Permasalahan
kehutanan seperti perambahan, pembalakan, illegal
logging, bukan hal yang baru didengar ditelinga kita bahkan tidak ada
henti-hentinya seiring perundang-undangan, peraturan dibuat oleh para wakil
rakyat dan pelaksana pemerintahan. Lebih hebatnya lagi kebijakan antara pusat
dan daerah yang selalu tumpang tindih dan menimbulkan berbagai penafsiran
dikalangan pelaksana teknis lapangan. Sebagai contoh kasus register 45 di
Mesuji Kecamatan Moro-moro dimana konflik antara masyarkat dan pihak Inhutani
II berseteru tegang mengenai hak kepemilikan lahan yang masing-masing memiliki
dasar yang berbeda-beda, klaim demi klaim terus mencuat sehingga menjadi
permasalahan yang serius untuk ditangani.
Memang
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 mengamanatkan bahwa tanah, air, udara
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
Indonesia. Akan tetapi didalam pelaksanaannya sangat berbeda dengan kondisi
nyatanya, hanya segelintir orang saja yang menikmati keuntungan dari keberadaan
kekayaan alam Indonesia terlepas apakah status kepemilikannya berupa Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Swasta (BUMS).
Kasus
di register 45 tepatnya di Kabupaten Mesuji Kecamatan Moro-moro menjadi contoh
yang membuka mata semua pihak tentang pelaksanaan sistem pemerintahan yang
belum tertata rapi, baik dalam skala Provinsi maupun skala Kabupaten. Yang
perlu dipertanyakan adalah, apakah ada Rencana Tata Ruang dan Wilayah
Provinsi/Kabupaten (RTRWP/K) di Provinsi Lampung? Dan apakah ada data valid
yang menyatakan status wilayah di Moro-moro? Dan bagaimana pelaksanaan
undang-undang agraria di Lampung? Agar kasus di Register 45 Moro-moro bukan
basa basi.
Didalam
konflik tersebut saya fikir pemerintah belum bisa menjadi pengayom bagi
warganya, karena solusi alternatifpun sampai saat ini belum ada kepastian titik
temunya. Tidak heran jika warga terus melakukan pemberontakan terhadap segala
sesuatu yang dianggap oleh mereka merugikan. Jika kita melihat sejarah
perjuangan para petani Pasundan, mungkin itu menjadi pembelajaran berharga bagi
pemerintah yang akan menjalankan kebijakannya.
Maka
jangan sampai hal tersebut terjadi di Lampung terutama di Moro-moro. Disatu
sisi memang harus ada yang dikorbankan dan diuntungkan, rakyat yang telah
berada disana berpuluh-puluh tahun dianggap menyalahi aturan tetapi kenapa
selama ini pemerintah seolah-olah diam dan menutup mata? Sehingga ketika
berbagai kepentingan masuk dalam ranah yang lebih sensitive pemerintah kemudian
baru angkat bicara.
Ada
apakah dengan pemerintahan di Provinsi Lampung atau Kabupaten Mesuji? Tentunya
pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas kejadian yang menimpa warga
Moro-moro, karena konflik tersebut menyangkut beberapa kepentingan baik
kepentingan pusat, daerah dan para pemilik modal. Dan yang paling penting
adalah jangan sampai membiarkan rakyat kita menderita karena mereka seolah-olah
dijadikan objek kesalahan sehingga hak-haknya sebagai warga Negara Indonesia
hilang begitu saja.
Dalam
penyelesaian kasus Moro-moro yang paling penting adalah bagaimana cara kita
mengedepankan nilai-nilai kejujuran, kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan di negeri
yang bernama Indonesia ini, karena dengan analisis apapun ketika pemerintah dan
masyarakat tidak sama-sama mengedapankan ketiga nilai tersebut maka tidak heran
berbagai pelanggaran dan penindasan terus terjadi disana. Kesenjangan sosial
telah terjadi di Moro-moro, bagaimana antara sikaya dan simiskin terus
berkelanjutan tanpa ada solusi. Sangat simple untuk menangani permasalahan
tersebut yaitu bagaimana pemerintah mampu menjamin warganya untuk dapat
penghidupan yang layak terlepas apakah itu kawasan hutan atau bukan kawasan
hutan. Maka tindakan yang tepat yang harus dilakukan oleh para pemangku
kebijakan adalah bertindaklah secara adil sesuai dengan yang diamanatkan dalam
Pancasila sila ke 5 yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia
dan Undang-undang Dasar 1945.
(Ditulis pasca peristiwa berdarah di Kabupaten Mesuji tahun 2011 dan tidak bermaksud mendeskritkan pihak manapun. Pernah diterbitkan di media massa Koran Radar Lampung)
Penulis: Faridh
Almuhayat Uhib H, S.Hut*
*Saat itu menjabat sebagai:
1) Direktur
Eksekutif Pengurus Pusat Garuda Sylva 2010-2012
2) Koordinator Daerah Forum
Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Lampung 2010-2014
3) Wakil
Sekretaris DPD KNPI Provinsi Lampung 2010-2013 ; Sekjen Sylva Idonesia (Ikatan
Mahasiswa Kehutanan Indonesia) 2008-2010.