Kamis, 22 Desember 2011

KASUS MESUJI BUKAN BASA BASI

Permasalahan kehutanan seperti perambahan, pembalakan, illegal logging, bukan hal yang baru didengar ditelinga kita bahkan tidak ada henti-hentinya seiring perundang-undangan, peraturan dibuat oleh para wakil rakyat dan pelaksana pemerintahan. Lebih hebatnya lagi kebijakan antara pusat dan daerah yang selalu tumpang tindih dan menimbulkan berbagai penafsiran dikalangan pelaksana teknis lapangan. Sebagai contoh kasus register 45 di Mesuji Kecamatan Moro-moro dimana konflik antara masyarkat dan pihak Inhutani II berseteru tegang mengenai hak kepemilikan lahan yang masing-masing memiliki dasar yang berbeda-beda, klaim demi klaim terus mencuat sehingga menjadi permasalahan yang serius untuk ditangani.
Memang Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 mengamanatkan bahwa tanah, air, udara dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Akan tetapi didalam pelaksanaannya sangat berbeda dengan kondisi nyatanya, hanya segelintir orang saja yang menikmati keuntungan dari keberadaan kekayaan alam Indonesia terlepas apakah status kepemilikannya berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Swasta (BUMS).
Kasus di register 45 tepatnya di Kabupaten Mesuji Kecamatan Moro-moro menjadi contoh yang membuka mata semua pihak tentang pelaksanaan sistem pemerintahan yang belum tertata rapi, baik dalam skala Provinsi maupun skala Kabupaten. Yang perlu dipertanyakan adalah, apakah ada Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi/Kabupaten (RTRWP/K) di Provinsi Lampung? Dan apakah ada data valid yang menyatakan status wilayah di Moro-moro? Dan bagaimana pelaksanaan undang-undang agraria di Lampung? Agar kasus di Register 45 Moro-moro bukan basa basi.
Didalam konflik tersebut saya fikir pemerintah belum bisa menjadi pengayom bagi warganya, karena solusi alternatifpun sampai saat ini belum ada kepastian titik temunya. Tidak heran jika warga terus melakukan pemberontakan terhadap segala sesuatu yang dianggap oleh mereka merugikan. Jika kita melihat sejarah perjuangan para petani Pasundan, mungkin itu menjadi pembelajaran berharga bagi pemerintah yang akan menjalankan kebijakannya.
Maka jangan sampai hal tersebut terjadi di Lampung terutama di Moro-moro. Disatu sisi memang harus ada yang dikorbankan dan diuntungkan, rakyat yang telah berada disana berpuluh-puluh tahun dianggap menyalahi aturan tetapi kenapa selama ini pemerintah seolah-olah diam dan menutup mata? Sehingga ketika berbagai kepentingan masuk dalam ranah yang lebih sensitive pemerintah kemudian baru angkat bicara.
Ada apakah dengan pemerintahan di Provinsi Lampung atau Kabupaten Mesuji? Tentunya pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas kejadian yang menimpa warga Moro-moro, karena konflik tersebut menyangkut beberapa kepentingan baik kepentingan pusat, daerah dan para pemilik modal. Dan yang paling penting adalah jangan sampai membiarkan rakyat kita menderita karena mereka seolah-olah dijadikan objek kesalahan sehingga hak-haknya sebagai warga Negara Indonesia hilang begitu saja.

Dalam penyelesaian kasus Moro-moro yang paling penting adalah bagaimana cara kita mengedepankan nilai-nilai kejujuran, kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan di negeri yang bernama Indonesia ini, karena dengan analisis apapun ketika pemerintah dan masyarakat tidak sama-sama mengedapankan ketiga nilai tersebut maka tidak heran berbagai pelanggaran dan penindasan terus terjadi disana. Kesenjangan sosial telah terjadi di Moro-moro, bagaimana antara sikaya dan simiskin terus berkelanjutan tanpa ada solusi. Sangat simple untuk menangani permasalahan tersebut yaitu bagaimana pemerintah mampu menjamin warganya untuk dapat penghidupan yang layak terlepas apakah itu kawasan hutan atau bukan kawasan hutan. Maka tindakan yang tepat yang harus dilakukan oleh para pemangku kebijakan adalah bertindaklah secara adil sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pancasila sila ke 5 yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945. 

(Ditulis pasca peristiwa berdarah di Kabupaten Mesuji tahun 2011 dan tidak bermaksud mendeskritkan pihak manapun. Pernah diterbitkan di media massa Koran Radar Lampung)

Penulis: Faridh Almuhayat Uhib H, S.Hut*
*Saat itu menjabat sebagai: 
1) Direktur Eksekutif Pengurus Pusat Garuda Sylva 2010-2012 
2) Koordinator Daerah Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Lampung 2010-2014
3) Wakil Sekretaris DPD KNPI Provinsi Lampung 2010-2013 ; Sekjen Sylva Idonesia (Ikatan Mahasiswa Kehutanan Indonesia) 2008-2010.