Senin, 28 Juli 2025

LAILATUL IJTIMA': JALAN SUNYI PENGUATAN ORGANISASI


Mukadimah

Alhamdulillah, pujian bagi Allah SWT yang telah membimbing kita dalam jalan dinnul Islam. Sebab dengan rahmat dan hidayahNya alam semesta begerak dalam porosnya, makhluk-makhluk bergerak dalam jalannya, dan itulah kedigdayaan Maha Digdaya, Raja para raja, Penguasa para penguasa, Dia Maha Segala.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Waqi’ah ayat 4-6 yang artinya: "Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya. Dan gunung-gunung dihancur luluhkan seluluh-luluhnya. Maka jadilah ia debu yang beterbangan. ”. Dalam surat Al-Hujarat ayat 15 Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar ". Kutipan dua firman Allah dalam Alquran tersebut ingin penulis gambarkan bahwa kita semua akan menemui sebuah peristiwa dahsyat yang semua akan dialami oleh ciptaan Allah. Kita bukanlah siapa-siapa, tidak ada artinya dihadapan Allah SWT, bahkan hanya penyesalan yang ada dalam peristiwa tersebut. Maka kita diingatkan dalam firman kedua diatas, saat kita berpegang teguh dengan iman yang kuat dan berjuang dalam jalanNya, maka kita termasuk dalam golongan yang beruntung sebab jalan tersebut adalah benar. Benar sebagaimana yang Allah kehendaki, Rasulullah contohkan, dan pewaris-pewarisnya yang mengajarkan bertindak benar dalam setiap waktu.

Sewajarnya, manusia berlomba-lomba dalam kebaikan, sebagaimana tujuan Nahdlatul Ulama (NU) didirikan oleh para waliyullah dan para alim serta ulama yaitu menjaga dan mengembangkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) serta memperjuangkan kemaslahatan umat, bangsa, dan negara. Semangat mencapai tujuan tersebut dimiliki oleh anggota NU hingga kini, baik struktural maupun kultural, dan jamaah (nahdliyyin). Walaupun terkadang dinamika dan godaan dipertengahan jalan sangat tinggi, itulah bunga-bunga kehidupan. Kita kembali meresapi bai'at-bai'at yang telah kita ikrarkan bersama saat menjadi kader NU, baik dalam pengurus maupun di dalam banom-banom yang berada dibawah naungan NU.

Bagi pengurus, baiat Pengurus NU menggunakan kalimat syahadatain dan atau kutipan-kutipan ayat Al-Qur'an berdampak mengikat para pengurus. Dengan berbaiat, berarti pengurus telah berjanji untuk melaksanakan amanah organisasi. Dengan demikian, jika para pengurus yang telah berbaiat ini mangkir atau tidak melaksanakan janjinya, maka berarti ia terkena hukum orang yang ingkar janji. Berat atau ringannya tanggungan bergantung pada tingkat janji yang diingkari. Namun karena baiat NU tidak pernah menggunakan kata-kata sumpah, maka para pengurus yang tidak aktif, tidak sampai terkena hukum ingkar sumpah. Sedangkan hukum ingkar janji dalam Madzhab Syafi'iyah adalah makruh tanzih. Selama tidak berupa pengingkaran hal-hal yang prinsipil, maka tidak sampai terkena hukum haram. (Sumber:https://nu.or.id/warta/hukum-baiat-pengurus-nu-adalah-hukum-janji-CCZGd).

 

Antara Kewajiban dan Panggilan Kader

Dalam tulisan sebelumnya saya mengatakan bahwa 9 perintah kader itu sudah dapat menjadi program terstruktur. Kaderisasi yang matang bukan hanya memperkuat organisasi, namun juga memperkuat tali ukhuwah insaniyah & batiniyah. Kewajiban sebagai organisasi yang harus terus berjalan, siapapun pemainnya harus menjalankan gerbong yang ditumpanginya. Termasuk lailatul ijtima' (LI). Agenda yang dianggap sepele, dipandang sebelah mata namun inilah pertemuan yang diimpikan oleh para kader-kader. Disaat banyak organisasi melakukan konsolidasi diwaktu siang (nahr), maka NU melakukan konsolidasi saat malam hari (lail), bukan berarti konsolidasi di waktu siang adalah kesalahan, namun lebih pada  penekanan di saat malam hari ini sebagai waktu yang tepat untuk mendiskusikan, memecahkan masalah-masalah keummatan melalui organisasi NU.

Masalah-masalah yang sulit dan bersifat umum/terdapat diberbagai tempat, NU memiliki agenda juga yang disebut dengan Bahtsul Masail, namun untuk masalah lokal dapat diselesaikan dengan diselenggarakannya LI. LI sebagai jawaban atas banyak permasalahan umat, maka jika ini menjadi sarana konsolidasi kader akan menjadikan NU lebih diterima oleh masyarakat. Tentu kehadiran NU bukan hanya saat tokoh-tokohnya saja saat berdakwah atau berceramah disana-sini, namun kehadirannya seperti ibu-ibu belanja di pasar/toserba dimana saat menginginkan suatu kebutuhan, mereka bisa mendapatkannya dengan mudah. Dalam hal ini NU konteksnya lebih luas.

Kembali ke dalam sistem kaderisasi NU, bahwa antara kewajiban sebagai pengurus harus menjalankan roda organisasi, dan panggilan kader untuk bergerak dalam orbit yang sama, maka LI dapat dikatakan sebagai sarana untuk kaderisasi para jamaah, entah kaderisasi bersifat formal maupun non formal. Pada kenyataannya, LI banyak diikuti oleh para jamaah yang belum mengikuti pengkaderan, namun mereka memahami gerak dan tugas NU di masyarakat.

Atau dapat dikatakan bahwa LI ini sebagai sarana kader NU untuk men jamiiyyah kan jamaah dan menjamaahkan jamiiyyah . Artinya secara perlahan para jamaah untuk dapat masuk dalam NU secara kaffah, dan juga membumikan NU kepada jamaah yang selama ini belum memahami secara utuh tentan NU. Inilah fungsi-fungsi organisasi. Dengan demikian tugas kader NU tidak sebatas pada menjadi pengurus saja, namun bergerak secara dinamis dengan aturan organisasi untuk NU baik formal maupun non formal.

 

Penguatan Organisasi

NU sebagai sebuah organisasi tidak hanya sebagai penjaga syariat Islam, namun juga menjaga bangsa dan negara Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa jika ingin merusak Indonesia, maka rusaklah NU terlebih dahulu. Hal tersebut sudah terdengar barangkali olah para perusuh negeri ini. Sehingga NU menjadi target sasaran bagi para perongrong. Apakah ada? Banyak. Dalam bingkai Islam saja NU sering menjadi tameng bagi ideologi-ideologi trans-nasional. Contoh ideologi ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Saat ekstrim kiri berkuasa, NU punya peran dengan lihainya untuk menguatkan pemerintahan agar kembali pada jalan yang lurus, ataupun sebaliknya ekstim kanan yang menarik agama menjadi formalisasi dalam kehidupan bernegara dengan mengabaikan pemeluk lain bahkan pemeluk agama Islam itu sendiri. Hingga kini. Ideologi tersebut "dorman", namun juga hidup sel-selnya merayap dengan berbagai wujud. Hingga terkadang kita sendiri terkecoh.

Penguatan organisasi melalui LI adalah sebuah gerakan tepat, akan tetapi NU harus menjadi organisasi yang dapat bermetamorfosa menjadi organisasi yang modern, maju, kuat secara manajemen dan tidak meninggalkan akidah Aswajanya. Jangan goyah. Terus bumikan Aswaja Annahdliyyah sebagai akidah yang mu'tabar dengan tetap mempertahankan tradisi budaya nusantara tidak terpengaruh dengan tradisi luar. Seperti Ir. Sukarno katakan "jika jadi orang islam jangan menjadi orang Arab", artinya tetaplah menjadi islam yang sejati tanpa harus mengikuti budaya orang Arab walaupun serangan budaya Arab sedang melanda masyarakat Islam kita saat ini hingga tertipu seolah-olah yang berbau Arab adalah ajaran Nabi Muhammad hingga ada klaim sebagai keturunannya yang terkadang disalah gunakan untuk memperbudak masyarakat Islam di Nusantara ini.

NU harus kuat melalui para kader penggeraknya yang dalam kesunyian mereka bergerak tanpa pamrih. Terimakasih para muharik NU, semoga Allah SWT memberikan imbalan dunia dan akhirat yang abadi berkumpul bersama kiyai, alim, ulama para muassis dan penggerak NU yang ikhlas dalam pengabdian.

 

Bogor, 28 Juli 2025

Alfaqir Faridh Almuhayat Uhib H.

Wakil Katib MWCNU Bogor Utara

Rabu, 23 Juli 2025

MACET DIMANA-MANA, APA SOLUSI MU?

Foto: Dokumentasi pribadi

Prolog

"Macet kata orang itu indah. Tapi tidak dengan yang lain, mereka bilang macet itu bikin ruwet" ini kalimat yang sering di dengar sepintas di beberapa obrolan ringan warung kopi, atau gerutu di saat terjebak macet.

Terlepas dari itu semua, macet itu ibarat penyumbatan darah baik ke jantung maupun keluar dr jantung, jika darah tidak lancar maka berakibat fatal bisa stroke, tidak sadarkan diri, mengakibatkan penyakit lain, bahkan sampai bisa meninggal dunia. Kefatalan tersebut akhirnya menjadikan landasan untuk tingkatan tindakan pengobatan yang harus diberikan kepada penderita. 

Sudah menjadi hal umum, bahwa kota/kabupaten di Indonesia semakin hari akan semakin bertambah penduduknya. Sejalan dengan itu, kebutuhan hidup baik kebutuhan primer hingga tersier  juga akan meningkat. Begitu pula aliran produksi dari hulu hingga hilir dalam bentang lanskap wilayah akan terjadi simbiosis yang tidak terpisahkan, seperti kebutuhan lahan, ekstraksi sumber daya alam, hingga situasi sosial politik yang pragmatis akan terhubung. Begitulah siklus kehidupan.

Kemajuan teknologi dan kebutuhan pekerjaan di ibu kota juga membuat magnet dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk melakukan urban ke ibu kota. Mereka beralih dari desa ke ibu kota, mengadu nasib agar semakin mujur dan saat pulang kampung mendapatkan status sosial tersendiri karena hasil perantauannya menghasilkan kesuksesan secara kasat mata.

Selain sandang, pangan, papan, yang menjadi ukuran keberhasilan juga kendaraan (roda dua maupun roda empat) yang awalnya masih kategori tersier. Era now, kendaraan menjadi kebutuhan primer bagi sebagian kalangan, sebab sangat membantu dalam menghemat waktu dalam bekerja. 

Jika rata-rata di kota kecil terdapat kurang lebih 50 ribu jiwa, kota sedang 100 ribu jiwa, dan kota besar 800 ribu s.d 1 juta jiwa, dan hampir 80 s.d 90% penduduknya tersebut membeli/memiliki kendaraan, maka jumlah kendaraan semakin bertambah dan kebtuhan bahan bakar/sumber energi akan bertambah, termasuk jasa-jasa lain yang ditimbulkan dari pemakaian kendaraan tersebut. Arus lalu lintas-pun semakin padat, semakin ramai, pada akhirnya apabila tidak tertata secara masif maka macet dimana-mana alis "semrawut" seperti benang kusut.

Macet, Apa Solusimu?

Apa yang terjadi jika tata wilayah tidak diperbaharui? tidak bisa dibayangkan, kecepatan pertambahan penduduk berikut kebutuhan-kebutuhannya yang semakin bertambah menjadikan beban terhadap kondisi kota/kabupaten pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, sosial, ekonomi, budaya bahkan politik.

Tata wilayah penting, sebab dengan tata wilayah yang tepat maka dapat mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti sumber daya alam, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di dalamnya. Termasuk macet. Hal ini menyangkut tata wilayah terkait peta penataan transportasi, pembangunan sarana publik, sarpras jalan, dll. 

Seperti di hutan rimba jika macet itu terjadi. Semua orang ingin cepat sampai tujuan, namun ada saja yang seenaknya berkendara di jalanan, seperti berhenti sembarangan, melanggar rambu-rambu lalu lintas, intinya pasti ada sumber masalahnya. Jika berkaca pada pengalaman, terlihat macet itu disebabkan karena: 1) Jumlah kendaraan di jalan raya melebihi kapasitas jalan, 2) Jalan umum yang tidak bertambah lebar, atau kondisinya rusak (bergelombang, berlubang), atau bencana alam, 3) Terdapat kecelakaan atau razia penertiban atau perbaikan jalan, 4) Tidak taatnya pengendara mematuhi aturan alis ugal-ugalan semaunya sendiri, 5) Pejalan kaki/pesepeda yang sembarangan berjalan/bersepeda di jalanan, 6) Atau ada sebab lain-silahkan ditambah.

Dampaknya sangat banyak, selain boros waktu dan bahan bakar, macet juga berdampak pada psikologis masyarakat seperti kelelahan dan tingkat stres bertambah, macet juga berdampak buruk pada lingkungan karena polusi udara/suara yang meningkat.

Lalu apa solusi kemacetan? belum ada formula khusus mengatasinya. Namun pandangan hemat penulis antara lain: Pertama, bahwa solusi dari macet yaitu perlu ditingkatkan kesadaran masyarakat dalam berkendara baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Dengan cara bagaimana? Cara mudah yaitu meningkatkan kesadaran diri di jalanan untuk selamat dan sampai tujuan dengan cepat seperti sadar untuk fokus di jalan, sadar patuhi peraturan, sadar jaga jarak aman, sadar hindari gangguan berkendara. Begitu pula di kendaraan umum, harus tercipta kondusifitas dalam kendaraan umum. Contoh seperti sadar menaati antrian pembelian tiket, sadar keluar masuk dengan tertib, tidak melakukan tindakan asusila/pelecehan/penghinaan, tidak berbicara kencang/berisik, mendahulukan penumpang prioritas, menjaga kebersihan dan ketertiban, dll.

Kedua, menciptakan hukum positif bagi seluruh kalangan. Konkrit yang ditawarkan sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan yaitu untuk kendaraan umum seperti bus/angkot, pemerintah perlu membangun fasilitas umum seperti halte sebanyak-banyaknya. Halte yang ada saat ini masih belum memadai selain jarak antar halte sangat jauh juga penumpang yang masih naik/turun diluar titik/halte. Semisal saja pemerintah membangun halte dengan jarak antar halte 200 s,d 500 m. Bus/angkot wajib berhenti di halte yang sudah ditetapkan,  begitu juga  penumpang harus naik/turun di halte tersebut, tidak boleh diluar. Aturan lain yaitu bus/angkot dilarang ngetem/mangkal di halte, harus terus jalan. Implikasinya jika tidak naik/turun atau berhenti tepat pada  halte, maka mendapatkan sanksi baik itu sopir angkot/bus maupun penumpang. 

Apa sih susahnya membuat halte? jangan dibayangkan halte yang mewah, sebab setiap hari kita disuguhkan halte cukup dengan papan informasi pemberhentian bus yang dipasang pemerintah. Itupun murah harga pengadaannya kita bisa tebak dan tanya kepada tukang las. Tidak usah bicara proyek pengadaannya sebab itu hal sepele yang pemerintah terkesan berbelit-belit dan lambat. 

Memang idealnya aturan umum pembuatan halte bus mencakup lokasi strategis, fasilitas yang memadai, dan desain yang aman serta mudah diakses. Halte juga sebaiknya ditempatkan di dekat pusat kegiatan, mudah dijangkau pejalan kaki, dan tidak mengganggu lalu lintas serta terdapat fasilitas seperti tempat duduk, atap pelindung, informasi rute, dan penerangan yang memadai juga penting. Namun jika solusi macet yang cepat tentu itu salah satu formulanya. Kemudian baru perbaiki fasilitas kendaraan umumnya seperti bus/angkotnya.

 Ketiga, pemerintah wajib mengendalikan arus lalulintas melalui kantor dan posko terdekat. Hal ini dilakukan oleh Dinas Perhubungan setempat yang cukup mengontrol dan mengintruksikan di masing-masing posko melalui CCTV yang sudah dipasang ditempat strategis. Sedangkan Walikota/Bupati dan perangkat laiinnya juga dapat memantau. Sebagaimana hal ini juga dapat dilakukan sebenarnya pekerjaan dasar Kelurahan/Desa/Dinas terkait dapat dikontrol dengan CCTV yang sudah dipasang di kantor/balai desa/dinas sehingga terlihat pelayanan yang dilakukan petugas. Sebab Wifi/Internet saat ini cukup memadai/mendukung untuk pemasangan CCTV, tidak perlu CCTV yang mahal, cukup yang murah meriah namun dapat disambungkan dengan wifi untuk melakukan pemantauan sebagai bukti kinerja perangkat-perangkat pemerintah terkait. Berani tidak bapak aing?

Tentu hal tersebut ditakutkan oleh para pelayanan negara baik ASN/Non ASN. Tidak ada ruang privasi ataupun waktu terpantau santai-santai. Pelayanan dilakukan setiap hari merupakan ibadah dan jihad terbesar. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al An'am Ayat 126 yang artinya "Inilah jalan Tuhanmu yang lurus. Sungguh, Kami telah menjelaskan secara rinci ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran". Maksud dari ayat tersebut yaitu bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah telah diberikan peringatan melalui Al-Qur'an, berupa janji dan ancaman, halal dan haram, pahala dan siksa, dan lain-lainnya terkait perbuatan yang dilakukan dalam konteks ini adalah pekerjaan, maka harus terus berbuat kebaikan melalui pelayanan yang prima.

Satu hal lagi saya heran dan aneh, saat masyarakat/warga negara kita berkunjung ke tempat/negara lain saja patuh dan tertib dengan hukum yang berlaku. Mereka lalu bangga dengan negara orang lain sambil merendahkan negara sendiri, tanpa sadar mereka saat kembali ke Indonesia melakukan hal yang melanggar aturan/hukum. Seharusnya menjadi contoh saat di Indonesia dimulai dari diri sendiri menjadi contoh untuk taat, menjaga kebersihan dan ketertiban, melakukan inovasi dan terobosan dalam pelayanan, tidak serakah dalam menggunakan anggaran negara seperti KKN terutama dalam hal pengadaan alat-alat dan sarana pendukung yang sering di mark up

Apa hubungannya dengan macet? Sepertinya ada yaitu kondisi moral yang dilarbelakangi kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tidak mampu menjaga situasi di jalan hingga tidak mampu menyediakan kebijakan yang tepat untuk masyarakat. Kebijakan tersebut seperti penyediaan sarana dan prasana publik, tata wilayah, sirkulasi transportasi, sistem kontrol, dan perangkat-perangkat lain yang mengatur agar lalu lintas lancar.   

Bapak Aing, Bukan Hanya Kang Dedi Mulyadi

Fenomena seolah-olah kang Dedi Mulyadi-Gubernur Jawa Barat saat ini sebagai malaikat yang mampu memenuhi semua tuntutan/keluh kesah warga. Jangan terkecoh dengan peran-peran yang ditunjukkan di media sosial itu, anggap itu hanya bagian kecil dari tugas-tugas beliau sebagai Gubernur, seharusnya itu bisa diselesaikan oleh tingkat bawah seperti Kepala Desa, Lurah, Camat, Kepala Dinas, Bupati/Walikota dan wakilnya. 

Kenapa seolah-olah semua sektor bermasalah? karena aparat telah terdogma dengan ketersediaan anggaran, enggan terjun ke lapangan/wilayah kerjanya. Bagaimana mereka tahu bahwa di wilayahnya ada kemacetan, ada tindak kejahatan, ada masyarakat kelaparan, ada masyarakat terlilit hutang/pinjol, ada masyarakat yang mengemis/menjadi budak orang lain, ada paham-pahan intoleransi, ada perdagangan manusia, ada pedagang berdagang sembarang dari tempat sampai bahan makanan yang tidak layak konsumsi, ada perusak-perusak tatanan bernegara, dan ada-ada aja lain-lainnya jika dikumpulkan dan jika para pemimpin/pengemban amanah tidak terjun di lapangan. 

Jika pemimpin mencontoh Sahabat Ali Bin Abi Thalib, dimana beliau setiap melam berkeliling mencari penduduk yang belum makan/kelapangan, maka beliau langsung mengantarkan makanan untuk penduduk yang kelaparan tersebut. Maka permasalahan yang selalu ada-ada aja itu dimungkinkan berkurang/dapat diselesaikan tanpa ribet.

Macet ini juga, jika dijadikan pusat penyelesaian masalah, maka akan terlihat sumber masalahnya. Jika sumber masalahnya adalah rendahnya kesadaran manusia yang sering kesurupan setan hingga tak sadarkan diri, maka itu harus diselesaikan pararel dengan pembenahan fasilitas publik lainnya. Dimana akar budaya kita yang ketimuran, terkenal tenggang rasa, saling menghargai, dan juga terkenal religiusnya saat dibenturkan dengan era/tatanan modern ini menjadi hilang tak berbekas dan bahkan menjadi bar-bar.

Maka Bapak Aing dari tingkatan bawah, pada kemana? Kemana kami akan menggerutu/mengadu. Kami berharap gunakan kuasa kalian untuk "speak up" jika salah katakan salah, berikan inovasi solusi, jika benar katakan benar lalu berikan reward. Biasanya kami mengamati, banyak pemimpin itu tersandera kepentingan politik, sehingga malu/enggan dan tidak kuasa menegakkan aturan untuk membela kepentingan rakyatnya. 

Semoga saja macet diselesaikan. Masalah-masalah negara terselesaikan juga jikapun bukan Bapak Aing yang menyelesaikan, kami berharap ada pahlawan kesiangan yang ikhlas membantu terciptanya tatanan bernegara yang lebih baik tanpa pamrih. (*)


Bogor, 23 Juli 2025/27 Muharam 1447 H 02.20 WIB



Jumat, 04 Juli 2025

Muharam Bulan Sakral


Mukadimah

Terkadang kesakralan itu berangkat dari sebuah keyakinan yang dapat berubah menjadi kenyataan. Kenyataan tersebut terkadang masih dalam tataran debatable yang membutuhkan waktu untuk meyakini kebenarannya. Hal ini biasanya tercipta karena dogma-dogma yang dibicarakan secara terus menerus dan berulang. Seperti halnya bulan Muharam ini.

Bulan Muharam ini bukan saja bulan yang istimewa bagi kita pemeluk agama Islam, tetapi juga bagi penganut agama/kepercayaan lain. Kita sebagai pemeluk Islam di Nusantara tentu sudah terbiasa dengan budaya-budaya hal seperti syuronan yang dimeriahkan dengan tradisi lokal atau di jawa sering ada tradisi topo meneng, kirab, mubeng benteng, bubur syuro, tabot, ludg suro, parikan, dll. Bisa saja di wilayah lain dengan nama berbeda. Tetapi pada intinya, bahwa proses islamisasi saat era para wali dilakukan bersamaan dengan budaya yang dilestarikan. Sebab agama dan budaya bukan hal yang bertentangan, melainkan saling menguatkan. Pada intinya, umat islam berpegang pada Qur'an dan Sunnah kanjeng Nabi Muhammad SAW. Muharram ini merupakan salah satu bulan mulia yang disebut dalam Al-Qur'an sebagai Asyhurul Hurum bersama Dzulqa'dah, Dzulhijjah , dan Rajab.


Bagaimana Kita Menyikapi Bulan Muharam?

Mari kita bertafakur, merenung kedalam hati yang paling dalam tentang siapa kita, dari mana asal, dan akan kemana akan kembali. Sebenarnya bukan dibulan ini saja, namun setiap waktu perlu kita merenungi hal tersebut. Istimewanya Kanjeng Nabi memberikan contoh untuk kita agar menahan hawa nafsu dengan berpuasa. Puasa Muharam, bolehkah? Ada yang mengatakan tidak boleh karena bulan-bulan itu sama saja istimewanya di hadapan Allah hanya tinggal bagaimana mengisinya. Ini sebagian pendapat para ustadz yang hemat saya gegabah. Sebagai warga NU, tentu kembali kita mencontoh apa yang telah dilaksanakan para Kyai/Ajengan yang menganjurkan untuk sunnah berpuasa. Apa ada hadistnya? Ada. “ Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR Muslim).

Lalu apa keutamaannya? sebuah riwayat menyebutkan yang artinya, “Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra: sungguh Rasulullah saw bersabda pernah ditanya tentang keutamaan puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: ‘Puasa Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat’.”(HR Muslim). Apakah kita menyangkal keutamaan puasa di bulan Suro ini? Kalau saya tidak. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dan melaksanakan apa yang telah dicontohkan Kanjeng Nabi. Karena sifatnya sunnah, maka jika dilaksanakan akan mendapat pahala, jika tidakpun tidak berdosa.

Kembali kita menyoroti sikap para sesepuh kita dahulu. Bagaimana bulan Suro ini dijadikan sebagai sarana lelaku/tirakat untuk sebuah hajat. Mereka memaknai bahwa suro bulan Suro dalam kalender Jawa sering diasosiasikan dengan kesedihan karena terkait dengan Tragedi Karbala, di mana cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Husain bin Ali, terbunuh pada tanggal 10 Muharram. Peristiwa ini terjadi pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah, saat Husain bin Ali dikepung dan akhirnya gugur dalam pertempuran di Karbala.

Kemudian orang dahulu saking takdzim/hormatnya pada bulan mulia ini dengan cara tidak ada hajatan/ceremonial pernikahan, tidak banyak bicara, memperbanyak sedekah dan menyantuni anak yatim.

Terkait menyantuni anak yatim, kanjeng Nabi juga menganjurkan untuk berbagai sebagaimanya sabdanya yang artinya "Orang yang melapangkan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan melapangkan hidupnya pada tahun tersebut" (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Cara lain orang dahulu sering lakukan yaitu memperbanyak puasa, dan amalan baik lainnya serta ada juga yang memperbanyak lek-lekan/begadang berdzikir kepada Allah SWT untuk memohon keridhoanNya sehingga hajat terpenuhi.


Bagaimana Generasi Sekarang Memaknai dan Mengejawantahkan Kemuliaan itu?

Tidak perlu justifikasi antar saudara seiman, atau tidak seiman terkait bulan Suro ini. Jika dibandingkan sekarang dan dahulu, tentu tidak adil juga, sebab kita tidak tau mana yang akan menjadi orang mulia disisiNya kelak. Tetapi pandangan sebelah mata saya, dahulu para sesepuh tentu tidak ada tandingannya.

Mereka kuat dan ikhlas dengan segala kepasrahan yang dimiliki demi hidup "moksa" alias hidup dengan kualitas iman yang lebih baik atas tirakat/lelaku yang dilakukan. Namun generasi sekarang, saya juga meyakini lebih keren dan lebih kuat, kenapa? karena dia hidup para era dimana masyarakat "gila" dengan dunia semakin membludak alias merajalela, maka generasi sekarang beruntung untuk mendapatkan kedamaian, hidup lebih zuhud mereka bisa memaknai dan menjalani bulan Suro dengan penuh tantangan tersebut.

Semakin banyak tantangan dan dia tidak tergoda maka dia akan semakin banyak keistimewaan. Ibarat kepompong, ketika kuat menahan diri dalam hidupnya maka akan menjadi kupu-kupu yang cantik nan indah terbang bersama irama denyut nadi kehidupan didunia.


SakralNya Kita Asah

Mengasah kepekaan di bulan Suro bukan hal mudah. Alam dunia dengan waktu utama telah dibentangkan oleh Gusti Allah Azzawajala, namun jika sekedar "omon-omon" saja maka "aji-aji" alias kekuatan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah (Tafakur ilallah) juga akan sia-sia. Mengasah kepekaan di bulan utama dengan perilaku "khariqul ad'ah" alias diluar kebiasaan merupakan sesuatu yang perlu dilatih seperti memulai dengan niat karena Allah, melakukan penghambaan dengan mengekang diri dari nafsu dunia, memperbanyak berbagi/bersedekah, serta menjaga diri perbuatan hina adalah salah satu bagian untuk mengasah kepekaan diri.

Bulan penuh rahmat, mari kita gunakan untuk yang terbaik bagi jasmani dan ruhani kita. Sakralnya Suro kita jadikan "pepiling" atau pengingat bahwa kita hanya sebatas berhutang rasa. Rasa malu kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, hutang rasa kepada orang tua, saudara, tetangga dan sahabat-sahabat karib kita. Urip mung sedelo, mampir ngombe, bayar utang, utang rasa nyang liyane (hidup hanya sebentar, seperti hanya mampir minum, dan berhutan rasa kepada orang lain).

Ya Allah-Tuhan Pencipta misteri waktu, jadikan kami orang-orang yang beruntung mendapatkan curahan rahmatMu dan ridhoMu disetiap waktu yang Engkau Sendiri berada dalam denyutnya. Aamiin.


Bogor, Jum'at 4 Juli 2025 / 9 Muharam 1447 H

Alfaqir-Faridh Almuhayat Uhib H. Wakil Katib MWCNU Bogor Utara


Dipublikasikan di media online:

1. https://tvnusantara45.wordpress.com/2025/07/05/wakil-katib-mwcnu-bogor-utara-kota-bogor-muharram-bulan-sakral/ 2. https://ltnnujabar.or.id/sakralnya-muharam-lentera-spiritual-dalam-arus-zaman/