Kamis, 15 September 2011

KAWASAN KONSERVASI: TANTANGAN GENERASI MUDA


Hutan Konservasi menurut UU No. 41/1999 yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

    DI Indonesia, kawasan konservasi sebanyak 486, salah satunya Provinsi Lampung yang terdiri Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Cagar Alam Laut (CAL) Anak Krakatau, dan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman.
    Pengukuhan kawasan konservasi di Indonesia tidak lepas dari sejarah panjang gerakan konservasi dunia yang didasarkan atas kebutuhan manusia akan keseimbangan alam dan lingkungan. Akhirnya beberapa tempat di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah untuk menjadi kawasan konservasi yang bertujuan untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
    Kerusakan alam di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perubahan laju deforestasi yang signifikan, yaitu ± 2 juta hektare per tahun. Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah yang kurang tepat atas kepemilikan kawasan konservasi. Pengusahaan hutan skala besar, illegal logging, pertambangan, perambahan sangat turut andil memperparah kondisi yang ada hingga kini.
    Sudah banyak lembaga pemerintah, nonpemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat yang berupaya menjadi bagian dari pencegahan beberapa permasalahan di atas. Namun sampai detik ini belum menunjukkan hasil yang signifikan dan bisa jadi mandeg dibandingkan dengan kebutuhan jumlah serta luasan kawasan konservasi di Indonesia.
    Bagaimana hubungannya antara kawasan konservasi dengan tantangan generasi muda?  Permasalahan yang sering muncul yaitu generasi muda dianggap belum maksimal dan saatnya turut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi secara langsung. Padahal, generasi muda menjadi bagian penting dalam upaya mewujudkan peran-peran konservasi di masa yang akan datang untuk menghadapi permasalahan-permasalahan seperti di atas.
    Pemerintah masih menempatkan generasi muda ke dalam bagian bawah, bukan sejajar dengan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai wujud atas persamaan kewajiban untuk melestarikan kawasan konservasi yang masih ada maka pemerintah sudah saatnya memberikan peluang kepada yang muda untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi.
    Tantangan terberat yaitu rancangan pengelolaan kawasan konservasi yang lambat terhadap permasalahan-permasalahan yang ada disebabkan karena hambatan teknis, ketiadaan data dan informasi yang kurang lengkap, prosedur penyusunan konsultan yang kurang profesional, dan pembiayaan. Hal tersebut berpengaruh terhadap keinginan generasi muda yang akan menjadikan dirinya lebih aktif dalam usaha konservasi, namun keterlambatan tersebut akhirnya ditanggapi apa adanya.
Sebagai contoh kasus, pertama, organisasi Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) yang sampai kini menjadi “ngambang” dan bimbang atas ketidakpastian dan keterlambatan penyikapan atas kondisi internal pemerintah yang dirancang masih lambat terhadap kebutuhan di tubuh sediri. Forum tersebut sebagian besar didominasi oleh generasi muda mulai dari tingkat SMA hingga umum yang sebenarnya dapat diandalkan oleh pemerintah untuk tataran generasi muda dalam usaha pelestarian kawasan konservasi.
Kedua, penyebaran informasi peran generasi muda serta penyuluhan di beberapa daerah kepada masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah masih minim.
    Jangkauan tersebut biasanya terkendala masalah pendanaan, kurang keberanian, dan pengetahuan yang belum dirasa cukup untuk menjadi kader konservasi. Sehingga wajar wadah seperti FK3I terbengkalai begitu saja, masih beruntung kemandirian lembaga-lembaga yang membina generasi muda, seperti gerakan Pramuka, pencinta alam, Sylva Indonesia, dan lembaga-lembaga lain masih berjalan dengan “keidealismenya”. Kemudian dirapikan menjadi jawaban saling “mengandalkan”.
    Apa yang harus dilakukan oleh generasi muda untuk pelestarian kawasan konservasi? Tentu tidak akan lepas dan berangkat dari permasalahan bersama dalam upaya-upaya tersebut. Seperti mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal pengelolaan kawasan konservasi, pengelolaan kawasan konservasi ke depan lebih fleksibel, responsif, adaptif, aplikatif, dan efektif. Program bersama dengan implementasi bersama, perencanaan bersama lintas disiplin ilmu. Peranan generasi muda harus lebih optimis dan semangat untuk bekerja sebagai pekerja konservasi Indonesia dengan diberi kesempatan yang lebih luas untuk melakukan uji coba berbagai pola pengelolaan alternatif dan melakukan proses pembelajaran terhadap keberhasilan maupun kegagalan. Pilihan-pilihan untuk mandiri dan merdeka dalam melakukan uji coba pengelolaan kawasan konservasi sebenarnya ada di tangan pemangku kepentingan di Indonesia termasuk di dalamnya adalah masyarakat setempat.
Generasi muda jangan terperosok karena mengulang sejarah semasa kolonial Belanda dan Orde Baru. Mari kita semua berkaca walau kondisi kawasan konservasi kita sudah banyak yang rusak tetapi nasionalisme generasi muda jangan surut untuk menyelamatkan kawasan konservasi yang masih tersisa ini. (*)


Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/40550-kawasan-konservasi-tantangan-generasi-muda