnya memberikan peluang kepada yang muda untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Tantangan terberat yaitu rancangan pengelolaan kawasan konservasi yang lambat terhadap permasalahan-permasalahan yang ada disebabkan karena hambatan teknis, ketiadaan data dan informasi yang kurang lengkap, prosedur penyusunan konsultan yang kurang profesional, dan pembiayaan. Hal tersebut berpengaruh terhadap keinginan generasi muda yang akan menjadikan dirinya lebih aktif dalam usaha konservasi, namun keterlambatan tersebut akhirnya ditanggapi apa adanya.
Sebagai contoh kasus, pertama, organisasi Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) yang sampai kini menjadi “ngambang” dan bimbang atas ketidakpastian dan keterlambatan penyikapan atas kondisi internal pemerintah yang dirancang masih lambat terhadap kebutuhan di tubuh sediri. Forum tersebut sebagian besar didominasi oleh generasi muda mulai dari tingkat SMA hingga umum yang sebenarnya dapat diandalkan oleh pemerintah untuk tataran generasi muda dalam usaha pelestarian kawasan konservasi.
Kedua, penyebaran informasi peran generasi muda serta penyuluhan di beberapa daerah kepada masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah masih minim.
Jangkauan tersebut biasanya terkendala masalah pendanaan, kurang keberanian, dan pengetahuan yang belum dirasa cukup untuk menjadi kader konservasi. Sehingga wajar wadah seperti FK3I terbengkalai begitu saja, masih beruntung kemandirian lembaga-lembaga yang membina generasi muda, seperti gerakan Pramuka, pencinta alam, Sylva Indonesia, dan lembaga-lembaga lain masih berjalan dengan “keidealismenya”. Kemudian dirapikan menjadi jawaban saling “mengandalkan”.
Apa yang harus dilakukan oleh generasi muda untuk pelestarian kawasan konservasi? Tentu tidak akan lepas dan berangkat dari permasalahan bersama dalam upaya-upaya tersebut. Seperti mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal pengelolaan kawasan konservasi, pengelolaan kawasan konservasi ke depan lebih fleksibel, responsif, adaptif, aplikatif, dan efektif. Program bersama dengan implementasi bersama, perencanaan bersama lintas disiplin ilmu. Peranan generasi muda harus lebih optimis dan semangat untuk bekerja sebagai pekerja konservasi Indonesia dengan diberi kesempatan yang lebih luas untuk melakukan uji coba berbagai pola pengelolaan alternatif dan melakukan proses pembelajaran terhadap keberhasilan maupun kegagalan. Pilihan-pilihan untuk mandiri dan merdeka dalam melakukan uji coba pengelolaan kawasan konservasi sebenarnya ada di tangan pemangku kepentingan di Indonesia termasuk di dalamnya adalah masyarakat setempat.
Generasi muda jangan terperosok karena mengulang sejarah semasa kolonial Belanda dan Orde Baru. Mari kita semua berkaca walau kondisi kawasan konservasi kita sudah banyak yang rusak tetapi nasionalisme generasi muda jangan surut untuk menyelamatkan kawasan konservasi yang masih tersisa ini. (*)
Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/40550-kawasan-konservasi-tantangan-generasi-muda
Jumat, 05 Agustus 2011
SYLVA INDONESIA: SIAPAKAH YANG PEDULI?
Kelengkapan organisasi mulai dari pengurus pusat (tingkatan pusat), forum regional (tingkatan regional), pengurus cabang (tingkatan jurusan/fakultas), hingga mahasiswa (tingkatan konstituen) dirasa sudah lengkap dan memiliki garis komando yang jelas. Kelengkapan tersebut lebih sempurna dengan adanya Dewan Perwakilan (DP). Baik ditingkatan nasional yang dijalankan oleh ketua DP maupun regional yang dijalankan oleh ketua DP regional yang selalu mengawasi kinerja pengurus pusat hingga pengurus cabang.
Akan tetapi, mengapa dengan segala kelengkapan yang ada justru tidak dimaksimalkan dengan gerakan-gerakan yang progresif dari mahasiswa kehutanan yang tergabung dalam Sylva Indonesia untuk menjadikan tata kelola hutan lebih baik. Sebagai agent of control, seharusnya peran-peran tersebut yang dimainkan secara cantik dengan peran untuk menyuarakan keadilan bagi pengelolaan hutan di Indonesia.
Hal ini sesuai tujuan Sylva Indonesia, yaitu mempertegas peran mahasiswa kehutanan sebagai kontrol sosial dan agen pengubah dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari (AD/ART Hasil KNLBSI XV 2008, Bab III tentang Visi, Misi, dan Tujuan pasal 9).
Hal tersebut bukan berarti melupakan kewajiban sebagai mahasiswa kehutanan. Justru dengan status yang diemban sebagai mahasiswa harus lebih mengedepankan keintelektualan dengan berpikir secara kritis serta bertindak secara aktif dan progresif. Garis komando dan koordinasi seolah-olah diabaikan. Bagaimana tidak ketika cabang yang satu dengan yang lainnya tidak melakukan koordinasi secara optimal padahal jika dilihat dari struktur organisasi ada yang dinamakan dengan forum regional (foreg) dan ada yang disebut dengan koordinator foreg.
Kemudian antara foreg yang satu dengan yang lainnya belum juga maksimal dalam menjalankan tugasnya. Proses komunikasi dan koordinasi memang menjadi sesuatu yang penting dalam berorganisasi. Hal tersebut jarang dijalankan oleh anggota foreg, antar foreg, maka pertanyaannya kemudian adalah mengapa bisa terjadi? Di mana posisi tawar mahasiswa kehutanan yang tergabung dalam Sylva Indonesia?
Permasalahan di berbagai cabang seluruh Indonesia hampir memiliki kesamaan (Hasil Lokakarya Sylva Indonesia 2009 di Jogjakarta). Di mana mahasiswa belum merasa memiliki ikatan yang kuat di antara sesama rimbawan yang satu dengan lainnya. Yaitu sebagai anggota/orang Sylva Indonesia. Sehingga dampaknya banyak sekali program-program yang kurang inovatif dan membosankan bagi para mahasiswa kehutanan, maka minat untuk berorganisasi dan belajar di Sylva sangat kurang.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah ada kesalahan dalam pemerataan arus informasi/transfer informasi dari generasi ke generasi selanjutnya sehingga berjalan stagnan? Ataukah ada sebuah hegemoni lokal yang dirasa bahwa Sylva Indonesia sebagai sebuah organisasi pesaing yang akan mematikan organisasi di tingkatan cabang? Jika kita tinjau kembali di arti dan lambang dari Sylva Indonesia, yaitu tambang hitam yang melingkar dan mengikat yang berarti sebagai sebuah ikatan yang kuat di antara sesama mahasiswa kehutanan.
Dengan makna filosofi yang terkandung di salah satu lambang tersebut seharusnya mahasiswa kehutanan yang satu dengan yang lainnya mempunyai rasa memiliki dan keterkaitan yang kuat sebagi satu korps rimbawan. Bukan saling menganggap sebagai saingan yang buruk dan menjatuhkan harga diri mahasiswa dalam berkompetensi untuk turut andil pada pengelolaan hutan di Indonesia.
Ketika saat ini dipandang bahwa mahasiswa kehutanan kurang memiliki gereget atau semangat untuk memperjuangkan nasib hutan Indonesia, apakah benar? Kemudian di manakah kepedulian kita sebagai khalifah sekaligus sebagai seorang forester untuk menyelamatkan kehidupan di muka bumi ini dari ancaman kerusakan alam yang lebih parah dari tahun ke tahun dengan melalui pelestarian sumber daya hutan? Dengan segala kekurangan dan kelebihan dari organisasi Sylva Indonesia tentu kita harus menjadikannya sebagai tempat para mahasiswa kehutanan untuk beraktualisasi, belajar, mengabdi, silaturahmi sekaligus berjuang untuk mencapai visi misi kehutanan Indonesia ke yang lebih baik. Dengan kemajuan zaman dan teknologi harusnya kita sebagai anggota Sylva Indonesia harus mampu untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran dalam menyatukan langkah antara cabang yang satu dengan yang lainnya secara optimal. Oleh karena itu, perlu adanya kemauan dan keberanian diri sebagai anggota Sylva Indonesia untuk lebih komunikatif dan terbuka dalam melakukan change of mind untuk melakukan gerakan kehutanan yang lebih merata dan progresif di masa yang akan datang sehingga tidak ada kesenjangan antara yang satu dengan lainnya. (*)
Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/39236-sylva-indonesia-siapakah-yang-peduli
Rabu, 27 Juli 2011
NILAI RIMBAWAN YANG HARUS DIKEMBALIKAN
Jumat, 01 Juli 2011
DIBALIK KONFLIK GAJAH WAY KAMBAS
Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan salah satu dari 2 taman nasional di Lampung yang sampai saat ini keberadaannya masih tetap dipertahankan di tengah-tengah himpitan kebutuhan masyarakat akan sandang, pangan, dan papan. TNWK selain memiliki fungsi pelestarian alam (flora dan fauna yang endemik), juga berbagai kelebihan antara lain sebagai pohon uang ketika dapat dihitung berapa jumlah karbon yang dapat diserap oleh pepohonan yang berada di taman nasional tersebut.
MASYARAKAT sekitar hutan yang sering mengatasnamakan ’’adat’’ sangatlah memiliki kekuatan strategis untuk melakukan berbagai upaya pembebasan akan hak-hak mereka yang anggap ’’dicolong’’ oleh pemerintah. Baik tanah, maupun kekayaan alam. Klaim atas nama adat memang tidak dapat diberikan sebuah legitimasi ’’salah’’ karena masyarakat adat diakui dalam UUD 1945 dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan baik keberadaan maupun hak-haknya sebagai bagian dari satu kesatuan Republik Indonesia yang harus dilindungi.
Di satu sisi, pemerintah yang juga mengklaim kawasan itu merupakan hutan negara yang telah ditetapkan sebagai taman nasional dengan berbagai administrasi lengkap dan syah dari ’’penguasa’’. Mengapa disebut penguasa? Karena, kalau didasarkan pada UU, penguasa adalah ’’negara’’ yang memiliki kewenangan atas kekayaan sumber daya alam. Maka dilihat dari sisi kepentingan antara si A dan B adalah salah satu contoh tarik-menarik kepentingan yang sangat mengakibatkan beberapa masalah baru yang kemudian menghasilkan si C serta seterusnya.
Pertanyaannya, apakah konflik tersebut dalam bingkai ’’negara berbudaya dan hukum’’ ini dapat diselesaikan dengan solusi-solusi yang bijak?
Ketika kita membaca berbagai berita, baik di media lokal maupun nasional, pasti tahu apa yang dikeluarkan oleh media. Yaitu perambahan di taman nasional meningkat, konflik gajah di areal perkebunan masyarakat hingga menyebabkan gagal panen, perburuan satwa oleh pemburu masih berjalan, dan lain-lain. Artinya ada yang dirugikan dalam permasalahan tersebut dan seolah-olah masyarakatlah yang dirugikan karena ’’dapat dihitung’’.
Tetapi apakah sisa hutan tersebut merasa dirugikan? Sebab ’’tidak dapat menghitung’’, hutan tidak pernah rugi. Kalau hutan dapat berhitung, pasti dapat protes berapa banyak yang harus dikembalikan untuk membayar kerugian. Bisa jadi, ia akan lebih kejam dari manusia karena hukum rimbalah yang akan menjawab. Salah satu harian di Lampung, edisi Selasa, 12 Mei 2008, mengabarkan, masyarakat adat melakukan demonstrasi di Balai Taman Nasional Way Kambas (BTNWK) sekitar hutan tidak ingin angkat kaki dari lahan garapannya di TNWK karena mata pencarian mereka di tempat tersebut. Sedangkan dari pihak Dephut sudah memastikan bahwa kawasan yang mereka rambah adalah taman nasional, maka masyarakat harus dikeluarkan. Dari sumber berita tersebut disebutkan luasan hutan yang dirambah 6.000 hektare.
Dari 125.000 ha yang terbagi-bagi dalam beberapa zona dari penyangga, pemanfaatan, hingga inti jika dihitung rata-rata, kawasan yang masih tersisa adalah 19.000 ha. Pertanyaannya, apakah luasan hutan kita yang dijuluki sebagai the world of heritage Sumatera semakin bertambah atau kian berkurang? Padahal ketika meninjau beberapa kejadian alam yang kini terjadi kita sadar bahwa hutan harus baik kondisinya. Maka, jawabannya adalah semakin berkurang. Sebuah misteri yang harus dipecahkan bersama tidak cukup hanya dengan balai TNWK, tetapi juga multipihak untuk dapat memecahkan misteri kekayaan alam. Khususnya TNWK.
Informasi adalah ilmu dan pengetahuan baru bagi personal yang mengetahui akan pentingnya informasi. Sumber informasi dapat melalui beberapa cara, yaitu verbal dan nonverbal. Verbal, pihak TNWK harus melalui berbagai upaya untuk memberikan pemahaman hingga perubahan pola pikir masyarakat dengan diawali dari para ’’abdi pemerintah’’ sebelum menginginkan perubahan di tataran masyarakat. Masyarakat bukanlah golongan orang-orang yang bodoh kemudian kita ’’gurui’’ agar sesuai dengan keinginan kita tetapi masyarakat dan ’’abdi negara’’ sama-sama memiliki tujuan, impian bersama atas keberadaan TNWK tersebut. Nonverbal, dilakukan dengan intensif dan menggunakan berbagai media yang efektif yang diberikan kepada masyarakat, baik berupa buletin, pamflet, leaflet, spanduk, majalah, maupun film. Namun, dua cara tersebut tidak akan pernah efektif ketika sistem yang dibuat adalah sistem top down atau buttom up. Namun, sistemnya harus seimbang dan sinergi agar tidak ada ’’kepincangan’’ dalam menggapai tujuan dan impian bersama aras keberadaan TNWK.
Perbaikan dengan program sehingga melahirkan indikator keberhasilan yaitu hutan semakin lestari dan masyarakat semakin sejahtera. Tercapainya perbaikan harus diimbangi dengan semangat dan gairah yang besar untuk hidup dan menghidupi dari manusia dan alam agar kedua-duanya dapat hidup secara serasi dan seimbang.
Ekologi, ekonomi, dan sosial adalah satu kesatuan yang harus dipenuhi agar sesuai dengan tujuannya. Yaitu keberadaan TNWK masyarakat sejahtera dan hutan di taman nasional tetap lestari. Bagaimana caranya? Dengan optimalisasi fungsi sumber daya hutan di TNWK dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial. Sisi ekologi karena luasannya mulai dari pantai hingga daratan, bagian terkecil dari fungsi ekologi yang dapat dirasakan yaitu jasa akan lingkungan. Baik berupa air bersih, udara segar, terhindar tanah longsor, mencegah intrusi air laut. Dari fungsi ekologi dapat dioptimalkan dengan menambahkan dan melakukan penghitungan untuk mewujudkan fungsi ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. Dalam meningkatkan kesejahteraan secara ekonomi, masyarakat bisa melakukan pemanfaatan juga atas sumber daya hutan. Mereka harus memberikan sebuah kontribusi sebagai timbal balik atas pemanfaat hutan oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat dapat melangsungkan hidupnya tanpa merusak alam hutan yang sesuai dengan tujuan serta impian bersama. Secara sosial, hutan masyarakat menjadi interaksi yang seimbang dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang harmoni dan rukun tanpa ada kesenjangan antara yang satu dengan lainnya. (*)
Selasa, 07 Juni 2011
HUTAN, KEKUATAN BANGSA INDONESIA
Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, khususnya hutan, telah terbukti memberikan hasil kepada negara Indonesia. Baik berupa materiil maupun immaterial. Berapa pun besarnya nilai dari hutan tidak dapat dihitung dengan angka-angka, walau kini banyak upaya untuk penghitungan besaran dari hutan atau high conservation value forest (HCVF).
SEBAB, hutan bagian dari alam semesta ciptaan Tuhan Yang Maha Esa perlu disyukuri dengan memanfaatkannya secara bijak dan arif agar sumber daya hutan dapat menghasilkan manfaat lebih besar di kemudian hari. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang kufur akan nikmat dari Tuhan YME karena melimpahnya kekayaan hutan yang bagaikan emas hijau terdampar dari Sabang sampai Merauke. Sehingga, kita sebagai rakyat yang berdaulat atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini tidak dapat lagi menikmati hasil dari hutan dan tinggal cerita belaka.
Kerusakan hutan yang meliputi ekosistem, hidrologi, ekologi, dan tatanan sosial budaya masyarakat lokal merupakan salah satu dampak dari ketidakbenaran kita dalam mengelola hutan. Jika kita mengelola secara benar adakah kerusakan akan terjadi? Tentu saja ada tetapi dapat diminimalisasi secara objektif dan transparatif sesuai sistem pengelolaannya. Maka, dampak kerusakan tersebut berakibat pada sebuah sistem tatanan negara Indonesia yaitu tidak sehatnya bangsa ini baik secara mental, spiritual, jasmani, maupun rohani. Sakit secara mental dapat diartikan sebagai dampak dari kerakusan manusia dalam mengambil sumber daya hutan berlebihan sehingga tidak puas akan hasil yang telah ia dapat. Manusia-manusia seperti ini jika dibiarkan, akan menimbulkan manusia-manusia baru lagi. Baik yang sama maupun berbeda. Manusia-manusia tersebut hidup di NKRI dan akan berinteraksi dengan manusia lain. Sudah barang tentu menjadi candu bagi manusia lainnya yang ketika mentalitas dari manusia tersebut tidak segera ditangani. Sebab, mental bangsa kita ditentukan oleh mental-mental penduduknya.
Secara spiritual, dampak dari rusaknya hutan yaitu kedekatan dari batiniah kepada Sang Pencipta, sesama manusia, dengan alam akan berpengaruh. Kita lihat bagaimana negara-negara maju yang kondisi alamnya sudah tidak bagus lagi. Mereka sangat sedikit memiliki lahan lagi untuk tempat tumbuh pohon, seperti di Jepang, Cina, Korea. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya batiniah mereka terhadap Tuhan telah terputus. Bagaimana batiniah dengan Tuhan dapat terputus? Kita mengikuti sebuah pola logika yang memang hutan sebagai salah satu penyambung batiniah dengan Tuhan. Ketika kita di dalam hutan, dipinggir hutan dan di luar hutan kita rasakan hal yang berbeda. Ketika didalam hutan kita mengetahui banyak hal yang ada disekitar kita. Ketika kita di pinggir hutan kita mengetahui hutan hanya dari pinggirnya saja, apa yang kita ketuahui selain hanya pemandangan dari luar? Berbeda dengan suasana di luar hutan, kita tidak tahu sama sekali apa itu hutan dan isinya. Dari logika tersebut Tuhan memberikan kita aqlu atau akal kita untuk kembali berfikir sebenarnya apa yang terjadi dengan diri kita dan alam kita. Maka hutan merupakan salah satu pemicu kita untuk melihat kebesaran ciptaan-Nya dan kita wajib mensyukurinya.
Hubungan batin manusia dengan alam, bagaimana manusia dapat menyatukan batinnya dengan alam ketika kita melihat hutan telah rusak. Dampaknya yaitu pembentukan karakter yang tidak sehat. Alam menjadi pertanyaan besar, sejauh mana kita menjadikan alam sebagai tempat kita untuk berinteraksi dan mengelolanya? Apakah kita tidak menyadari bahwa alam memberikan banyak manfaat secara langsung maupun tidak langsung, baik manfaat ekonomi, ekologi, sosial, budaya dan lain-lain tetapi yang kita perbuat justru merusaknya dan menghabisinya sebagai salah satu pemuas hasrat kita. Pernahkah kita berpikir untuk merawatnya, menjaganya secara sungguh-sungguh. Karena kita tahu bahwa hutan sebagai penyehat dalam batin kita maka sudah seharusnya kita berbondong-bondong untuk menyelamatkannya dari kepunahan yang saat ini terjadi.
Mengapa hutan dapat menyehatkan Negara kita? Kita ketahui salah satu sumbangan terbesar hutan adalah oksigen (O2). Oksigen dihasilkan dari pohon dan tumbuhan yang mampu mereduksi gas polutan. Mampukah manusia mereduksinya? Karena resep yang paling manjur untuk menguras polutan-polutan adalah dengan memperbanyak pohon. Yaitu dengan mengadakan hutan, baik dalam skala kecil maupun besar di berbagai tempat seperti pedalaman maupun perkotaan. Jika negara penuh dengan polutan, akhirnya banyak peluang yang hilang, baik peluang bisnis, maju, mandiri, cerdas, maupun sukses satu per satu.
Sebagai contoh kecil, jika negara kita memiliki hutan yang rusak dan akhirnya negara tidak sehat, apakah akan ada orang yang memikirkan untuk mandiri, maju, pesat bisnisnya, cerdas, dan sukses. Rakyat akan sibuk sendiri guna mendapatkan peluang bagi dirinya dengan cara tanpa memikirkan orang lain, orang akan pergi dari bisnis karena tidak sehat udaranya, orang akan bodoh karena terganggu dengan kondisi negara tidak sehat udaranya. Banyak gangguan yang muncul ketika negara kita tidak sehat, maka saat ini harus mengurangi penyebab tidak sehatnya Negara dengan melestarikan hutan Indonesia.
Maka, mari kita selamatkan hutan Indonesia yang masih tersisa ini demi keberlangsungan hidup anak cucu kita nanti agar bangsa Indonesia ke depan menjadi macan dunia yang menyejukkan kehidupan di muka bumi ini. (*)
- Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Lampung 2010-2014
- Direktur Lembaga Garuda Sylva (Garsy) Lampung for Conservation, Environment, and Community Development 2010-2012
- Wakil Sekretaris DPD KNPI Provinsi Lampung 2010-2013
- Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Kehutanan Indonesia (Sylva Indonesia) 2008-2010
Tulisan ini dimuat di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/35124-hutan-kekuatan-bangsa-indonesia
Sabtu, 23 April 2011
ULAT BULU, KERUSAKAN DAN KELESTARIAN ALAM
Berita di media cetak maupun elektronik beberapa minggu ini sering memberitakan tentang fenomena merebaknya ulat bulu di berbagai pelosok wilayah tanah air yang bermula dari Jawa Timur dan sekarang sudah banyak menyebar di berbagai wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Lampung.
FENOMENA seperti ini menjadi sangat meresahkan warga masyarakat yang memiliki kebun atau lahan pertanian bahkan sampai masyarakat perkotaan. Sebab, ulat bulu bukan hanya memakan dedaunan pohon dan tanaman perkebunan dan pertanian, melainkan juga menempel di tembok-tembok pagar bahkan rumah warga.
Pertanyaannya, apakah kejadian ini berkaitan dengan rusaknya ekosistem global akibat penghancuran hutan serta ekosistemnya secara besar-besaran sehingga menyebabkan bencana alam? Apakah semua itu juga akibat pembangunan yang tidak berbasis lingkungan?
Menurut data Bappenas dan Bakornas PB 2006, di Indonesia periode 2003–2005 saja terjadi 1.429 kejadian bencana, sekitar 53,3% adalah bencana hidro-meteorologi, 34% adalah bencana banjir, dan 16% adalah bencana longsor.
Jika kita membuktikan secara nyata sekarang ini kita merasakan suhu udara pada siang hari sangat panas sekali rentan akan mengakibatkan kekeringan, di sisi lain hujan deras pun diikuti dengan angin kencang sering kita lihat di daerah kita ini sehingga kini susah untuk memprediksi kapan musim kering dan kapan musim penghujan.
Hal itu sejalan dengan laporan Indonesia Country Report 2007 bahwa pemanasan global akan mengakibatkan kekeringan dan curah hujan ekstrem yang pada gilirannya akan menimbulkan risiko bencana iklim yang lebih besar bahkan United Nation Office for the Coordination of Human Affairs (UNOCHA) mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana iklim.
Bagaimana kaitannya dengan ulat bulu, kerusakan lingkungan dengan kelestarian alam? Ulat merupakan salah satu hewan yang berada di dalam ekosistem bumi dan menjadi salah satu rantai makanan yang berperan penting dalam keseimbangan ekologi yang memiliki keunikan karena memiliki siklus/daur hidup dari telur menjadi ulat, menjadi kepompong, kemudian mengubah bentuknya menjadi kupu-kupu. Jenis kupu-kupu pun bermacam-macam sesuai dengan jenis ulatnya. Salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhannya yaitu faktor lingkungan yang meliputi makanan, suhu, kelembaban, udara, air, dan cahaya matahari.
Merajalelanya ulat bulu sekarang ini kemungkinan besar adalah hilangnya keseimbangan ekosistem bumi mulai hilang. Mengapa demikian? Karena perubahan siklus iklim di bumi yang secara ekstrem sehingga akan memengaruhi pola dan cara makhluk hidup untuk bertahan hidup yang memerlukan lingkungan yang memadai, makanan yang mencukupi sehingga mereka mampu hidup secara terus-menerus.
Selain itu, dapat pula disebabkan terputusnya rantai makanan yang secara biologis merupakan pemangsa dari ulat bulu tersebut yaitu burung pemakan ulat karena perubahan ekosistem yang sangat drastis/perburuan secara terus-menerus sehingga bermigrasi atau berpindah tempat yang memungkinkan untuk bertahan hidup.
Pemerintah dan masyarakat seharusnya peka terhadap kejadian atau fenomena-fenomena di sekitar kita, begitu juga bagaimana cara menanggulangi kejadian itu, dan yang mulai dilupakan bahwa ulat adalah mangsa utama burung pemakan ulat, sehingga jawabannya bukan dengan menggunakan bahan kimia untuk memberantas ulat tersebut, melainkan dengan cara biologi yaitu dengan burung pemangsa ulat. Burung pun membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk dapat bertahan hidup, baik dari segi habitat tempat hidupnya maupun ketersediaan makanannya.
Tidak dipungkiri, kini kerusakan lingkungan terus terjadi seiring dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat sehingga kebutuhan akan pentingnya kelestarian dan keseimbangan lingkungan minim untuk menjadi bahan perhatian. Padahal jumlah penduduk yang banyak memerlukan sumber daya alam yang banyak pula seperti sandang, pangan, lahan, dan perumahan yang setiap hari berton-ton bahan makanan, kebutuhan lahan, kebutuhan bahan bangunan dibutuhkan manusia untuk mencukupi kebutuhannya.
Dari kenyataan itu perubahan drastis kualitas lingkungan dan sumber daya alam terjadi, baik di kota maupun di desa-desa wilayah pedalaman. Sebagai contoh di kota dapat mengeksploitasi sumber daya alam dari daerah sekitarnya untuk mencukupi kebutuhan penduduknya. Jika tidak ada koordinasi, komunikasi, dan kerja sama yang baik antardaerah, akan semakin menimbulkan dampak bencana yang lebih besar terhadap kualitas lingkungan alam sekitar kita, seperti masalah longsor, banjir, sampah, polusi udara, polusi air, dan polusi suara. Ketika dampak itu semakin banyak dan semakin meluas, maka akan menimbulkan masalah lingkungan yang lainnya seperti sekarang ini di wilayah perkotaan yaitu banyak penduduk yang menginvasi daerah perbukitan yang mulanya bukit berhutan kemudian digerus pohon-pohon ditebang, daerah berawa, bahkan danau yang tempat catchments area ditimbun untuk dijadikan permukiman, sehingga keseimbangan lingkungan mulai terganggu.
Tidak heran jika ketika hujan turun, banjir di wilayah perkotaan terjadi. Musim kering panjang, maka terjadi kekeringan. Sedangkan untuk wilayah desa-desa pedalaman, banyak para pengusaha bahkan masyarakat yang merusak habitat tempat hidup flora dan fauna untuk digantikan dengan tanaman perkebunan, pertanian, dan pertambangan demi untuk mencukupi kebutuhannya. Akhirnya dampak rusaknya lingkungan terjadi secara bersamaan, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan yang sama-sama akan mengalami perubahan siklus alami dari ekosistem alam semesta yang salah satu bagian terkecilnya yaitu munculnya ulat bulu dalam jumlah yang banyak terjadi di mana-mana, sedangkan predatornya banyak yang punah.
Di sinilah mulai terasa sangat penting bahwa suatu ekosistem alam yang berkaitan dengan masyarakat tetumbuhan, hewan, dan manusia memerlukan manajemen yang baik untuk keberlanjutan hidup makhluk hidup di muka bumi ini agar keseimbangan alam tetap terjaga sampai anak cucu kita nanti. Gerakan peduli terhadap hutan, lingkungan, dan alam semesta belumlah banyak dilakukan walaupun berbagai forum, komunitas, organisasi yang berkaitan dengannya baik di tingkatan lokal, nasional, dan internasional telah dibentuk dan memiliki banyak program-program, tapi belum banyak menunjukkan perubahan atas kualitas lingkungan semakin membaik. Momentum Hari Bumi setiap 22 April menjadi salah satu spirit untuk kita sebagai khalifah di muka bumi ini agar lebih bijak dalam memperlakukan lingkungan di atas kebutuhan hidup kita yang semakin bertambah. (*)
*) Penulis Tercatat:
- Direktur Eksekutif Pengurus Pusat Garuda Sylva 2010–2012, Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Daerah Lampung 2010–2014
- Wakil Sekretaris DPD KNPI Provinsi Lampung Bidang Pertanian, Perikanan, dan Perkebunan 2010–2013, Alumni Kehutanan Universitas Lampung
- Sekjen Ikatan Mahasiswa Kehutanan Indonesia (Sylva Indonesia) 2008–2010
Tulisan ini dikeluarkan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/31590-ulat-bulu-kerusakan-dan-kelestarian-alam-