Kamis, 31 Desember 2015

CATATAN AKHIR TAHUN 2015 KOTA BOGOR BIDANG LINGKUNGAN HIDUP



Pengantar
Kota Bogor secara geografis terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS dan terletak di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor dengan luas 118.50 km2 yang terdiri dari: 6 kecamatan, 31 kelurahan, 37 desa, 210 dusun, 623 RW dan 2.712 RT (Kota Bogor, 2015). Kota Bogor juga memiliki nilai historis sejak era pra kemerdekaan hingga era kemerdekaan saat ini dengan umur kota Bogor cukup tua (300an tahun) perlu menjadi cermin bagi pemangku kebijakan untuk membenahi kota Bogor agar dapat melayani kebutuhan warganya. Hal yang penting di kota Bogor sejak jaman dahulu yaitu perhatian tentang lingkungan hidup, dimana Bogor terkenal sebagai kota hujan dan ruang terbuka hijaunya yang seiring dengan pembangunan yang terus berkembang.
Berbagai peristiwa penting terjadi seiring cepatnya kemajuan jaman di kota Bogor khususnya bidang lingkungan hidup,  sehingga menjadi catatan akhir tahun 2015 untuk mengkritisi tentang lingkungan hidup di kota Bogor. Berangkat dari potret realita yang terjadi di lapangan, kondisi lingkungan hidup di kota Bogor yang semakin memprihatinkan secara luas akan disajikan dari berbagai aspek, sehingga kedepan perlu dilakukan reorganisasi tata kelola lingkungan hidup di kota Bogor.

Permasalahan Sampah
Rata-rata kepadatan penduduk kota Bogor tahun 2014 menurut BPS (2015) yaitu 8.698 orang/km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 1.030.720 jiwa. Beban kota Bogor menurut catatab BPS semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang tersebar disetiap kecamatan, khususnya yang berada dalam lingkaran pusat ibu kota Kota Bogor. Tercacat jumlah sampah setiap hari pada tahun 2009 yaitu sebesar 2.205 m3, sedangkan pada tahun 2013 sebesar 2.447 m3/hari. Selama ini sampah-sampah dibuang ke tempat Tembuangan Akhir sampah (TPA) di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor yang akan habis kontrak 31 Desember 2015. Data yang di olah Walhi Jawa Barat tahun 2014 juga menunjukkan skala yang lebih luas tentang sampah di Provinsi Jawa Barat yang menunjukkan bahwa produksi sampah kota Bogor mencapai 493.72 ton/hari. Perbandingan yang jauh di bandingkan data 2009 sampai 2014 meningkat drastis.
Di beberapa sisi lain dalam permasalahan sampah yaitu sering menjadi pemandangan umum sungai menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat di berbagai wilayah mulai dari desa, kecamatan, hingga kota baik di sungai kecil maupun sungai besar. Data BPLH Kota Bogor tahun 2013 yang bersumber dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor merilis masih banyaknya rumah tangga yang membuang sampah ke sungai sebanyak 4.454 rumah tangga, dan lainnya 27.468 rumah tangga.
Sumber: Dinas Kebersihan dan Pertamanan, dalam BPLH Kota Bogor tahun 2013
Setidaknya beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu: 1) Rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah, 2) Kurangnya perhatian khusus aparatur pemerintah tentang penangan sampah di lingkungan terkecil yaitu wilayah perdesaan, 3) Masyarakat tidak memiliki akses terhadap lokasi pembuangan sampah dilingkungannya, 4) Kurangnya gerakan yang kontinyu dalam penangan sampah di Kota Bogor.
Hal yang mengkhawatirkan adalah kota Bogor yang kepadatan penduduknya semakin tinggi belum memiliki upaya untuk menangani sampah didalam wilayahnya sendiri. Saat ini dirasakan semakin sulit untuk mendapatkan lokasi TPA dekat atau di dalam kota, selain itu semakin mahalnya mobilisasi sampah seiring dengan kenaikan BBM dan pemeliharaan sarana angkutan, beberapa hal tersebut patut dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan layanan publik atau para kepala daerah.

Permasalahan Pembangunan Kota
Pembangunan di wilayah perkotaan sulit untuk di hindarkan, penyebabnya antara lain kebutuhan akan fasilitas yang dibutuhkan publik seperti jalan raya, pedestrian, petokoan dan pasar, terminal, hotel, tempat rekreasi dan hiburan, dll yang sangat membutuhkan areal untuk mendukung suatu kemajuan kota. Akan tetapi realita yang terjadi saat ini yaitu masih lemahnya sinergitas perencanaan tata ruang dan perencanaan pembangunan terutama pada pelaksanaan pembangunan permukiman perkotaan. Pemukiman perkotaan merupakan salah satu tuntutan dari laju pertambahan penduduk di kota Bogor, hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor berikut:
1. Tingginya kebutuhan akan pemukiman di wilayah perkotaan yang didukung dengan belum banyakknya aturan dan strategi pembangunan yang terencana.
2. Kebijakan dan strategi pembangunan permukiman perkotaan seringkali bersifat sesaat dan berorientasi pada ketersediaan program atau proyek pendukung.
3. Strategi pembangunan yang belum bersinergi dengan RTRW secara keseluruhan.
4. Tumpang tindik kebijakan dan strategi penanganan persoalanpembangunan permukiman perkotaan pada tingkat operasional wilayah kota.
Sorotan tajam saat ini yaitu semakin maraknya pembangunan perumahan menuju 6 wilayah kecamatan di Kota Bogor serta pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan. Pembukaan wilayah yang diperuntukkan untuk pembangunan lain perlu diimbangi dengan adanya wilayah yang diperuntukkan atau disinergikan dengan kebutuhan kelestarian lingkungan hidup. Banyak hal yang menjadi catatan dalam pembangunan kota yaitu: 1) Semakin sempitnya ruang terbuka hijau, 2) Meningkatnya penggunaan air bawah tanah, 3) Meningkatnya penggunaan bahan pencemar udara dalam aktivitas sehari-hari masyarakat, 4) Meningkatnya jumlah penggunaan energi berbahan bakar fosil, 5) Sanitasi air serta pembuangan bahan-bahan pencemar kesungai, 6) Tata ruang yang tidak diindahkan oleh masyarakat, 7) Belum berdayanya kemandirian di tingkatan desa dalam strategi merencakan menghadapi bonus demograsi dan dampak ekonomi global terhadap tekanan kebutuhan lahan.
Catatan Walhi Jawa Barat tahun 2014 menunjukkan adanya konflik sosial di kota Bogor sebanyak 7 kali hampir rata-rata konflik karena alih fungsi lahan sehingga petani kehilangan lahan garapannya, proyek-proyek infrastruktur publik dan swasta skala besar seperti pelebaran jalan, pembangunan kawasan industri, kawasan properti, dll. Seperti saat ini, kota Bogor pelebaran jalan dengan jumlah kendaraan yang tidak seimbang akan menyebabkan berkurangnya kenyamaan dalam aktivitas di wilayah kota Bogor, begitu juga kawasan properti yang hanya mengedepankan design yang tidak memperhatikan kebutuhan untuk menyerapkan air kedalam tanah juga akan menyebabkan semakin tingginya laju air permukaan yang banyak terbuang begitu saja padahal disisi lain air sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Nampak bahwa pembangunan dilakukan akan menyebabkan dampak lain terhadap kondisi lingkungan hidup.

Mengantisipasi Krisi Ekoligis
Dalam catatan akhir tahun 2014 tentang provinsi Jawa Barat bahwa Walhi mengungkapkan Jejak krisis ekologi di Jawa Barat menjadi catatan refleksi bersama, bahwa kita semua dihadapkan pada situasi patologi ekologis dan bencana yang akan menjadi petaka kehidupan dan bahkan diprediksi, krisis ekologi ke depan akan semakin hebat, alam dan lingkungan hidup akan semakin rusak sejalan dengan kebijakan pembangunan yang semakin serakah dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali dan tanpa perencanaan dan perhitungan ekologi.
Berbagai data dan kajian tentang pembangunan yang kurang memperhatikan situasi lingkungan hidup justeru akan membayakan kehidupan umat manusia sendiri banyak disajikan. Kota Bogor dengan berbagai regulasi dan kebijakan yang ada tentu perlu kembali menegaskan dan terjun langsung mengawal keseimbangan ekologi antara pembangunan dan lingkungan hidup, dengan demikian maka kota Bogor yang sering dibangga-banggakan masyarakat sebagai kota asri, sejuk, dan nyaman masih dapat dirasakan.

Penutup
Dengan catatan dari sisi yang coba dilihat dari kacamata penulis diatas yaitu permsalan sampah dan pembangunan skala luas, maka beberapa usulan dari catatan akhir ini untuk pemerintah kota Bogor antara lain:
1. Permasalahan pembangunan akan memiliki efek yang luas, maka perlu memastikan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap semua komponen yang terlibat dalam pembangunan kota supaya taat aturan hukum dan tata ruang serta bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup
2. Pemerintah perlu mendukung ide dan gagasan komunitas dengan berbagai inisiatif-inisiatif dalam bekerja untuk penanganan dan pemulihan lingkungan hidup.
3. Pemerintah perlu memberikan akses informasi yang terbuka bagi masyarakat atas kebijakan pembangunan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemantauan dan pengawasan pembangunan
4. Pemerintah perlu memastikan perlindungan akses dan aset sumber kehidupan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

GUS DUR, SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP


Aktivitas sosok Gus Dur tidak lepas dari berbagai aspek baik aspek agama, sosial, ekonomi, politik, dan budaya bahkan hingga sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Banyak kalangan yang menulis sosok beliau dari aspek agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya hingga menghasilkan beratus-ratus kajian dan buku-buku sampai kegiatan sarasehan/kongkow yang dilakukan untuk membedah pemikiran beliau. Namun tidak banyak yang membahas tentang bagaimana upaya dan usaha Gus Dur andil dalam mewujudkan tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang selama ini ia fikirkan dan lakukan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam semesta (hablum minal ‘alam).
Gus Dur yang lahir di Jombang 7 September 1940 menjadi sosok guru bangsa yang terus di dambakan oleh masyarakat. Dalam dirinya melekat sosok yang humanis (memanusiakan manusia) yang salah satunya dikarenakan latar belakang dari keluarga pesantren yang selalu melekat dan menjadi spirit dalam mendasari pemikiran dan tindakan landasan beliau untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan melalui berbagai cara. Salah satunya yaitu menyelamatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang juga tertuang dalam Al-Qur’an yang pada intinya bahwa manusia memiliki kewajiban-kewajiban yang melekat baik kewajiban kepada Tuhan Sang Pencipta, kewajiban antar sesama manusia, dan kewajiban kepada alam semesta. Maka dalam tulisan ini akan mengulas bagaimana pemikiran-pemikiran Gus Dur dalam mweujudkan tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam.
Tata Kelola Sumberdaya Alam yang Salah Jalan
Indonesia dengan gugusan pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke kaya akan sumber daya alam, sehingga bangsa ini dituntut untuk terus berbenah diri dalam hal tata kelola sumberdaya alam baik kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan. Selama ini sumberdaya alam kita banyak dikeruk oleh pemodal asing dengan berbagai iming-iming jabatan, gaji, dan berbagai kemudahan untuk menunjang kesejahteran dari tingkat masyarakat hingga tingkat pejabat terkait. Maka tidak heran ketika 74 tahun umur kemerdekaan Republik Indonesia semakin banyak ketimpangan dan ketidak adilan dalam berbagai aspek baik aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya hingga dalam pembagian distribusi sumberdaya alam yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Era kemerdekaan saat ini masih banyaknya aksi-aksi yang dilakukan untuk mengangkat ketidak adilan negara dalam hal pendistribusian sumberdaya alam Indonesia, seperti boikot terhadap aktivitas tambang, penggusuran atas nama ketertiban, penyingkiran masyarakat adat dari kawasan hutan, pembakaran lahan hutan untuk investasi skala besar atas nama masyarakat dan berbagai contoh kasus lainnya dimana rakyat tidak dapat mengakses sumberdaya alam karena pemerintah sengaja tidak hadir dan cenderung membela para kaum pemodal. Mokoginta (2009) menyatakan bahwa ketimpangan pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Indonesia adalah bentuk upaya pengrusakan lingkungan hidup secara pelan-pelan atas nama pembangunan yang lebih modern sejak diterbitkannya UU No. 3 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, sehingga banyak paradigma “kapitalis” yang telah merasuk kepada masyarakat hingga pejabat dan elit politik di Indonesia. Kolaburasi paradigma tersebut sampai saat ini masih dianggap lumrah atas nama pertumbuhan ekonomi bangsa, tetapi disisi lain mengabaikan hak-hak masyarakat Indonesia sebagai pemilik sumberdaya alam negara ini.
Paradigma yang telah menular tersebut mendapatkan respon yang sangat luas, dimana beberapa tahun terakhir (5 tahun) ini juga muncul berbagai konflik yang di catat oleh Kompas dalam Batubara (2013) bahwa sepanjang tahun 2013  telah terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi dimana setiap konflik dibarengi jatuhnya korban yang sebagian besar dari petani dengan perentase konflik sumberdaya alam dimana 69% konflik dengan korporasi (swasta), 13% dengan Perhutani, 9% dengan Taman Nasional, 3% dengan pemerintah daerah, 1% dengan instansi lain, dan sisa 5% tidak dijelaskan oleh Kompas. KPA dalam Rachman (2015) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2014 telah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indonesia yang terjadi di sebagian besar proyek infrastruktur 46%, perluasan perkebunan skala luas 39%, sektor kehutanan 6%, pertanian 4%, pertambangan 3%. Dalam peta konflik dari berbagai lembaga, hampir rata-rata menyatakan bahwa setiap tahun konflik sumberdaya alam di Indonesia semakin meningkat. Hal tersebut dapat ditemukan dari analisis dari Rachman (2015) bahwa sebab utama dari porak porandanya pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia ini yaitu salah jalannya kita dalam mereorganisasi ruang  yang seharusnya untuk kepentingan rakyat Indonesia namun digunakan untuk mempeluas sistem produksi kapilatisme yang menghasilkan komoditas global.
Salah jalan tata kelola sumberdaya alam di Indonesia karena di “Tuhankannya” kepentingan ekonomi-politik dan diabaikannya kepentingan lain seperti ekologi dan budaya. Sehingga 74 tahun Indonesia merdeka belum banyak terasa berbagai pundi-pundi sumberdaya alam dinikmati oleh negara akan tetapi lari ke luar negeri. Bencana ekologi yang saat ini kita rasakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan kemajuan dunia industri dan teknologi, sehingga kedepan ancaman terhadap kualitas lingkungan hidup menjadi isu dan perhatian khusus.
Bagaimana Gus Dur Hadir dalam Tata Kelola Sumberdaya Alam?
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia juga menjadi bagian dari agenda global, dimana perang-perang dunia yang dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kepentingan kelangsungan hidup bangsanya dipaksakan ke Indonesia untuk dimasukkan agenda mereka dalam penguasaan sumberdaya alam hingga sekarang. Hal yang paling mudah dilakukan yaitu melalui jalur politik kekuasaan dan peraturan/kebijakan suatu negara. Banyak pengamat, pemerhati, dan pelaku sejarah meng-amin-i hal tersebut. Bahwa Indonesia menjadi “bancaan (Red: rebutan)” dunia dalam pengerukan sumberdaya alam. Gus Dur salah satu anak bangsa yang sangat memahami hal tersebut. Dia lakukan berbagai upaya baik melalui door to door ke berbagai elemen seperti pemerintah, ormas, NGO, hingga masyarakat yang sekitar sumberdaya alam yang saat ini dikuasi pemodal, hingga mendatangi penguasa untuk memberikan otokritik atas pengelolaan sumberdaya alam serta masukan-masukan yang berharga. Namun banyak yang kurang menanggapi kehadiran Gus Dur saat itu, kenapa karena saat ea orde baru “pembungkaman” pendapat sering tejadi yang berujung pada ancaman keselamatan seorang aktivis. Gus Dur tidak takut akan hal tersebut, kenapa karena ia berpegang teguh pada nilai-nilai yang diamanatkan kepada rakyat Indonesia atas sumberdaya alam yaitu pasal 33 UUD 1945 bahwa  Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 
Beberapa pemikiran Gus Dur yang coba penulis analisa yang terkait tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia dari berbagai sumber yaitu: Pertama, pemikiran sosial-politik Gus Dur yang sejak muda dituangkan dalam tulisan-tulisan dan diskusi/sarasehan/kongkow. Dalam beberapa tulisannya mengungkapkan bahwa keadilan, kesejahteraan ekonomi rakyat Indonesia akan tercapai jika adanya “pemerintah” yang mampu berpihak kepada rakyat. Pemikiran tersebut dilandasi dari rasa humanis seorang Gus Dur yaitu manusia sebagai subyek penggerak tentang pengelolaan sumberdaya yang ada melalui kesetaraan hak (hak individu dengan hak orang lain). Dengan demikian kajian sosial-politik yang digagas beliau akan berimplikasi pada upaya membuka pintu untuk pengelolaan sumberdaya alam yang adil untuk rakyat Indonesia bukan untuk penguasa yang sering terjadi hingga saat ini yaitu penguasa dengan powernya mencatut jabatannya untuk ambisi pribadi yaitu bisnis bersama perusahaan-perusahaan yang menginvestasikan modalnya di Indonesia. Hal ini banyak terbukti sejak era orde baru hingga saat ini sehingga telah menjamur baik dari tingkat desa hingga pemerintah pusat. Contoh kecil yaitu Pembunuhan Salim Kancil beberapa bulan lalu yang menolak tambang pasir di desanya karena merusak lingkungan, dalam hal ini aparatur desa menjadi bagian dari perusahaan yang telah beroperasi mengeruk pasir selama bertahun-tahun lamanya hingga hukum menjadi tumpul kepada rezim penguasa.
Kedua, ­pemikiran sosial-budaya. Gus Dur mengerti betul bahwa akar budaya bangsa Indonesia banyak yang telah pudar. Sehingga interaksi sosial yang terjadi saat ini adalah interaksi dari hasil pembangunan manusia Indonesia yang berakar pada materialisme. Masyarakat Indonesia yang kental akan budaya dipaksa harus menerima sistem pemerintahan yang sentralistik dan top-down. Contoh kecil yaitu dirubahnya nama institusi pemerintahan lokal menjadi desa seperti di daerah Sumatera Barat pemerintahan dahulu Nagari, dan Lampung dengan sebutan Pekon. Kemudian dorongan pemikiran yang ingin mengembalikan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat Indonesia yang sejatinya yaitu Gus Dur memberikan kejutan kepada rakyat Indonesia dimana Jaya Pura di ganti dengan nama Papua yang sesuai dengan jatidirinya. Setidaknya pemikiran beliau menginspirasi bahwa perlunya kebijakan nasional untuk menjadikan daerah-daerah menemukan jatidirinya (jiwa dan raga) kembali dalam bingkai NKRI. Pemikiran yang terus berlangsung hingga saat ini menghasilkan lahirnya UU Otonomi Daerah, UU Otonomi Khusus, UU Pemerintah Desa dengan semangat bahwa daerah harus bangkit (buttom-up) dan bukan saatnya lagi daerah hanya menjadi bahan eksploitasi sumberdaya alamnya, namun ketika habis menyisakan berbagai masalah dan koflik. Hubungannya dengan sumberdaya alam yaitu bahwa pemerintah daerah saat ini memiliki wewenang untuk mengelola sumberdaya alamnya untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Ketiga, pemikiran be your self (menjadi diri sendiri). Pemikiran ini sudah lama dituangkan beliau sejak tahun 1982 tentang bagaimana negara Indonesia perlu kembali menemukan jati diri sebagai negara maritim bukan negara agraris. Gus Dur mengerti betul bahwa Indonesia dengan jutaan pulau yang dikelilingi laut menjadi dasar dan modal bahwa kunci eratnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia teletak dari dekatnya rasa saling memiliki antar komponen bangsa walaupun secara geografis terpisah oleh lautan. Menurut beliau tentang laut yaitu keberkahan dari Allah SWT bagi bangsa Indonesia yang patut disyukuri dengan mengelolanya secara benar, sebab jalur-jalur perjuangan bangsa Indonesia telah diletakkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia yang tanpa ada laut mustahil Indonesia akan merdeka. Dari laut Nusantara bersatu melalui era kejayaan Nusantara dengan penguasaan sumberdaya alam yang dibentengi oleh laut. Maka jati diri bangsa Indonesia yang harus diteruskan, hal tersebut baru dapat terwujud ketika Gus Dur menjadi presiden, ia membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan.
Keempat, pemikiran gerakan perlawanan kepada rezim penguasa negara atas pelanggaran hukum pengelolaan sumberdaya alam. Banyak yang dilakukan oleh Gus Dur dalam upaya memberikan gerakan perlawan kepada negara yang tidak berpihak pada keselamatan warga dalam jangka panjang, seperti sejak tahun 1982 Gus Dur melakukan penolakan terhadap pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Isu pembangunan PLTN kembali hangat tahun 2006 bahwa pemerintah akan kembali merealisasikan rencana pembanguan PLTN sehingga menimbulkan banyak kekhawatiran warga sekitarnya juga warga Jepara dan Kudus. Gus Dur adalah orang yang bersikap tegas atas hal tersebut, sebab beliau menimbang bahwa nuklir di Indonesia tidaklah cocok dan lebih membahayakan untuk keselamatan dan keberlangsungan hidup generasi penerus bangsa Indonesia. Ia mewujudkan pemikirannya melalui ancaman bahwa jika tetap akan direalisasikan maka ia akan meniduri (tidur) areal sekitar proyek di semenanjung muria. Selain itu Gus Dur juga pernah menyerukan penutupan perusahaan kertas terbesar di pulau Sumatera yang diindikasikan melanggar hukum dimana ijin dan praktik didalamnya tidak sesuai dan diindikasikan merusak hutan alam (Berita Bumi, 2010).
Kelima, pemikiran perlu bernafasnya sumberdaya alam. Alam adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk kebutuhannya. Gus Dur memahami betul bahwa dalam agama Islam alam harus dijaga dan dilestarikan secara terus menerus, sebab segala sesuatu tindakan manusia akan dipertanggung jawabkan kepada Tuhan termasuk dalam usaha menjaga dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Ia menganggap bahwa sumberdaya alam akan menjadi saksi, walaupun seolah-olah sumberdaya alam yang ada diam tidak berbicara apa-apa dan memasrahkan pada manusia. Oleh karena itu salah satu upaya mengurangi eksploitasi sumberdaya alam khususnya hutan di Indonesia, beliau menggagas dan mengeluarkan perlunya  kebijakan berupa moratorium (jeda tebang) selama 10 tahun agar hutan bisa bernafas lega. Ini berarti memberikan kesempatan kepada hutan untuk tumbuh kembang dan tidak dieksploitasi secara berlebihan seperti yang selama ini terjadi. Setidaknya sumberdaya alam yang banyak dieksploitasi oleh investor menjadi pemikiran beliau untuk mendayagunakan kekuatan bangsa Indonesia untuk mandiri baik secara ekonomi, politik, dan budaya melalui kekayaan yang dimiliki. Menurut beliau orang Indonesia mampu mengelola sumberdaya alamnya secara mandiri dan sudah saatnya kita (bangsa Indonesia) merebut kembali sumber-sumber daya alam tersebut. Maka pada suatu kesempatan beliau mengatakan bahwa “Ada tiga macam sumber alam, itu harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita. Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut.” Sejatinya kemakmuran bangsa dapat terjadi jika bangsa Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri bukan tamu di negeri sendiri.
Guru Bangsa yang Rela Hancur demi Indonesia
Dalimunthe (2015) menyatakan bahwa Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden juga diindikasikan dikarenakan beliau memiliki pisau ganda untuk mengelola sumberdaya alam Indonesia kembali bangkit berdikari yaitu dengan moratorium tehadap Kontrak Karya baru yang berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu Gus Dur juga mengeluarkan kebijakan meninjau kembali Kontrak Karya yang pernah dibuat di zaman rezim Soeharto. Tindakan perlawanan terus ia lakukan selama negara tidak bisa hadir untuk menjamin keselamatan rakyatnya dan cenderung membela kepentingan pemodal asing atas nama apapun.
Gus Dur yang rela mengorbankan dirinya demi kepentingan bangsa Indonesia tercermin dari berbagai aktivitasnya yang pada akhirnya menginspirasi para penerus-penerusnya di Nahdlotul Ulama utnuk terus bergerak dalam mengawal kekayaan alam Indonesia. Rosyid (2015) mencatat bahwa pada tanggal 9 dan 10 Mei 2015 Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengkritisi tentnag permasalahan yang terjadi tentang pengelolaan sumber daya alam, di Pondok Pesantren Al Manar Azhari, Limo, Depok dengan hasilnya bahwa PBNU mengeluarkan fatwa wajib bagi masyarakat untuk melakukan gerakan “amar ma’ruf nahi munkar” atas aktivitas eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang dinilai telah berlebihan sehingga aktivitas eksploitasi lingkungan tersebut termasuk dalam perbuatan dholim dan merupakan bagian dari pengrusakan terhadap bumi yang menjadi titipan Allah SWT kepada manusia yang dinobatkan sebagai Kholifah.
Hal yang patut dicontoh dari Gus Dur yaitu nilai-nilai semangat dan jiwanya yang berani memikirkan bangsa Indonesia tanpa pamrih dan rela mengorbankan kepentingan pribadinya agar berdikari di negeri sendiri. Hal tersebut tidak lepas dari gemblengan pendidikan karakter dan keilmuan dari kakek dan orang tuanya yang juga sebagai pahlawan nasional (K.H. Hasyim As’ari dan K.H. Wahid Hasyim) yang banyak melakukan reformasi baik dalam pemahaman keagamaan, sosial dan kebudayaan, sistem pendidikan tanpa meninggalkan jati diri sebagai bagsa Indonesia.
Salah satunya semangat Gus Dur dalam memperjuangkan sumberdaya alam Indonesia juga terlihat dalam kegemaran beliau membaca buku-buku para proklamator (Sukarno-Hatta) yang dalam pemikirannya bahwa bangsa Indonesia harus berdikari dan berlandaskan ekonomi kerakyatan. Maka dengan kondisi apapun Gus Dur tetap berjuang untuk menggelorakan semangat nasionalisme dengan gaya beliau yang sering dianggap remeh dan terkesan tidak nasionalis terhadap aspek sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia. Akan tetapi banyak juga pemikiran-pemikirannya yang menginspirasi dan menjadi landasan dalam upaya distribusi sumberdaya alam Indonesia secara adil dan merata agar kemakmuran dapat terwujud.

Pada akhirnya Gus Dur terbukti sebagai pejuang sumberdaya alam dan lingkungan dengan diberikannya gelar penghormatan sebagai Pejuang Lingkungan Hidup oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Maka lepas sudah bahwa anggapan Gus Dur hanya berteori dan berwacana tentang aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akan tetapi berangkat dari aspek pemikiran tersebut akhirnya dapat terpolarisasi dan menjadi dasar kuat dalam menata kembali pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia yang harus kembali kepada spirit perjuangan para founding father bangsa Indonesia.

Selasa, 03 November 2015

Nonaku


Nona telah 3 tahun kita menikah.
Sajak-sajak itu hampir lenyap ketika sang buah hati kita Habib dan Haddad tersenyum dalam hari-hari kita.
Tak sempat aku berfikir untuk tinggalkan kamu.
Nonaku telah 3 tahun engkau mendampingiku.
Jerih payahmu semoga Allah SWT membalasnya surga-surga-surga-surga-surga yang mengobati getirnya dunia ini karena pantas engkau mendaptkannya.
Nonaku telah 3 tahun engkau melayaniku bak raja, namun aku ini masih membuatmu belum tersenyum karena aku masih menyimpan mutiara yang belum keluar yaitu sebuah impian.
Semoga kita menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah, dalam ridho Allah SWT.
Aamiin.

3 November 2015

Jumat, 30 Oktober 2015

PEJUANG-PEJUANG

 Kebosanan melanda para pejuang-pejuang

Didalam talak-talak skat lembaga, bersetubuh sebelum cerai
Jikalau poros-poros dan tiang-tiang telah berdiri
Si pejuang menua, tiang menghantam dalam waktu atas nama kebenaran ia berdiri
Oh malangnya tiang-tiang itu
Akan dibuat untuk mendirikan rumah hanya karena ideologi sang pendiri yang dianggap salah
Berkelakar dengan para semut-semut yang berwarna untuk menghantam si tua
Jikalau ada seribu serdadu yang siap menghadang ideologi
Pastilah si pejuang tua berada di barisan depan, dan tiang akan berada dibelakang diam berdiri
Wahai pejuang, alangkah malang nasibmu
Berdiri untuk idiologi yang engkau dianggap salah
Engkau akan marah namun tahu diri bahwa engkau sudah tua dan harus mengayomi
Dirimu dibantu seribu serdadu dengan pangkat yang berbintang-bintang, dengan tameng baja
Namun tiang tetap akan menghantam ketika keadaan aman.
Aku berdiri diatas pandu, bukan berdiri dan berlindung apalagi menghindar
Hanya satu, agar dianggap anak kandung satu idiologi
Aku menghadap Tuhan, kukatakan kebenaran bahwa pejuang yang tua renta itulah serdaduMu
Dia tanpa mengeluh membela walau dicela
Bogor, 30 Oktober 2015

Kamis, 23 April 2015

HUTAN MANGROVE, PENJAGA BUMI


(Dibuat dalam Rangka Memperingati Hari Bumi 22 April 2015)

Peringatan hari bumi tanggal 22 April yang dilakukan serentak diseluruh dunia menjadi sebuah momentum yang berharga bagi planet “bumi” untuk menyadarkan masyarakat agar kembali sadar akan pentingnya menjaga bumi dari kerusakan. Kerusakan yang dilakukan manusia baik di darat, air, udara membawa dampak secara global yaitu semakin meningkatnya suhu bumi, sehingga saat ini kita sedang dalam kondisi yang tidak seberuntung orang jaman dahulu yang masih menikmati udara segar, air bersih, dan tanah subur.
Hari Bumi dicetuskan oleh Senator Amerika Serikat yaitu Gaylord Nelson pada tahun 1970. Hari bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet bumi dan telah dilakukan selama 45 tahun, maka  selayaknya hari bumi telah dikenal oleh masyrakat dunia sebagai hari untuk meningkatkan kepedulian terhadap palnet bumi dan seisinya walaupun masih banyak kendala dan tantangan dalam pelaksanaannya. Salah satunya yaitu hari bumi hanya sebagai kegiatan ceremonial sehingga esensi hari bumi kurang dipahami banyak kalangan. Kita harus tetap optimis bahwa sudah saatnya kita memiliki misi untuk segera memperbaikinya, salah satunya yaitu menjaga dan mengelola  hutan mangrove (HM) agar tetap lestari. Mengapa harus HM?
Didalam berbagai kesempatan diskusi dan pengambilan kebijakan keberadaan HM sering terlewatkan untuk menjadi bagian dari sumber kekayaan hutan kita yang perlu dikelola dengan benar. Disisi lain peran dan fungsi HM sangat besar terhadap kelestarian ekosistem transisi antara daratan dan lautan.
Hutan Mangrove “Sabuk Pengaman”
Hutan mangrove memiliki ciri khas yang unik yaitu diantara wilayah daratan dan lautan yang membentuk seperti sabuk hijau (green belt) sepanjang garis pantai. Karena keberadaannya tersebut maka HM memiliki peranan penting dalam menjaga kestabilan ekosistem bumi khususnya di wilayah tropis dan subtropis. Kustanti (2011) mengungkapkan bahwa diantara fungsi HM yaitu fungsi ekologis seperti tempat berkembang biaknya biota laut dan binatang-binatang laut, fungsi fisik seperti perlindungan dari abrasi akibat gelombang besar serta tiupan angin yang kencang, dan fungsi sosial ekonomi seperti meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat sekitar hutan. Fungsi lain dari HM yaitu memiliki kemampuan asimilasi dan laju penyerapan Carbon (C) yang tinggi baik dari tumbuhan maupun tanah mangrove yang kaya akan kandungan organik (Donato et.al 2012).
Patut disyukuri bahwa bangsa Indonesia dianugerahi sabuk hijau yang terluas di dunia yaitu (4.255 juta ha) yang diikuti Brazil (1.340 juta ha), Australia (1.150 juta ha), dan Nigeria (1.0515 juta ha). Namun luasan HM mengalami penurunan setiap tahun yang disebabkan karena beberapa faktor seperti faktor pertumbuhan ekonomi, konversi lahan untuk tambak dan pembangunan pesisir, penebangan liar, kebijakan yang kurang tepat, dan manajemen yang keliru. Donato et al. (2012) mengungkapkan bahwa laju kerusakan HM di Indonesia dalam 50 tahun terakhir mencapai 30%-50%. Sungguh memprihatinkan jika kerusakan HM  begitu besar dan cepat, sedangkan Indonesia adalah negara kepulauan. Seharusnya kita mampu mempertahankannya dari segala ancaman yang ada sehingga HM sebagai “sabuk pengaman” pulau-pulau di Indonesia dapat terus lestari keberadaannya.
Beberapa pakar mengemukakan bahwa kondisi permukaan air laut semakin meningkat akibat global warming, pulau-pulau kecil banyak yang tenggelam, namun disisi lain perlu memperhatikan kondisi masyarakat sekitar HM yang sebagian besar adalah nelayan yang bergantung hidupnya dari laut dan HM. Apa yang bisa kita perbuat untuk bangsa ini, padahal telah banyak penelitian, seminar, kegiatan keproyekan, pemberdayaan yang dilakukan oleh berbagai pihak namun perubahan yang terjadi belum banyak dirasakan.
Tentu kami sangat khawatir jika sabuk pengaman yang kita banggakan saat ini telah kehilangan simpati dari para pegiat lingkungan, sehingga akan memperburuk kondisi HM yang ada. Atau sebaliknya karena hanya menjadi objek kegiatan maka semakin memperburuk kondisi HM yang sebenarnya jika dikelola masyarakat justeru akan lebih baik kondisinya. Namun hal tersebut kami fikir tidak bijak juga karena semua stakeholder akan saling terkait dan memiliki tujuan bersama agar kondisi bumi kita semakin baik, walaupun disadari atau tidak kita masih lemah dalam mengungkap luasnya ilmu pengetahuan dari  emas hijau yang membentang tersebut.
Penjaga Bumi
Berbagai pembuktian akibat dari hilangnya HM seperti intrusi air laut, berkurangnya tangkapan (ikan, udang, kepiting) nelayan, abrasi pantai, rusaknya pemukiman penduduk karena terpaan angin laut yang kencang, bahkan gelombang besar sunami menghantam dengan cepat wilayah daratan jika HM hilang. Fakta-fakta tersebut harus menjadi evaluasi bagi kita semua penduduk planet bumi ini untuk segera kembali menata keseimbangan antara kebutuhan manusia dan alam.
Disatu sisi kita sering melihat berbagai peristiwa terjadi yang mengancam kelestarian HM namun sering dibiarkan, seperti pengerukan pasir di muara sungai, pembuatan tanggul pemecah abrasi, penebangan liar yang dilakukan oleh oknum, konversi lahan HM menjadi tambak/tempat wisata pantai, hal tersebut secara tidak langsung akibat dari kesalahan dalam mengambil kebijakan dan manajemen pengelolaan HM yang tidak tepat.
Kesalahan tersebut biasanya terjadi karena kebijakan dan manajemen yang dibuat kurang memperhatikan karakteristik dari sumberdaya alam di masing-masing wilayah HM sehingga HM mengalami berbagai tekanan dari berbagai hal terutama dalam hal pemanfaatannya yang over eksploitasi. Akan tetapi jika emas hijau yang terbentang ini hanya dikelola oleh pemerintah dengan segala landasan hukum, strategi nasional, dan lain-lain, maka kami yakin tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan yang ada.
Solusi yang harus segera dilakukan yaitu sebaiknya pemerintah/pengambil kebijakan menjadi fasilitator bagi pengelola tingkat tapak (masyarakat) untuk mewujudkan kelestarian HM yang ada diwilayahnya dengan berbagai macam cara baik kesepatan-kesepakatan yang saling menguntungkan, adanya reward dan punism yang semuanya bermuara pada kesepakatan “Ya Kami Ingin Hutan Mangrove Tetap Lestari” dan menjadi pelajaran penting bahwa HM menjadi bagian dari penjaga planet bumi. (*)


Sabtu, 07 Februari 2015

KEHUTANAN MASYARAKAT, SIMBOL DEMOKRASI INDONESIA



Pesta demokrasi akan segera tiba, yaitu pemilihan serentak kepala-kepala daerah diseluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan pertama kali di Indonesia untuk mencari pola-pola yang tepat dalam menjalankan dan menjamin good governance yang terbaik bagi Indonesia kedepan, sekaligus menjadi bagian dari proses-proses pembelajaran sebagai negara yang menganut sistem demokrasi.
Berbicara demokrasi sebenarnya telah lama dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak jaman-jaman kerajaan, dimana rakyat menjadi simbol kekuatan (power) dalam menunjang sistem demokrasi. Akan tetapi ada satu hal yang menarik untuk diperhatikan yaitu bagaimana pola-pola pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh rakyat memberikan gambaran bahwa demokrasi telah dilaksanakan secara tidak langsung oleh mereka (rakyat) yang mengelola sumberdaya alamnya selama berabad-abad lamanya. Sebagai contoh yaitu pengelolaan Hutan Rakyat (HR), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa (HD), hutan tanaman rakyat (HTR).
Tulisan ini terinspirasi dari sebagian akumulasi pemikiran penulis dengan mempertimbangkan berbagai potensi sumberdaya hutan dan kepentingan masyarakat yang selama ini banyak dikesampingkan oleh pihak-pihak tertentu. Bagaimana pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh pemodal (private), namun rakyat yang ingin turut andil dianggap sebelah mata yang disebabkan terbatasnya kapasitas individu dan teknologi yang tidak memadai. Sejak itulah ketidak adilan terjadi sehingga menimbulkan banyak konflik-konflik terjadi antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dengan pemodal yang sengaja dipelihara atau dibiarkan. Disisi lain, pesta demokrasi terus berjalam tiap 5 tahunan yang belum juga memberikan dampak signifikan bagi rakyat untuk mendapatkan kepastian pengelolaan sumberdaya hutan.
Perkembangan Kehutanan Masyarakat
Wulandari (2009) menyebutkan bahwa krisis lingkungan yang diikuti dampak krisis ekonomi yang mengakibatkan rusaknya hutan Indonesia menunjukkan ketidak mampuan pemerintah dalam menghadapi persoalan lingkungan yang terjadi secara perlahan-lahan. Kurun waktu 15 tahun belakangan ini bangsa Indonesia belum menunjukkan adanya perkembangan yang siginifikan atas perbaikan kondisi lingkungan hidup, sehingga berbagai pihak memunculkan kembali kekuatan lokal yang sebenarnya telah berjalan berabad-abad lamanya akan tetapi semakin tergerus dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang banyak mengesampingkan keberadaan masyarakat lokal.
Maka muncul istilah kehutanan masyarakat yang menjadi alternatif jawaban yang menawarkan pendekatan pembangunan kehutanan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat setempat, kemudian dalam perkembangannya banyak diistilahkan dengan hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa (HD), hutan tanaman rakyat (HTR), dan Hutan Rakyat (HR) melalui berbagai kebijakan, aturan, dan penelitian-penelitian yang dilakukan. Masyarakat mulai diakui dan diberikan kepercayaan untuk mengelola hutan, jika ditelisik secara komprehensif sebenarnya hasil hutan yang dikelola masyarakat memberikan sumbangsih yang nyata dan terus menerus kepada pasar. Studi manfaat dan aliran produksi hasil hutan dari kehutanan masyarakat banyak dilakukan oleh berbagai pihak terutama peneliti yang menunjukkan bahwa benar adanya hasil dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat memberikan dampak positif dan sumbangan yang besar kepada pasar walaupun belum memberikan kontribusi sesuai dengan permintaan pasar yang lebih besar dari produksi.
Jika paradigma berfikir yang digunakan untuk membaca pengelolaan kehutanan masyarakat,  secara tidak langsung seharusnya dapat menjadi intropeksi bagi bangsa Indonesia. Krisis-krisis yang terjadi berakar dari perubahan perilaku, kelembagaan, dan cara pengelolaan yang banyak dimonopoli oleh negara yang selama ini bertindak sebagai pemilik sekaligus pengelola sumberdaya hutan yang dipandang sebagai manfaat ekonomi belaka (Peluso 2006). Oleh karena itu yang terjadi adalah kehancuran berbagai sendiri kehidupan masyarakat terutama dalam hal tatanan sosial masyarakat sekitar hutan, sebab masyarakat banyak yang dibungkam oleh pemodal yang “se-iya, se-kata” dengan aparatur negara dalam mengelola sumberdaya hutan.
Konsep kehutanan masyarakat telah membuka “kran” demokrasi yaitu adanya peran aktif masyarakat yang terhitung sejak dimulainya reformasi walaupun sebelumnya telah ada. Berbagai sendi kehidupan masyarakat lokal mengalami perubahan yaitu semakin terbukanya akses-akses pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Disadari atau tidak bahwa tanpa partisipasi masyarakat lokal, pengelolaan hutan tidak akan efektif karena pemerintah tidak mungkin sendirian didalam melakukan pengelolaan hutan yang dituntut semakin transparasi dan menghadapi liberalisasi ekonomi yang pada akhirnya masyarakat lokal harus dilibatkan dalam proses-proses tersebut.
Simbol-simbol Demokrasi
Pembelajaran yang dapat dipetik dari perkembangan kehutanan masyarakat di Indonesia yaitu masyarakat sebagai salah satu subjek dalam pengelolaan hutan, bukan lagi sebagai objek seperti rezim-rezim terdahulu. Kekuatan demokrasi terletak pada bagaimana kewajiban negara dan rakyatnya yang bagai ikan dan air, keduanya tidak dapat dipisahkan karena perlu keseimbangan (Rosyidi 2013). Faktanya hal tersebut sedikit sekali terjadi, perubahan yang cepat terjadi ditingkat masyarakat sedangkan sistem yang dijalankan pemerintah sulit untuk berubah bahkan tidak ingin melakukan perubahan. Hal tersebutlah yang menjadikan masyarakat lebih agresif karena tuntutan ditingkat bawah tidak direspon.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat juga demikian, masyarakat yang selama ini dibungkam (menjadi penonton) dan sedikit sekali dilibatkan dalam pengelolaan hutan baik skala kecil maupun besar, sehingga menjadi “beringas” terhadap pemerintah karena tuntutan yang telah menumpuk berpuluh-puluh tahun lamanya. Peran masyarakat sekitar hutan sejatinya simbol-simbol demokrasi kerakyatan yang perlu dijaga dan diberikan peran yang luas agar cita-cita bangsa Indonesia menjadi negara yang makmur, adil, sejahtera, dan sentosa tercapai seperti yang tertuang dalam amanat UUD 1945. Sebagai contoh bahwa kehutanan masyarakat adalah simbol demokrasi yaitu ketika bangsa Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1998 dan beberapa tahun kemudian kembali pulih. Situasi perekonomian negara carut marut, akan tetapi peran masyarakat lokal yang mengelola sumberdaya hutan secara mandiri dan sering dikesampingkan oleh pemerintah membuktikan kemampuannya dalam menghadapi gempuran krisis ekonomi tersebut.
Banyak penelitian-penilitian yang menunjukkan adanya kekuatan masyarakat lokal yang dapat bertahan bahkan menolong perekonomian negara. Penelitian Imang et all (2008) di Kalimantan Timur yang menunjukkan masyarakat lokal suku Kenyah mampu menghadapi gempuran krisis ekonomi pada tahun 1998 dengan memanjemen lahan, memproduktifkan lahan garapannya, serta memberdayakan sumberdaya manusia yang dimilikinya (kelompok) untuk mengolah lahan secara intensif. Hakim et all. (2009) yang menunjukkan bahwa produksi kayu dari hutan negara yang dikelola pemerintah dan pemodal terus mengalami penurunan, akan tetapi kayu dari HR di Kabupaten Ciamis mampu mensuplai kekurangan tersebut ke berbagai wilayah seperti Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta. Contoh-contoh tersebut menjadi bukti bahwa sejatinya rakyat mampu mengelola sumberdaya hutan dengan catatan diberikan kesempatan untuk melakukan tindakan pengelolaan.
Mewujudkan Kedaulatan Rakyat
Sudah saatnya negara harus percaya terhadap rakyatnya sendiri dan jangan ada sekat yang menghalangi antara keduanya yaitu negara dan rakyat atau sebaliknya. Suharjito dan Darusman (1998) menyatakan bahwa sejatinya penekanan pada kata “masyarakat atau rakyat” pada kehutanan masyarakat atau sejenisnya merupakan penekanan atas pengelolaan hutannya, bukan pada kepemilikan, akan tetapi beberapa definisi yang berhubungan dengan pelibatan rakyat seperti HKm, HD, HTR menggunakan penekanan pada status kepemilikan yaitu dihutan negara yang dikelola oleh rakyat. Perbedaan yang nyata diantara definisi tersebut yaitu HD, HTR, dan HKm kepemilikan lahannya yaitu oleh negara dimana tanahnya tidak dibebani hak (tanah negara), akan tetapi HR berada di tanah yang dibebani hak (tanah milik).
Apapun itu namanya pada dasarnya adalah demokrasi di negara Indonesia merupakan demokrasi yang memiliki keunikan dengan beranekaragam latar belakang sumberdaya alam yang dimiliki, budaya, suku, dan agamanya yang membutuhkan waktu panjang untuk menemukan keseimbangan diantara komponen-komponen negara tersebut, salah satunya yaitu rakyat. Satriawan (2014) mengemukakan bahwa setidaknya demokrasi di suatu negara dapat dicirikan adanya kedaulatan rakyat, terjaminnya HAM, persamaan di depan hukum, pembatasan kekuasaan secara konstitusional, dan adanya pemilu yang jujur dan adil. Kehutanan masyarakat dapat menjadi bagian dari usaha mewujudkan tegaknya demokrasi sekaligus modal bangsa Indonesia dalam berdemokrasi, sebab tanpa pelibatan masyarakat mustahil sumberdaya hutan akan lestari dan rakyat dapat sejahtera.