Sudah banyak peringatan hari-hari yang berkaitan dengan upaya untuk melestarikan bumi, menjaga alam, hutan, dan lingkungan. Jika diikuti dari awal tahun mulai dari Januari sampai dengan Desember tidak akan berhenti rangkaian hari-hari penting untuk melestarikan alam.
Bumi yang kita tempati ini hanya ada ada satu, tidak ada planet lain yang menyamainya. Oleh sebab itu, kesadaran kita akan keberadaan dan jasa-jasanya haruslah kita balas dengan cara-cara yang baik.
Coba kita renungkan, bumi yang sudah berumur tua ini sudah berapa banyak menjadi tampungan untuk kotoran-kotoran tubuh kita dari mulai lahir hingga sekarang, dari bangun tidur sampai akan tidur. Ia ibarat saksi bisu yang melihat tingkah laku kita setiap detik dan hembusan nafas. Dia tidak protes atas perlakuan kita padanya, hanya saja kita berfikir apabila terjadi sesuai pada bumi seperti gempa, gunung muletus, badai angin, petir menyambar, banjir, longsor, dan bencana lainnya itu barulah kita memiliki hati dan pikiran yang sadar bahwa manusia terlanjur bersalah.
Rasa bersalah itu menghinggapi benak disaat terjadi bencana, sebab karena ia melakukan kesalahan mulai dari mencemari lingkungan, membuang sampah dan limbah sembarangan, menggunduli hutan, mengeruk perut bumi yang berlebihan, membangun proyek yang tidak sesuai dengan kajian lingkungan, dan tindakan serakah lainnya.
Memang bukan salah dari satu atau dua orang saja, atau salah rejim si A, si B, dan Si C. Ini adalah hasil tindakan kolektif/berjamaah manusia dari belahan bumi lainnya dengan pemikiran yang berbeda dan tindakan berbeda itu. Sehingga perlu ada konsesus bagaimana bumi sebagai satu kesatuan ekosistem harus dijaga dan dilestarikan bersama agar tetap layak huni bagi makhluk hidup diatasnya.
Pelestarian Alam: Upaya yang Tidak Berimbang dengan Kenyataan
Pelestarian alam yang dilakukan oleh seluruh negara bagaiman dua sisi mata uang yang saling berkaitan. Satu sisi laju kebutuhan manusia yang terus meningkat baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Bahkan kebutuhan tersebut bergeser dari sekunder menjadi premier, dari tersier menjadi sekunder walaupun tergantung juga dengan kemampuan masing-masing. Akan tetapi ini menjadi penting, sebab alam yang menjadi produsen semakin terbatas. Contoh kebutuhan papan. Dahulu orang mudah untuk mendapatkan lahan untuk membangun rumah, bahan-bahannya pun mudah dicari dan mudah. Dengan perkembangan penduduk, lahan makin terbatas, kebutuhan papan meningkat, bahan-bahan yang digunakan untuk membangun juga bergeser dengan menggunakan bahan yang cepat pakai.
Misalnya kebutuhan pangan. Masyarakat dengan pola konsumsi rata-rata banyak menggunakan beras sebagai pangan pokok harus dimanajemen dengan baik, sebab lahan pertanian semakin terbatas produksi yang dihasilkan belum sebanding dengan permintaan/kebutuhan yang ada. Maka tidak heran jika ada kata "impor" untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Disisi lain beras bukan hanya untuk makan pokok saja, namun digunakan untuk bahan pembuatan makanan lain seperti kue, dll.
Contoh kecil diatas menjadi perenungan, bagaimana manusia harus beradaptasi dengan situasi yang ada. Rantai produksi yang bersumber dari alam saat ini masih menjadi objek untuk memenuhinya, seperti pemanfaatan tambang batubara, emas, nikel, bauksit, semen, pasir, dll., Pemanfaatan kayu dari hutan, pemanfaatan lahan-lahan untuk produk perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan yang semakin menjadi incaran banyak pengusaha.
Kesemuanya harus mempertimbangkan daya dukung dan daya tampungnya. Sebagaimana kita lihat sekarang, pembukaan lahan besar-besaran dari hutan atau lahan tidur/semak belukar/kebun campuran dijadikan kebun sawit, tambang. Dampaknya nyata didepan mata berbagai bencana bajir, longsor, sedimentasi, serta penyakit tidak wajar banyak menjangkit. Bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas tersebut, namun perlu dilakukan secara hati-hati dan terstandar untuk melakukannya.
Kemudian masuk dalam ranah sosial dan ekonomi masyarakat. Dampak sosial dari aktivitas yang tidak terukur dan termanajemen dengan baik seperti muncul penyakit masyarakat (prositusi, perdagangan manusia, eksploitasi anak, premanisme, dll), muncul juga kasus-kasus korupsi yang merugikan negara hingga trilyunan rupiah yang secara tersistem dari pusat sampai daerah dan swasta, muncul ketimpangan sosial, dan muncul polemik dan sengketa lain yang sudah tidak asing lagi kita ketahui lagi dimana-mana sebagaimana kita lihat di media masa dan sosial media saat ini.
Lalu gerakan konservatif yang terus akan beriringan dengan kegiatan eksploitasi sumber daya alam bermunculan. Seolah-olah itu malaikat penolong yang jitu dan mujarab. Tidak peduli asal-usulnya, track recordnya, sumber dan motifnya. Namun bolehlah kita ambil baiknya saja, walaupun tidak seluruhnya cocok dengan gagasan dan ide-idenya. Tapi memang masih ada juga gerakan pelestarian alam yang benar-benar murni. Itu yang seharusnya kita dukung, sebagai agent of control untuk para pembuat kebijakan dan pelaksana dilapangan yang sering kali kebablasan dengan ijin dan usaha yang diberikan kepadanya.
Seimbang kah antara tindakan pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam saat ini? para pakar-pakar dibidang sumber daya alam juga pasti akan melihat dari kacamata kebutuhan negara untuk memenuhi hajat hidup orang banyak dengan daya dukung pemulihan alam yang ada saat ini. Sudah banyak referensi mengatakan, bahwa kemampuan alam untuk pulih itu sulit. Kecuali ada era baru, dimana manusia dan kehidupannya lenyap kemudian dalam ratusan tahun alam baru akan pulih. Ini mustahil kecuali ada momentum kiamat kecil maupun besar. Kiamat kecil misal ada bencana saja, aktivitas manusia dalam wilayah tertentu saja masih belum mampu mendorong pemulihan tersebut.
Anggap saja, saat ini upaya pemulihan itu hanya 10 persen dari kondisi saat ini. Artinya lambatnya pemulihan akan membuat/mendorong ide inovasi dalam memenuhi keseimbangan tingkat mikro. Contoh menahan laju sampah, manusia melakukan pemilahan dan mengembalikan sampah organik kedalam tanah baik skala rumah tangga maupun skala wilayah yang lebih besar. Contoh lagi menahan laju polusi kendaraan bermotor, manusia menggunakan kendaraan listrik/sepeda untuk aktivitas, dan contoh lain yang dikatan "ramah lingkungan" alias ecofriendly.
Bagaimana Menkonsolidasikan Pelestarian Alam?
Konsolidasi hemat saya harus mengenai jantung konsolidator dan target yaitu kebijakan dan teknis lapangan. Pertama, kebijakan. Momentum penting dalam konsolidasi yaitu jika telah terjadi kerusakan alam yang berkategori berat, atau kategori sedang namun terjadi di berbagai wilayah. Sebab jika sudah terjadi kerusakan, pengambil kebijakan akan cepat mengambil keputusan.
Keputusan itu memang dihasilkan dari sikap politik. Kita lihat saat ini bahwa sikap politik pengambil kebijakan yang pro terhadap lingkungan dan pelestarian sumber daya alam seolah-olah sudah banyak, namun sejatinya belum banyak dihasilkan. Kebijakan yang telah diputuskan menjadi landasan dalam melakukan aksi-aksi dilapangan yang dapat menjadi efek kejut bagi masyarakat dan entitas usaha agar serisu dalam menjaga alam. Hal ini mengingatkan saya pada tulisan lama tahun 2012 yang dimuat di koran Radar Lampung http://www.radarlampung.co.id/read/opini/52077-mempertahankan-lingkungan-hidup-dengan-green-constitution.
Kedua, teknis lapangan. Banyak pelaku perusakan, pencemaran baik skala individu maupun usaha merasa aman-aman saja. Beberapa aksi nyata berupa teguran dan juga hukuman sudah dilakukan. Jika dilakukan aksi nyata/tindakan nyata berupa hukuman jera, bisa jadi dari sekian juta masyarakat dan entitas usaha pasti akan terkena sanksi. Sebab kesadaran untuk mencegah agar limbah dan dampak usaha yang ditimbulkan oleh aktivitasnya masih belum sesuai dengan yang diinginkan.
Contoh, masyarakat bantaran sungai atau masyarakat lainnya yang belum sadar tentang bahaya sampah membuang sampah ke sungai, mereka dengan mudahnya tangannya melakukannya tanpa ada rasa bersalah. Disisi lain, ada masyarakat di perumahan/sekelompok masyarakat disuatu wilayah yang membayar iuran untuk pengangkutan sampahnya dengan semangat agar sampah terkelola dengan baik dan lingkungan bersih. Hal ini menimbulkan kecemburuan. Tidak herak banyak pemimpin/pejabat gagal dalam mendidik dan memberi contoh warganya hanya karena masalah ketidak adilan terkait hal ini.
Pemandangan timpang ini selama ini masih terjadi. Bahkan kejadian bencana yang melanda tidak menjadi muhasabah/koreksi diri tentang apa tindak yang telah dilakukannya. Tidak habis pikir, seandainya masyarakat tersebut ditempatkan di luar negeri seperti Singapura, Jepang, dan negara maju lainnya lalu membuang sampahnya disembarang tempat. Tidak terbayang apa dan bagiaimana hukuman yang akan diberikan. Atau bahkan malah malu sendiri dan berhenti membuang sampah sembarangan.
Pertanyaannya, kenapa mereka lebih menghargai/sadar di tempat/di negeri orang lain dibanding di negeri sendiri kita ini? Ini Indonesia yang harus kita jaga. Walaupun memang belum dapat seindah penataan kotanya/wilayahnya seperti di luar negeri itu.
Cobalah kita hargai lingkungan kita dengan budaya-budaya yang telah diwariskan oleh leluhur dan nenek moyang kita. Budaya malu jika sampah dan kotoran yang kita punya dibuang sembarangan. Lebih baik dimusyawarahkan untuk menemukan jalan terbaik, ditaati aturannya, dijalankan dengan ikhlas maka akan terjadi aksi kolektif dalam aksi nyata di lapangan untuk melestarikan lingkungan.
Begitu juga dengan sumber daya alam. Jujur dalam pengelolaan, pelaporan aset dan pajak yang menjadi bebannya, mengolah sumberdaya alam sesuai dengan rencana kerjanya, tidak korupsi dalam pelaksanaannya, memperbaiki dampak yang ditimbulkannya. Maka kesadaran ini akan tumbuh secara bersama-sama untuk memperbaiki sumber daya alam yang ada.
Aksi lapangan karena kebijakan yang tepat, akan menghasilkan pola ekosistem yang berimbang untuk dapat terus menjaga kelestarian sumber daya alam. Selamat hari bumi sedunia 22 April 2025, mari merawat bumi dengan cinta.
Bogor, 22 April 2025/22 Syawal 1446 H

Tidak ada komentar:
Posting Komentar