Provinsi Lampung yang terdiri dari 14 kabupaten
dan kota memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah dengan luas daerah ±
3.528.835 ha Provinsi Lampung
memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beraneka ragam, prospektif, dan
dapat diandalkan, mulai dari pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan,
pertambangan, pariwisata, sampai kehutanan.
Pertumbuhan penduduk yang yang cepat menurut badan pusat
statistic (BPS) jumlah penduduk Provinsi
Lampung sebanyak 7.608.405 jiwa yang mencakup
mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 1.955.225
jiwa (25,70 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 5.653.180
jiwa (74,30 persen), bisa dibayangkan kebutuhan akan sumberdaya
alam semakin meningkat dari tahun ketahum.
Semakin majunya provinsi Lampung tentu akan
membawa beberapa dampak negatif terhadap laju pertumbuhan di suatu daerah.
Dampak negatif tersebut yang secara merata dari satu wilayah ke wilayah lainnya
yaitu dampak terhadap menurunnya kualitas lingkungan hidup sehingga kekolektifan
permasalahan lingkungan akan menyebabkan dampak yang sukar untuk di lokalisir
permasalahannya. Maka perlunya penataan ruang dan wilayah yang sangat
dibutuhkan sejak dini dengan kebijakan-kebijakan yang lebih pro lingkungan.
Kita dapat mengambil contoh di Pulau Jawa seperti di Jakarta, Jakarta yang
dahulu indah kini menjadi kumuh seperti tidak tertata, sehingga dampah dan
permalasahannya susah untuk di lokalisir. Bagaimana dengan Lampung? Tentu kita
harus melihat secara mendalam berbagai kondisi potensi di berbagai kabupaten
dan kota di Lampung, seperti di Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi yang
juga merupakan pusat pertumbuhan baik kawasan industri, perdagangan,
pendidikan, dan lain-lain. Di wilayah Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Selatan,
Lampung Utara yang merupakan kawasan perindustrian, di wilayah Way Kanan,
Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Lampung Barat, Tanggamus, Mesuji yang
memiliki potensi untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan. Spot-spot
yang dimiliki Lampung tentunya harus memiliki kesadaran bersama dari pemerintah
(baik legislatif maupun eksekutif) untuk menentukan arah dan tujuan dari
pembangunan yang berbasis lingkungan.
Infrastruktur hijau didefinisikan
sebagai An interconected network of green
space that conserves natural ecosystem values and functions and provides
associated benefits to human population (Green Infrastructure: Smart
Conservation for the 21st Century, 2001). BErangkat dari pengertian tersebut,
infrastruktur hijau merupakan kerangka ekologis untuk keberlanjutan lingkungan,
sosial, dan ekonomi, sebagai sistem kehidupan alami yang berkelanjutan.
Infrastruktur hijau merupakan jaringan ruang terbuka hijau (RTH) kota untuk
melindungi nilai dan fungsi ekosistem alami yang dapat memberikan dukungan kepada
kehidupan manusia.
Sebagai contoh, apabila pemerintah
telah membangun infrastruktur jaringan air bersih untuk kebutuhan air
masyarakat, jaringan RTH dapat memasok oksigen (O2) yang sangat diperlukan warga.
Demikian pula apabila pemerintah telah membangun jaringan infrastruktur
penanggulangan limbah cair ataupun padat agar terhindar dari pencemaran yang
berdampak negatif bagi warga, dengan adanya jaringan RTH dapat menetralisir
dampak pencemaran udara, terutama penyerapan karbon dioksida (CO2), sekaligus menekan emisi karbon
pemicu pemanasan bumi.
Implementasi infrastruktur hijau
dijabarkan dalam pola pemanfaatan ruang. Pola Pengamanan Ekologis yang
Komprehensif (Comprehensive Ecological
Security Pattern) merupakan pola ruang kota yang berkaitan dengan infrastruktur
hijau (Wang, Chen, yang dalam ISOCARP Congress ke-44, 2008). Pola tersebut yaitu 1) Pola
pengamanan ekologis (Ecological Security
Pattern/ ESP) untuk setiap kota bisa berbeda bergantung pada permasalahan
lingkungan kotanya. Pola pengamanan ekologis kota terdiri dari pola pengamanan
terhadap masalah air dan banjir, udara, bencana geologis, keanekaragaman
hayati, warisan budaya, dan rekreasi.2) Pola
pengamanan air dan banjir (flood and
stormwater security pattern) berhubungan dengan proses-proses hidrologis,
seperti aliran permukaan (run off),
daerah resapan air (infiltration),
dan daerah tangkapan air hujan (catchment
area). 3) Pola
pengamanan udara (air security pattern)
berhubungan dengan upaya peningkatan kualitas udara agar udara kota tetap segar,
tidak tercemar, dan sehat untuk warga. Kawasan dengan potensi pencemaran udara
tinggi menjadi prioritas dalam penyediaan RTH untuk mengendalikan pencemaran
udara, terutama sektor transportasi. Jalur hijau jalan dan kawasan industri
menjadi fokus utama penentuan pola RTH kota. 4) Pola pengamanan bencana geologis (geological disaster security pattern) berhubungan dengan
pengendalian daerah-daerah yang rawan longsor, amblesan muka tanah
(land/surface subsidence), daerah patahan geologi, dan daerah rawan bencana
geologis lainnya. 5) Pola
pengamanan keanekaragaman hayati (biodiversity
security pattern) berhubungan dengan konservasi berbagai spesies dan
habitat tempat mereka bisa hidup. Kesesuaian lahan untuk habitat berbagai
spesies dan penentuan kawasan yang harus dikonservasi merupakan fokus utama
agar penataan ruang kota tetap memberi peluang keanekaragaman biologis. 6) Pola pengamanan warisan budaya (cultural heritage security pattern)
berhubungan dengan konservasi situs budaya (heritage
site), seperti bangunan cagar budaya dan kawasan lanskap cagar budaya (landscape heritage). Kawasan atau tempat
yang bernilai budaya tinggi perlu dicagar dan dikonservasi agar tak habis
dilanda pembangunan fisik yang akan mengubah wajah lanskap. 7) Pola pengamanan rekreasi (recreational security pattern)
berhubungan dengan tempat- tempat yang mempunyai fungsi sosial dan nilai
rekreasi bagi warga kota. Taman kota, taman lingkungan, taman rekreasi, taman
pemakaman, kawasan dengan pemandangan indah, kawasan dengan fitur alam yang
unik, dan lanskap vernakular merupakan daerah-daerah yang perlu diamankan dari
pembangunan kota.
Lampung harus segera memiliki konsep infrastruktur
hijau selain kebijakan-kebijakan yang terus di dorong kearah yang lebih pro
lingkungan. Mengingat Lampung adalah provinsi yang strategi untuk dilakukannya
pengembangan-pengembangan pembangunan di berbagai sector, sehingga dampak
negatif terhadap lingkungan dapat diminimalisir sedini mungkin untuk
keberlanjutan hidup anak cucu kita dimasa yang akan datang.
Dengan demikinan infrastruktur hijau merupakan
jaringan yang saling berhubungan antara sungai, lahan basah, hutan, habitat
kehidupan liar, dan daerah alami di wilayah perkotaan; jalur hijau, kawasan hijau, dan daerah konservasi; daerah pertanian,
perkebunan, dan berbagai jenis RTH lain, seperti taman-taman kota. Pengembangan
infrastruktur hijau dapat mendukung kehidupan warga, menjaga proses ekologis,
keberlanjutan sumber daya air dan udara bersih, serta memberikan sumbangan
kepada kesehatan dan kenyamanan warga kota (liveable
cities). Tidak mustahil jika Lampung
dapat dijadikan kota seperti Jakarta namun lingkungannya tetap terjaga jika
tetap menjaga kaidah-kaidah dan etika lingkungan serta disegerakannya
pembangunan infrastruktur hijau sesegera mungkin untuk mengantisipasi kondisi
lingkungan yang diluar perkiraan yang tidak diinginkan.(*)
Tulisan ini dimuat di Koran Harian Lampung Post pada Selasa, 31 Juli 2012 halaman 12 kolom OPINI