Rabu, 12 Januari 2011

KEPUNAHAN HARIMAU SUMATERA


Harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu satwa yang endemic (asli) hutan hujan tropis pulau Sumatera yang dilindungi oleh pemerintah karena keberadaannya sangat langka dan eksotis sehingga digolongkan dalam satwa yang berstatus APPENDIK 1 dan dilindungi UU No. 5/1990 yang dipertegas dengan Peraturan Pemerintah No. 7/1999 dan PP No. 8/1999.
    HARIMAU sumatera termasuk dalam keluarga kucing dan sering disebut “Raja Rimba”. Harimau sumatera dapat mencapai tinggi 60 cm dan panjang 2,5 m dengan warna bulunya yang khas cokelat kuning bergaris-garis hitam mulai dari kepala hingga ekor. Penyebaran harimau sumatera hanya di daerah Sumatera, sedangkan harimau bali (panhera tigris balica) sudah dinyatakan punah sejak 1963 dan harimau jawa (panthera tigris sondaica) yang telah diperkirakan tinggal beberapa ekor di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Makanan dari raja rimba ini daging satwa seperti babi hutan, kancil, kijang, kelinci, bahkan banteng.
    Kini, harimau Sumatera menjadi buah bibir masyarakat karena keberadaannya dianggap meresahkan warga yang sering muncul ke daerah perkampungan bahkan memakan korban manusia yang sedang dalam hutan. Keberadaan harimau sumatera sangat diperhatikan oleh pemerintah, bahkan luar negeri. Hewan tersebut banyak diburu oleh masyarakat untuk diambil bagian-bagian tubuhnya, seperti kulit, kumis, dan kuku (siung) guna diawetkan atau hanya hiasan semata.
    Jika kita membaca SKH Radar Lampung edisi Kamis 5 Maret 2009 diberitakan bahwa sudah sebanyak 6 orang yang menjadi korban akibat keganasan sibelang sumatera tersebut. Banyak jatuhnya korban akibat tingginya angka kerusakan hutan di pulau sumatera yang menjadi daerah jelajah harimau selama bertahun-tahun. Kerusakan tersebut diakibatkan banyaknya kawasan hutan yang dirambah, dijadikan lahan perkebunan sehingga daerah jelajah (home range) yang semula luas sekarang menjadi sempit dan makanan harimau semakin menipis.
    Harimau sumatera kini sering memakan korban manusia akibat tempat hidupnya telah berubah menjadi perladangan atau perkebunan. Hal tersebut bukanlah kesalahan harimau, tetapi manusia yang sering mengganggu dan merusak tempat hidupnya. Yaitu hutan. Hutan sumatera yang kini menjadi perhatian dan masih tersisa, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Batang Gadis, Teso Nelo, Bukit Tigapuluh, Bukit Duabelas, Berbak, Sembilang, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, dan Way Kambas.
    Mengapa taman nasional? Karena taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan hanya untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan menujang budi daya, pariwisata dan rekreasi. Bisa disebut sebagai benteng terakhir hutan yang masih utuh, sebab hanya taman nasional lah kawasan hutan yang masih memiliki jenis ekosistem alami untuk tempat hidup harimau sumatera. Kita menjumpai kawasan pelestarian alam lainnya seperti taman hutan raya (Tahura) Wan Abdul Rahman yang sudah mengalamai kerusakan yang parah akibat perambahan dan konflik lahan yang berkepanjangan sehingga tekanan terhadap hutan semakin tinggi sehingga menyebabkan tahura semakin rusak.
    Panthera tigris sumatrae haruslah diselamatkan sekarang juga. Untuk melestarikannya, banyak upaya dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Yaitu, selamatkan hutan Sumatera dengan tidak membiarkan para perambah hutan masuk dalam kawasan; menghentikan kegiatan perladangan dan perkebunan dalam kawasan hutan; jangan memelihara, membawa, atau menjual satwa liar yang dilindungi karena merupakan tindak pidana; serta menginformasikan kepada pihak berwenang jika ada masyarakat yang memiliki, membawa, atau menjual satwa liar yang dilindungi.
    Jika kita menyadari bahwa mengapa hutan dan ekosistemnya sangat penting bagi kehidupan manusia, seharusnya kita semakin berusaha untuk melestarikan hutan dengan sungguh-sungguh. Masyarakat harusnya menyadari hal tersebut, tanpa adanya kesadaran tentang pentingnya hutan bagi kehidupan manusia. Mustahil, hutan Sumatera yang keberadaan kini semakin terjepit oleh kebutuhan manusia akan lestari. (*)

Penulis juga tercatat sebagai
*Direktur Eksekutif Garuda Sylva (Garsy) for Conservation, Environment, and Community Development.
*Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Kehutanan Indonesia (Sylva Indonesia) 2008–2010.