Judul
diatas muncul ketika melihat diberbagai kabupaten atau kota di Provinsi Lampung
yang saat ini semakin berkembang pesat, akan tetapi banyak terjadi keanehan
yang menurut penulis sangat bertolak belakang dengan kampanye yang saat ini
sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah secara nasional, yaitu Indonesia Go Green serta penurunan emisi
gas-gas rumahkaca sebanyak 26 persen dari level “business as usual” pada
tahun 2020. Jika tataran kebijakan tidak
diimbangi dengan kondisi bawah maka yang terjadi hanyalah isapan jempol belaka
tentang Indonesia Go Green dan
penurunan emisi gas rumah kaca. Kita lihat ditataran bawah saja masyarakat kita
masih banyak ditemui penebangan pohon dan tanaman, pembukaan wilayah resapan
air, diwilayah hutan maupun diluar kawasan hutan seperti perbukitan,
lereng-lereng bukit, kanan kiri daerah aliran sungai (DAS), dan daerah rawa
untuk dijadikan ladang singkong, perkebunan sawit, perumahan, tambak,
ruko-ruko, serta pertanian monokultur . Sedangkan kita tahu bahwa daerah
tersebut memiliki fungsi ekologis yang bernilai sangat tinggi, seperti penahan
longsor, daerah tangkapan air (chatment
area), penahan banjir, serta sebagai sumber mata air.
Sekilas
Sejarah Hari Bumi
Sebagai
mana diketahui, sejarah peringatan Hari Bumi (Earth Day) diselenggarakan
pertama kali pada 22 April 1970 di Amerika Serikat. Penggagasnya adalah Gaylord
Nelson, seorang senator Amerika Serikat dari Wisconsin yang juga pengajar lingkungan hidup. Gagasan tentang peringatan Hari Bumi mulai disampaikan oleh Gaylord Nelson
sejak tahun 1969. Saat itu Gaylord Nelson memandang perlunya isu-isu lingkungan
hidup untuk masuk dalam kurikulum resmi perguruan tinggi.
Gagasan
ini kemudian mendapat dukungan luas. Dukungan ini mencapai puncaknya pada tanggal 22 April 1970. Saat itu
sejarah mencatat jutaan orang turun ke jalan, berdemonstrasi dan memadati Fifth Avenue di New York untuk mengecam
para perusak bumi. Majalah TIME memperkirakan bahwa sekitar 20 juta manusia turun ke jalan
pada 22 April 1970.
Moment ini kemudian menjadi tonggak sejarah
diperingatinya sebagai Hari Bumi yang pertama kali. Tanggal 22 April juga
bertepatan dengan musim semi di Northern Hemisphere (belahan bumi utara)
sekaligus musim gugur di belahan bumi selatan. Sejak itu, pada tanggal 22 April
setiap tahunnya Hari Bumi (Earth Day) diperingati. (Sumber : Alamendah's Blog, 2011)
Selamatkan
Sumber Mata Air
Peringatan hari bumi setiap
tanggal 22 April dirancang
untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang
ditinggali manusia
ini yaitu bumi.
Kekhawatiran saya sebagai rimbawan semakin bertambah mengingat gejala perubahan
iklim semakin terasa dari waktu ke waktu karena jauhnya impian negara kita
untuk kembali hijau dan mengurangi emisi gas rumah kaca dengan kondisi dilapangan
yang kita sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa. Maka hal inilah yang
mendatangkan air mata dari waktu kewaktu terutama tentang kondisi mata air yang
mulai menghilang.
Kita tentu
mengenal Rawa Pacing
dan Rawa Kandis serta bagian-bagian dari Rawa Bujung Tenuk
di kabupaten Tulang Bawang. Jika kita melihat sekilas memang seperti tempat
kumuh, yang tidak memiliki fungsi apa-apa. Akan tetapi sesungguhnya fungsi rawa
antara lain sumber
cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya
dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering,
mencegah terjadinya
banjir,
mencegah intrusi air laut ke dalam air tanah dan sungai, sumber energi, sumber makanan nabati maupun hewani.
Sering kita melihat ditempat rawa tumbuh pohon-pohon
yang tahan terhadap genangan air, selain itu disekitar rawa juga banyak
ditumbuhi tanaman berkayu dan bambu-bambu. Namun seiring majunya daerah
tersebut banyak sekali kita lihat penebangan-penebangan pohon dan tanaman,
penimbunan dengan tanah atau beton, jika hal tersebut terus terjadi bahaya akan
mengancam kita yaitu adanya hilangnya sumber mata air yang merupakan anugerah
Tuhan Yang Maha Esa secara alami untuk kemaslahatan manusia. Siapakah yang akan
memperdulkan kelangsungan dan keberadaan rawa tersebut kalau bukan kita lagi?
Dalam peringatan hari bumi 22 April 2012 ini harus menjadi
momentum bagi seluruh masyarakat Lampung untuk kembali merefleksikan diri
sejauh apa yang sudah kita perbuat untuk alam sekitar kita. Jika di kota sudah
banyak terjadi pencemaran, di hutan kita tahu sudah banyak yang gundul, di
daerah rawa-rawa sudah banyak beralih fungsi, apa yang akan terjadi dengan
kondisi alam kita yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita nanti? Tentu
kesengsaraanlah yang kita wariskan kepada mereka generasi yang akan datang
akibat kita tidak memberi contoh sikap kita yang kurang peduli terhadap alam
dan lingkungan kita khususnya daerah-daerah yang menjadi cadangan sumber mata
air. Mulai dari sekarang mari kita selamatkan sumber-sumber mata air agar kelak
tidak menjadi warisan air mata bagi anak cucu kita.(*)
(Tulisan ini tidak dipublikasikan di media cetak)