Mukadimah
Terkadang kesakralan itu berangkat dari sebuah keyakinan yang dapat berubah menjadi kenyataan. Kenyataan tersebut terkadang masih dalam tataran debatable yang membutuhkan waktu untuk meyakini kebenarannya. Hal ini biasanya tercipta karena dogma-dogma yang dibicarakan secara terus menerus dan berulang. Seperti halnya bulan Muharam ini.
Bulan Muharam ini bukan saja bulan yang istimewa bagi kita pemeluk agama Islam, tetapi juga bagi penganut agama/kepercayaan lain. Kita sebagai pemeluk Islam di Nusantara tentu sudah terbiasa dengan budaya-budaya hal seperti syuronan yang dimeriahkan dengan tradisi lokal atau di jawa sering ada tradisi topo meneng, kirab, mubeng benteng, bubur syuro, tabot, ludg suro, parikan, dll. Bisa saja di wilayah lain dengan nama berbeda. Tetapi pada intinya, bahwa proses islamisasi saat era para wali dilakukan bersamaan dengan budaya yang dilestarikan. Sebab agama dan budaya bukan hal yang bertentangan, melainkan saling menguatkan. Pada intinya, umat islam berpegang pada Qur'an dan Sunnah kanjeng Nabi Muhammad SAW. Muharram ini merupakan salah satu bulan mulia yang disebut dalam Al-Qur'an sebagai Asyhurul Hurum bersama Dzulqa'dah, Dzulhijjah , dan Rajab.
Bagaimana Kita Menyikapi Bulan Muharam?
Mari kita bertafakur, merenung kedalam hati yang paling dalam tentang siapa kita, dari mana asal, dan akan kemana akan kembali. Sebenarnya bukan dibulan ini saja, namun setiap waktu perlu kita merenungi hal tersebut. Istimewanya Kanjeng Nabi memberikan contoh untuk kita agar menahan hawa nafsu dengan berpuasa. Puasa Muharam, bolehkah? Ada yang mengatakan tidak boleh karena bulan-bulan itu sama saja istimewanya di hadapan Allah hanya tinggal bagaimana mengisinya. Ini sebagian pendapat para ustadz yang hemat saya gegabah. Sebagai warga NU, tentu kembali kita mencontoh apa yang telah dilaksanakan para Kyai/Ajengan yang menganjurkan untuk sunnah berpuasa. Apa ada hadistnya? Ada. “ Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR Muslim).
Lalu apa keutamaannya? sebuah riwayat menyebutkan yang artinya, “Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra: sungguh Rasulullah saw bersabda pernah ditanya tentang keutamaan puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: ‘Puasa Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat’.”(HR Muslim). Apakah kita menyangkal keutamaan puasa di bulan Suro ini? Kalau saya tidak. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dan melaksanakan apa yang telah dicontohkan Kanjeng Nabi. Karena sifatnya sunnah, maka jika dilaksanakan akan mendapat pahala, jika tidakpun tidak berdosa.
Kembali kita menyoroti sikap para sesepuh kita dahulu. Bagaimana bulan Suro ini dijadikan sebagai sarana lelaku/tirakat untuk sebuah hajat. Mereka memaknai bahwa suro bulan Suro dalam kalender Jawa sering diasosiasikan dengan kesedihan karena terkait dengan Tragedi Karbala, di mana cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Husain bin Ali, terbunuh pada tanggal 10 Muharram. Peristiwa ini terjadi pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah, saat Husain bin Ali dikepung dan akhirnya gugur dalam pertempuran di Karbala.
Kemudian orang dahulu saking takdzim/hormatnya pada bulan mulia ini dengan cara tidak ada hajatan/ceremonial pernikahan, tidak banyak bicara, memperbanyak sedekah dan menyantuni anak yatim.
Terkait menyantuni anak yatim, kanjeng Nabi juga menganjurkan untuk berbagai sebagaimanya sabdanya yang artinya "Orang yang melapangkan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan melapangkan hidupnya pada tahun tersebut" (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Cara lain orang dahulu sering lakukan yaitu memperbanyak puasa, dan amalan baik lainnya serta ada juga yang memperbanyak lek-lekan/begadang berdzikir kepada Allah SWT untuk memohon keridhoanNya sehingga hajat terpenuhi.
Bagaimana Generasi Sekarang Memaknai dan Mengejawantahkan Kemuliaan itu?
Tidak perlu justifikasi antar saudara seiman, atau tidak seiman terkait bulan Suro ini. Jika dibandingkan sekarang dan dahulu, tentu tidak adil juga, sebab kita tidak tau mana yang akan menjadi orang mulia disisiNya kelak. Tetapi pandangan sebelah mata saya, dahulu para sesepuh tentu tidak ada tandingannya.
Mereka kuat dan ikhlas dengan segala kepasrahan yang dimiliki demi hidup "moksa" alias hidup dengan kualitas iman yang lebih baik atas tirakat/lelaku yang dilakukan. Namun generasi sekarang, saya juga meyakini lebih keren dan lebih kuat, kenapa? karena dia hidup para era dimana masyarakat "gila" dengan dunia semakin membludak alias merajalela, maka generasi sekarang beruntung untuk mendapatkan kedamaian, hidup lebih zuhud mereka bisa memaknai dan menjalani bulan Suro dengan penuh tantangan tersebut.
Semakin banyak tantangan dan dia tidak tergoda maka dia akan semakin banyak keistimewaan. Ibarat kepompong, ketika kuat menahan diri dalam hidupnya maka akan menjadi kupu-kupu yang cantik nan indah terbang bersama irama denyut nadi kehidupan didunia.
SakralNya Kita Asah
Mengasah kepekaan di bulan Suro bukan hal mudah. Alam dunia dengan waktu utama telah dibentangkan oleh Gusti Allah Azzawajala, namun jika sekedar "omon-omon" saja maka "aji-aji" alias kekuatan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah (Tafakur ilallah) juga akan sia-sia. Mengasah kepekaan di bulan utama dengan perilaku "khariqul ad'ah" alias diluar kebiasaan merupakan sesuatu yang perlu dilatih seperti memulai dengan niat karena Allah, melakukan penghambaan dengan mengekang diri dari nafsu dunia, memperbanyak berbagi/bersedekah, serta menjaga diri perbuatan hina adalah salah satu bagian untuk mengasah kepekaan diri.
Bulan penuh rahmat, mari kita gunakan untuk yang terbaik bagi jasmani dan ruhani kita. Sakralnya Suro kita jadikan "pepiling" atau pengingat bahwa kita hanya sebatas berhutang rasa. Rasa malu kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, hutang rasa kepada orang tua, saudara, tetangga dan sahabat-sahabat karib kita. Urip mung sedelo, mampir ngombe, bayar utang, utang rasa nyang liyane (hidup hanya sebentar, seperti hanya mampir minum, dan berhutan rasa kepada orang lain).
Ya Allah-Tuhan Pencipta misteri waktu, jadikan kami orang-orang yang beruntung mendapatkan curahan rahmatMu dan ridhoMu disetiap waktu yang Engkau Sendiri berada dalam denyutnya. Aamiin.
Bogor, Jum'at 4 Juli 2025 / 9 Muharam 1447 H
Alfaqir-Faridh Almuhayat Uhib H. Wakil Katib MWCNU Bogor Utara
Dipublikasikan di media online:
1. https://tvnusantara45.wordpress.com/2025/07/05/wakil-katib-mwcnu-bogor-utara-kota-bogor-muharram-bulan-sakral/ 2. https://ltnnujabar.or.id/sakralnya-muharam-lentera-spiritual-dalam-arus-zaman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar