Pesta
demokrasi akan segera tiba, yaitu pemilihan serentak kepala-kepala daerah
diseluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan pertama kali di Indonesia untuk
mencari pola-pola yang tepat dalam menjalankan dan menjamin good governance yang terbaik bagi Indonesia
kedepan, sekaligus menjadi bagian dari proses-proses pembelajaran sebagai
negara yang menganut sistem demokrasi.
Berbicara
demokrasi sebenarnya telah lama dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak
jaman-jaman kerajaan, dimana rakyat menjadi simbol kekuatan (power) dalam
menunjang sistem demokrasi. Akan tetapi ada satu hal yang menarik untuk
diperhatikan yaitu bagaimana pola-pola pengelolaan sumberdaya alam yang
dilakukan oleh rakyat memberikan gambaran bahwa demokrasi telah dilaksanakan
secara tidak langsung oleh mereka (rakyat) yang mengelola sumberdaya alamnya
selama berabad-abad lamanya. Sebagai contoh yaitu pengelolaan Hutan Rakyat (HR),
hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa (HD), hutan tanaman rakyat (HTR).
Tulisan
ini terinspirasi dari sebagian akumulasi pemikiran penulis dengan
mempertimbangkan berbagai potensi sumberdaya hutan dan kepentingan masyarakat
yang selama ini banyak dikesampingkan oleh pihak-pihak tertentu. Bagaimana
pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh pemodal
(private), namun rakyat yang ingin
turut andil dianggap sebelah mata yang disebabkan terbatasnya kapasitas
individu dan teknologi yang tidak memadai. Sejak itulah ketidak adilan terjadi
sehingga menimbulkan banyak konflik-konflik terjadi antara rakyat dan
pemerintah atau rakyat dengan pemodal yang sengaja dipelihara atau dibiarkan.
Disisi lain, pesta demokrasi terus berjalam tiap 5 tahunan yang belum juga
memberikan dampak signifikan bagi rakyat untuk mendapatkan kepastian
pengelolaan sumberdaya hutan.
Perkembangan Kehutanan Masyarakat
Wulandari
(2009) menyebutkan bahwa krisis lingkungan yang diikuti dampak krisis ekonomi yang
mengakibatkan rusaknya hutan Indonesia menunjukkan ketidak mampuan pemerintah
dalam menghadapi persoalan lingkungan yang terjadi secara perlahan-lahan. Kurun
waktu 15 tahun belakangan ini bangsa Indonesia belum menunjukkan adanya
perkembangan yang siginifikan atas perbaikan kondisi lingkungan hidup, sehingga
berbagai pihak memunculkan kembali kekuatan lokal yang sebenarnya telah
berjalan berabad-abad lamanya akan tetapi semakin tergerus dengan adanya
kebijakan-kebijakan pemerintah yang banyak mengesampingkan keberadaan
masyarakat lokal.
Maka
muncul istilah kehutanan masyarakat yang menjadi alternatif jawaban yang
menawarkan pendekatan pembangunan kehutanan secara partisipatif dengan
melibatkan masyarakat setempat, kemudian dalam perkembangannya banyak
diistilahkan dengan hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa (HD), hutan tanaman
rakyat (HTR), dan Hutan Rakyat (HR) melalui berbagai kebijakan, aturan, dan
penelitian-penelitian yang dilakukan. Masyarakat mulai diakui dan diberikan
kepercayaan untuk mengelola hutan, jika ditelisik secara komprehensif
sebenarnya hasil hutan yang dikelola masyarakat memberikan sumbangsih yang
nyata dan terus menerus kepada pasar. Studi manfaat dan aliran produksi hasil
hutan dari kehutanan masyarakat banyak dilakukan oleh berbagai pihak terutama
peneliti yang menunjukkan bahwa benar adanya hasil dari pengelolaan hutan
berbasis masyarakat memberikan dampak positif dan sumbangan yang besar kepada
pasar walaupun belum memberikan kontribusi sesuai dengan permintaan pasar yang
lebih besar dari produksi.
Jika
paradigma berfikir yang digunakan untuk membaca pengelolaan kehutanan
masyarakat, secara tidak langsung
seharusnya dapat menjadi intropeksi bagi bangsa Indonesia. Krisis-krisis yang
terjadi berakar dari perubahan perilaku, kelembagaan, dan cara pengelolaan yang
banyak dimonopoli oleh negara yang selama ini bertindak sebagai pemilik
sekaligus pengelola sumberdaya hutan yang dipandang sebagai manfaat ekonomi
belaka (Peluso 2006). Oleh karena itu yang terjadi adalah kehancuran berbagai
sendiri kehidupan masyarakat terutama dalam hal tatanan sosial masyarakat
sekitar hutan, sebab masyarakat banyak yang dibungkam oleh pemodal yang
“se-iya, se-kata” dengan aparatur negara dalam mengelola sumberdaya hutan.
Konsep
kehutanan masyarakat telah membuka “kran” demokrasi yaitu adanya peran aktif
masyarakat yang terhitung sejak dimulainya reformasi walaupun sebelumnya telah
ada. Berbagai sendi kehidupan masyarakat lokal mengalami perubahan yaitu
semakin terbukanya akses-akses pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.
Disadari atau tidak bahwa tanpa partisipasi masyarakat lokal, pengelolaan hutan
tidak akan efektif karena pemerintah tidak mungkin sendirian didalam melakukan
pengelolaan hutan yang dituntut semakin transparasi dan menghadapi liberalisasi
ekonomi yang pada akhirnya masyarakat lokal harus dilibatkan dalam
proses-proses tersebut.
Simbol-simbol Demokrasi
Pembelajaran
yang dapat dipetik dari perkembangan kehutanan masyarakat di Indonesia yaitu
masyarakat sebagai salah satu subjek dalam pengelolaan hutan, bukan lagi
sebagai objek seperti rezim-rezim terdahulu. Kekuatan demokrasi terletak pada
bagaimana kewajiban negara dan rakyatnya yang bagai ikan dan air, keduanya
tidak dapat dipisahkan karena perlu keseimbangan (Rosyidi 2013). Faktanya hal
tersebut sedikit sekali terjadi, perubahan yang cepat terjadi ditingkat
masyarakat sedangkan sistem yang dijalankan pemerintah sulit untuk berubah
bahkan tidak ingin melakukan perubahan. Hal tersebutlah yang menjadikan
masyarakat lebih agresif karena tuntutan ditingkat bawah tidak direspon.
Pengelolaan
hutan berbasis masyarakat juga demikian, masyarakat yang selama ini dibungkam (menjadi
penonton) dan sedikit sekali dilibatkan dalam pengelolaan hutan baik skala
kecil maupun besar, sehingga menjadi “beringas” terhadap pemerintah karena
tuntutan yang telah menumpuk berpuluh-puluh tahun lamanya. Peran masyarakat
sekitar hutan sejatinya simbol-simbol demokrasi kerakyatan yang perlu dijaga
dan diberikan peran yang luas agar cita-cita bangsa Indonesia menjadi negara
yang makmur, adil, sejahtera, dan sentosa tercapai seperti yang tertuang dalam
amanat UUD 1945. Sebagai contoh bahwa kehutanan masyarakat adalah simbol
demokrasi yaitu ketika bangsa Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun
1998 dan beberapa tahun kemudian kembali pulih. Situasi perekonomian negara
carut marut, akan tetapi peran masyarakat lokal yang mengelola sumberdaya hutan
secara mandiri dan sering dikesampingkan oleh pemerintah membuktikan kemampuannya
dalam menghadapi gempuran krisis ekonomi tersebut.
Banyak
penelitian-penilitian yang menunjukkan adanya kekuatan masyarakat lokal yang
dapat bertahan bahkan menolong perekonomian negara. Penelitian Imang et all (2008) di Kalimantan Timur yang
menunjukkan masyarakat lokal suku Kenyah mampu menghadapi gempuran krisis
ekonomi pada tahun 1998 dengan memanjemen lahan, memproduktifkan lahan garapannya,
serta memberdayakan sumberdaya manusia yang dimilikinya (kelompok) untuk
mengolah lahan secara intensif. Hakim et
all. (2009) yang menunjukkan bahwa produksi kayu dari hutan negara yang
dikelola pemerintah dan pemodal terus mengalami penurunan, akan tetapi kayu
dari HR di Kabupaten Ciamis mampu mensuplai kekurangan tersebut ke berbagai wilayah
seperti Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta. Contoh-contoh tersebut menjadi
bukti bahwa sejatinya rakyat mampu mengelola sumberdaya hutan dengan catatan
diberikan kesempatan untuk melakukan tindakan pengelolaan.
Mewujudkan Kedaulatan Rakyat
Sudah
saatnya negara harus percaya terhadap rakyatnya sendiri dan jangan ada sekat
yang menghalangi antara keduanya yaitu negara dan rakyat atau sebaliknya. Suharjito
dan Darusman (1998) menyatakan bahwa sejatinya penekanan pada kata “masyarakat
atau rakyat” pada kehutanan masyarakat atau sejenisnya merupakan penekanan atas
pengelolaan hutannya, bukan pada kepemilikan, akan tetapi beberapa definisi
yang berhubungan dengan pelibatan rakyat seperti HKm, HD, HTR menggunakan
penekanan pada status kepemilikan yaitu dihutan negara yang dikelola oleh
rakyat. Perbedaan yang nyata diantara definisi tersebut yaitu HD, HTR, dan HKm
kepemilikan lahannya yaitu oleh negara dimana tanahnya tidak dibebani hak
(tanah negara), akan tetapi HR berada di tanah yang dibebani hak (tanah milik).
Apapun
itu namanya pada dasarnya adalah demokrasi di negara Indonesia merupakan
demokrasi yang memiliki keunikan dengan beranekaragam latar belakang sumberdaya
alam yang dimiliki, budaya, suku, dan agamanya yang membutuhkan waktu panjang
untuk menemukan keseimbangan diantara komponen-komponen negara tersebut, salah
satunya yaitu rakyat. Satriawan (2014) mengemukakan bahwa setidaknya demokrasi di
suatu negara dapat dicirikan adanya kedaulatan rakyat, terjaminnya HAM,
persamaan di depan hukum, pembatasan kekuasaan secara konstitusional, dan
adanya pemilu yang jujur dan adil. Kehutanan masyarakat dapat menjadi bagian dari
usaha mewujudkan tegaknya demokrasi sekaligus modal bangsa Indonesia dalam
berdemokrasi, sebab tanpa pelibatan masyarakat mustahil sumberdaya hutan akan
lestari dan rakyat dapat sejahtera.