Jumat, 05 Agustus 2011

SYLVA INDONESIA: SIAPAKAH YANG PEDULI?

    ORGANISASI seperti Sylva Indonesia merupakan organisasi yang besar dan telah memiliki anggota sebanyak 30 pengurus cabang tersebar dari Sabang hingga Merauke (AD/ART dan GBHPKO hasil KNSI XV 2008). Sampai kini telah berusia 50 tahun yang merupakan umur emas Sylva Indonesia dan seharusnya bisa mandiri dengan segala potensi yang ada.
    Kelengkapan organisasi mulai dari pengurus pusat (tingkatan pusat), forum regional (tingkatan regional), pengurus cabang (tingkatan jurusan/fakultas), hingga mahasiswa (tingkatan konstituen) dirasa sudah lengkap dan memiliki garis komando yang jelas. Kelengkapan tersebut lebih sempurna dengan adanya Dewan Perwakilan (DP). Baik ditingkatan nasional yang dijalankan oleh ketua DP maupun regional yang dijalankan oleh ketua DP regional yang selalu mengawasi kinerja pengurus pusat hingga pengurus cabang.
    Akan tetapi, mengapa dengan segala kelengkapan yang ada justru tidak dimaksimalkan dengan gerakan-gerakan yang progresif dari mahasiswa kehutanan yang tergabung dalam Sylva Indonesia untuk menjadikan tata kelola hutan lebih baik. Sebagai agent of control, seharusnya peran-peran tersebut yang dimainkan secara cantik dengan peran untuk menyuarakan keadilan bagi pengelolaan hutan di Indonesia.
    Hal ini sesuai tujuan Sylva Indonesia, yaitu mempertegas peran mahasiswa kehutanan sebagai kontrol sosial dan agen pengubah dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari (AD/ART Hasil KNLBSI XV 2008, Bab III tentang Visi, Misi, dan Tujuan pasal 9).
    Hal tersebut bukan berarti melupakan kewajiban sebagai mahasiswa kehutanan. Justru dengan status yang diemban sebagai mahasiswa harus lebih mengedepankan keintelektualan dengan berpikir secara kritis serta bertindak secara aktif dan progresif. Garis komando dan koordinasi seolah-olah diabaikan. Bagaimana tidak ketika cabang yang satu dengan yang lainnya tidak melakukan koordinasi secara optimal padahal jika dilihat dari struktur organisasi ada yang dinamakan dengan forum regional (foreg) dan ada yang disebut dengan koordinator foreg.
    Kemudian antara foreg yang satu dengan yang lainnya belum juga maksimal dalam menjalankan tugasnya. Proses komunikasi dan koordinasi memang menjadi sesuatu yang penting dalam berorganisasi. Hal tersebut jarang dijalankan oleh anggota foreg, antar foreg, maka pertanyaannya kemudian adalah mengapa bisa terjadi? Di mana posisi tawar mahasiswa kehutanan yang tergabung dalam Sylva Indonesia?
    Permasalahan di berbagai cabang seluruh Indonesia hampir memiliki kesamaan (Hasil Lokakarya Sylva Indonesia 2009 di Jogjakarta). Di mana mahasiswa belum merasa memiliki ikatan yang kuat di antara sesama rimbawan yang satu dengan lainnya. Yaitu sebagai anggota/orang Sylva Indonesia. Sehingga dampaknya banyak sekali program-program yang kurang inovatif dan membosankan bagi para mahasiswa kehutanan, maka minat untuk berorganisasi dan belajar di Sylva sangat kurang.
    Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah ada kesalahan dalam pemerataan arus informasi/transfer informasi dari generasi ke generasi selanjutnya sehingga berjalan stagnan? Ataukah ada sebuah hegemoni lokal yang dirasa bahwa Sylva Indonesia sebagai sebuah organisasi pesaing yang akan mematikan organisasi di tingkatan cabang? Jika kita tinjau kembali di arti dan lambang dari Sylva Indonesia, yaitu tambang hitam yang melingkar dan mengikat yang berarti sebagai sebuah ikatan yang kuat di antara sesama mahasiswa kehutanan.
    Dengan makna filosofi yang terkandung di salah satu lambang tersebut seharusnya mahasiswa kehutanan yang satu dengan yang lainnya mempunyai rasa memiliki dan keterkaitan yang kuat sebagi satu korps rimbawan. Bukan saling menganggap sebagai saingan yang buruk dan menjatuhkan harga diri mahasiswa dalam berkompetensi untuk turut andil pada pengelolaan hutan di Indonesia.
    Ketika saat ini dipandang bahwa mahasiswa kehutanan kurang memiliki gereget atau semangat untuk memperjuangkan nasib hutan Indonesia, apakah benar? Kemudian di manakah kepedulian kita sebagai khalifah sekaligus sebagai seorang forester untuk menyelamatkan kehidupan di muka bumi ini dari ancaman kerusakan alam yang lebih parah dari tahun ke tahun dengan melalui pelestarian sumber daya hutan? Dengan segala kekurangan dan kelebihan dari organisasi Sylva Indonesia tentu kita harus menjadikannya sebagai tempat para mahasiswa kehutanan untuk beraktualisasi, belajar, mengabdi, silaturahmi sekaligus berjuang untuk mencapai visi misi kehutanan Indonesia ke  yang lebih baik. Dengan kemajuan zaman dan teknologi harusnya kita sebagai anggota Sylva Indonesia harus mampu untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran dalam menyatukan langkah antara cabang yang satu dengan yang lainnya secara optimal. Oleh karena itu, perlu adanya kemauan dan keberanian diri sebagai anggota Sylva Indonesia untuk lebih komunikatif dan terbuka dalam melakukan change of mind untuk melakukan gerakan kehutanan yang lebih merata dan progresif di masa yang akan datang sehingga tidak ada kesenjangan antara yang satu dengan lainnya. (*)


Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/39236-sylva-indonesia-siapakah-yang-peduli