Pendahuluan
Penyederhanaan
perijinan saat ini menjadi salah satu poin penting kerja para menteri di era
Presiden Joko Widodo. Poin tersebut merupakan terjemahan sembilan visi dan
misinya kepemimpinannya ke dalam berbagai agenda pembangunan periode 2020-2024.
Presiden mengarahkan agar pembangunan Indonesia difokuskan pada pembangunan
sumber daya manusia dan infrastruktur, penyederhaan regulasi, penyederhanaan
birokrasi, serta transformasi ekonomi melalui Perpres 18 tahun 2020 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pengembangunan Nasional menyusun
agenda pelaksanaan pembangunan lima tahun yaitu ketahanan ekonomi untuk
pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan, pengembangan wilayah untuk
mengurangi kesenjangan, sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing,
revolusi mental dan pembangunan kebudayaan, infrastruktur untuk ekonomi dan
pelayanan dasar, dan lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan perubahan iklim,
serta stabilitas politik, hukum pertahananan, kemananan dan transformasi
pelayanan publik.
Rancangan dan
desain besar tersebut ditujukan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.
Indonesia diharapkan menjadi negara yang memiliki sumber daya manusia yang
unggul, berbudaya dan menguasai iptek. Selain itu Indonesia menjadi negara
dengan ekonomi maju dan berkelanjutan, mencapai pembangunan yang merata dan
inklusif, dan menjadi negara yang demokratis, kuat, dan bersih[1].
Peran Kementerian LHK dalam Pembangunan
Berkelanjutan
Terbitnya Perpres
Nomor 92 tahun 2020 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan
salah satu landasan dalam menjalankan tanggung jawabnya kepada Presiden melalui
pengurusan bidang lingkungan hidup dan kehutanan (LHK). Organisasi Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terlibat aktif dalam upaya mencapai peningkatan
kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan
kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta
pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga
peningkatan kualitas kehidupan antar generasi.
Luas kawasan
hutan Indonesia mencapai 120,6 juta hektar yang terdiri dari hutan konservasi
seluas 21,1 juta hektar, hutan lindung seluas 29,7 juta hektar, dan hutan
produksi seluas 68,8 juta hektar. Dengan adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja, maka potensi Kawasan hutan juga didorong untuk dapat
meningkatkan produk domestik bruto (PDB) secara signifikan melalui empat hal
yaitu: (1) Upaya harmonisasi kebijakan dan kemudahan perijinan; (2) Mendorong
investasi yang berkualitas; (3) Menciptakan lapangan kerja yang berkualitas,
dan (4) Pemberdayaan UMK-M serta Koperasi.
Beberapa aturan
turunan akibat dari terbitnya UU Cipta Kerja tersebut yang terkait dengan
bidang LHK yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan adanya aturan turunan tersebut
diharapan pemerintah dapat menyelesaikan berbagai permasalahan bidang LHK yang
selama ini dianggap menghambat kontribusi sektor LHK terhadap PDM.
Menteri LHK, Siti
Nurbaya menyatakan bahwa substansi UU Cipta Kerja dalam sektor LHK yaitu untuk
menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini diimplementasikan dalam penyederhanaan
prosedur perizinan dan mengatasi hambatan penyediaan lapangan kerja bagi
angkatan kerja baru dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan
hidup. Menguatkan hal tersebut Sekretaris Jenderal LHK, Dr. Bambang Hendroyono
menegaskan bahwa UU Cipta Kerja juga memiliki cita-cita didalam mengantarkan
keadilan kepada masyarakat dan menciptakan lapangan kerja di sekitar kawasan
hutan dan dalam kawasan hutan, bahkan di sekitar industri hilir[2].
Saat ini Kementerian
LHK melibatkan diri dalam major project yang fokus pada pembangunan upaya
pemulihan industri, pariwisata, dan investasi dengan terlibat dalam empat
prioritas nasional (PN). Keempat PN tersebut yaitu: PN 1 (Memperkuat ketahanan
ekonomi untuk pertumbuhan berkualitas dan berkeadilan), PN 2 (Mengembangankan wilayah
untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan), PN 3 (Meningkatkan
sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing), dan PN 6 (Membangun
lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim)[3].
Dari ke empat PN yang
dilaksanakan oleh KLHK, maka diturunkan dalam beberapa program prioritas (PP)
yaitu di dalam PN 1 KLHK mendukung PP 2 (peningkatan kuantitas/ketahanan air
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi), dan PP 6 (peningkatan nilain tambah,
lapangan kerja, dan investasi di sektor riil, dan industrialisasi). Di dalam PN
2 KLHK mendukung PP 4 (pembangunan wilayah Kalimantan), PN 3 KLHK mendukung PP
6 (pengentasan kemiskinan) dan PP 7 (peningkatan produktivitas dan daya saing),
dan PN 6 KLHK mendukung PP 1 (peningkatan kualitas lingkungan hidup), dan PP 2
(peningkatan ketahanan bencana dan iklim).
Kementerian LHK juga
menjabarkan program prioritas tersebut dalam berbagai sasaran strategis,
program dan kegiatan. Kegiatan yang dilaksanakan oleh KLHK tidak akan lepas
dari berbagai value yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan
(TPB). Cakupan pembangunan LHK meliputi bentang alam yang sangat luas dan
melalui siklus panjang, maka dari 17 TPB yang ditetapkan, KLHK terlibat di dalam
11 TPB[4]
yaitu TPB 1 (tanpa kemiskinan), 2 (tanpa kelaparan), 3 (kehidupan sehat dan
sejahtera), 6 (pendidian berkualitas), 7
(energi bersih dan terjangkau) ,8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi), 9
(industry, inovasi dan infrastruktur),10 (berkurangnya kesenjangan), 11 (kota
dan permukiman yang berkelanjutan), 13 (penangan perubahan iklim), dan 15
(ekosistem daratan).
Upaya KLHK dalam
mempercepat upaya pencapaian TPB telah dilakukan dengan membentuk Tim melalui
Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.346/MenLHK/Setjen/Set.1/8/2018 tentang
Pembentukan Tim Pelaksana, Pokja dan Tim Pakar TPB/SDGs tahun 2017[5]. Sebab
terbentuknya tim tersebut yaitu KLHK menyadari capaian kinerja yang dilakukan juga
abil langsung maupun tidak langsung telah mendukung TPB. Di dalam TPB juga
memiliki tujuan sama dengan KLHK yang sama yaitu untuk menjaga peningkatan
kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan
kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta
pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga
peningkatan kualitas kehidupan antar generasi.
Pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitannya
dengan pelaksanaan UU Cipta Kerja akan selali diawasai atau dikontrol melalui pelaksanaan
sanksi yang tegas bagi para pelaku kejahatan bidang LHK. Semangat pembangunan
yang berkelanjutan yang didorong melalui berbagai upaya yang ada, sehingga dapat
memberikan kontribusi positif baik secara ekonomi maupun lingkungan dengan
memegang teguh empat pilar TPB, yaitu Pilar Pembangunan Sosial, Pilar
Pembangunan Ekonomi, Pilar Pembangunan Lingkungna, dan Pilar Pembangunan Hukum
dan Tata Kelola.[6]
Perlunya Standar Pengelolaan Bidang LHK
Semangat
UU Cipta Kerja perlu disambut dengan tersedianya berbagai instrumen pengelolaan
di berbagai bidang LHK untuk memastikan bahwa ekosistem dalam lansekap yang ada
tetap terjaga kelestariannya. Di dalam memastikan standar pengelolaan bidang
LHK berprinsip bahwa standar merupakan instrumen tata kelola yang bersifat
sistem yang memuat berbagai praktik terbaik yang berasal dari kontribusi
kolektif.
Selain
prinsip standar yang menjadi pedoman, terdapat juga berbagai tujuan diperlukannya
standardisasi bidang LHK yaitu antara lain: (1) standar tersedia lengkap,
mutakhir dan diterapkan untuk semua peraturan perundangan dan instrument
kebijakan kementerian LHK; (2) Standar
kebutuhan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan LHK tersedia lengkap,
mutakhir dan diterapkan dalam rangka pelaksanaan komitmen pembangunan
berkelanjutan dan perubahan iklim; (3) Instrumen penerapan standar lengkap dan
kompeten Instrumen pengendalian standar dan penerapan standar tersedia dan
terlaksana; (4) Penerapan standar sinkron di jajaran pemerintah Pusat dan
Daerah, dan para pemangku kepentingan yang relevan; (5) Penerapan standar
mendukung berfungsinya instrumen penegakan hukum, disinsentif dan insentif
dalam pengelolaan LHK. [7]
Identifikasi
berbagai kegiatan dan produk yang berstandar dan terinformasi secara menyeluruh
saat sangatlah dibutuhkan, mengingat semakin beratnya tantangan dalam
pengelolaan lansekap lingkungan hidup ditengah arus globalisasi dan
moderenisasi. Proses yang dihasilkan dari standar yaitu terbentuknya sistem informasi
yang memudahkan pemangku kepentingan mengontrol dan memastikan bahwa usaha yang
dilakukan memiliki keberlanjutan baik ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tidak cukup
dengan kontrol dan pemastian keberlanjutan, namun dengan adanya regulasi
standar instrumen yang dibentuk dapat menjangkau kelangsungan produksi dari
usaha yang dilakukan berjalan secara berkualitas, bermutu dan memiliki jaminan
yang teruji melalui upaya sertifikasi. Maka konsep pendekatan yang dilakukan yaitu
dengan pendekatan perijinan dan non perijinan[8].
Kedua pendekatan tersebut yang diharapkan mampu menekan resiko dari dampak
usaha yang dilakukan dengan menerapkan standar yang telah ditetapkan baik untuk
sektor lingkungan hidup maupun sektor kehutanan.
Untuk
menyambut upaya tersebut, Menteri LHK, Dr. Siti Nurbaya membentuk sebuah badan
yang dapat memandu pembangunan berwawasan lingkungan yaitu melalui pembentukan
Badan Standardisasi Instrumen Linkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) sesuai
dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2020 Tentang Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pembentukan BSILHK dijabarkan lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2021
Tentang Organisasi dan tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Organisasi
BSILHK dalam Peraturan Menteri LHK tersebut memiliki tugas menyelenggarakan
koordinasi dan perumusan, pengembangan, serta penerapan standar dan penilaian
kesesuaian standar instrumen di bidang LHK. Adapun fungsi BSILHK yaitu: (1) penyusunan
kebijakan teknis rencana dan program perumusan dan pengembangan, serta
penerapan standar dan penilaian kesesuaian standar instrumen di bidang LHK; (2)
pelaksanaan koordinasi dan perumusan, pengembangan, serta penilaian kesesuaian
standar instrumen di bidang LHK; (3) pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan
fasilitasi penerapan standar instrumen di bidang LHK; (4) pelaksanaan tugas
administrasi Badan Standardisasi Instrumen LHK; dan (5) pelaksanaan fungsi lain
yang diberikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan[9].
Didalam
menjalankan tugas dan fungsinya, disebutkan bahwa susunan organisasi BSILHK
terdiri atas: Sekretariat Badan, Pusat Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup,
Pusat Standardisasi Instrumen Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, Pusat
Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim, dan Pusat
Fasilitasi Standardisasi Instrumen LHK (dapat dilihat dalam gambar 1). Walaupun
demikin, BSILHK juga memiliki 15 Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dapat
membantu menjalankan tugas dan fungsi standardisasi instrumen LHK
didaerah-daerah. Sehingga dengan demikian peran standardisasi dapat optimal
dilakukan.
Menjawab Tantangan dengan Merancang Standar
Instrumen yang Ideal
Pembangunan diberbagai sektor telah berubah
begitu cepat dan mengalami berbagai inovasi lintas disiplin ilmu. Bahkan
praktik-praktik pengelolaan telah melibatkan dan memasukkan berbagai unsur yang
secara konsep dapat berjalan terarah dan
terukur.
Demikian halnya
sektor LHK yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dari hulu hingga
hilir. Konsep pengelolaan sumber daya alam berbasis lansekap atau bentang alam
yang selalu menjadi isu penting dalam berbagai pertemuan terus mengalami
dinamika. Dalam upaya pengelolaannya terus diupayakan menjadi arus utama untuk
menjaga keseimbangan dan kelestarian ekosistem dalam setiap pembangunan yang
dilakukan.
Menurut Dr. Alue
Dohong, Wakil Menteri LHK dalam sambutannya di acara Peran Rimbawan dalam
Geopolitik Sumber Daya Hutan Menuju Indonesia Emas 2045, menurutnya terdapat empat
rasionalitas yang melandasi dinamika pengelolaan sumber daya alam tersebut,
yaitu: Pertama, arus globalisasi yang dicirikan dengan komunikasi dan
mudahnya interaksi, yang telah mendorong peningkatan perdagangan bahan baku (raw
materials) berbasis sumber daya alam. Kedua, pertumbuhan penduduk
dunia yang sekaligus dampak pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan kebutuhan
terhadap sumber daya energi, pangan, pakan, obat-obatan, dan berbagai material
sumber daya alam lain. Ketiga, kemiskinan masyarakat di negara-negara
terbelakang (under developing countries), yang memperburuk tingkat
kerusakan sumber daya alam akibat pembangunan guna mengatasi kemiskinan. Keempat,
adanya perubahan iklim, polusi dan penurunan kualitas lingkungan yang
berpengaruh terhadap suplai sumber daya alam.[11]
Menarik jika keempat
rasional diatas menjadi salah satu semangat kita sebagai rimbawan dan pegiat
lingkungan untuk berinovasi dalam menjembatani upaya mewujudkan tata kelola
bidang LHK melalui rancangan standardisasi instrumen dibidang LHK. Rancangan
yang seperti apa? Menurut hemat penulis, bahwa dari berbagai paparan yang
terkait dengan standardisasi yang dipaparkan baik oleh tim transisi maupun dari
penggalian kebutuhan standar oleh masing-masing direktorat teknis, maka secara
garis besar terdapat tiga poin penting dalam mewujudkan standar yang ideal,
yaitu:
1. Rancangan Standardisasi yang Terintegrasi
Standar instrumen yang dibutuhkan
dalam konteks bidang LHK dari hulu ke hilir yaitu bidang lingkungan hidup,
pengelolaan hutan berkelanjutan, dan ketahanan bencana dan perubahan iklim. Konsep
terintegrasi didalam sektor LHK yang memiliki otoritas pelaksanaan kegiatan
teknis dapat mengintegrasikan hasil dari penyusunan standar dengan kebijakan
nasional standar yang diampu oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Peran
standardisasi yang dilakukan LHK lebih pada pengusulan berbagai instrumen untuk
menjamin kelestarian pengelolaan lingkungan dari hulu ke hilir, sehingga dapat
tercipta regulasi yang tepat sasaran dan berkelanjutan. Sebab komitmen keduanya
antara KLHK dan BSN yaitu sama-sama ingin menjaga kelestarian bidang LHK.[12]
2. Rancangan Instrumen yang Perlu Distandardisasi
Adapun instrumen yang perlu
distandardisasi yaitu di bidang lingkungan hidup mencakup penciptaan standar
untuk menjamin kualitas lingkungan hidup mulai dari perijinan berusaha,
pelaksanaan hingga penerapan serta pelaporan sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan. Indikator lingkungan hidup memiliki cakupan yang luas, setidaknya
terdapat beberapa unsur yang perlu dilakukan standardisasi seperti air, udara, dan
tanah. Didalam unsur tersebut terdapat berbagai permasalahan dari dampak usaha
yang dilakukan oleh manusia sehingga diperlukan adanya standar pengelolaan agar
unsur-unsur tersebut dapat terjaga kualitasnya.
Di bidang pengelolaan hutan
berkelanjutan, standardisasi yang perlu dilakukan yaitu dalam upaya pemanfaatan
hutan baik kayu maupun non kayu serta jasa lingkungan di kawasan hutan. Akan
tetapi terdapat juga standardisasi lain dalam upaya mewujudkan pengelolaan yang
berkelanjutan yaitu seperti dalam pengadaan benih dan bibit tanaman kehutanan.
Sebab benih dan bibit merupakan sumber daya yang juga harus terjamin
kualitasnya agar hutan tetap lestari.
Di dalam bidang ketahanan bencana dan
perubahan iklim instrumen yang diperlukan untuk dilakukan standardisasi yaitu kondisi
dan kepastian atas kondisi ekosistem bentang alam, upaya pencegahan dan
adaptasi terhadap perubahan iklim, dan sektor penghasil emisi.
3. Rancangan yang Perlu Diprioritaskan
Didalam rancangan standardisasi yang
pada perencanaan merupakan satu kesatuan yang seharusnya atau idealnya
terlaksana secara bersamaan. Akan tetapi dalam penetapan standar yang
diprioritaskan merupakan sebuah pilihan untuk mendapatkan hasil yang optimal
sesuai dengan rencana pembangunan baik jangka pendek dan panjang.
Penyusunan skala prioritas setidaknya
dapat melihat empat hal yaitu berdasarkan tingkat kebutuhan, urgensi
standardisasi, cakupan stakeholder yang terpengaruh, dan kompleksitas
standardisasi yang disusun. Hal ini juga akan mempengaruhi seberapa besar
sumber daya yang dibutuhkan dalam proses penyusunan standardisasi[13].
Skala prioratas di dalam penciptaan
standar, penerapan, pengawasan, serta evaluasi dan pelaporan merupakan bagian
yang tidak dipisahkan antara dokumen perencanaan di tingkat KLHK yaitu Rencana
Strategis KLHK Tahun 2020-2024 dan Rencana Strategis BSN Tahun 2024. Seperti
didalam dokumen Renstra BSN Tahun 2020-20224 bahwa arah kebijakan yang akan
dilakukan selama lima tahun yaitu pengembangan dan evaluasi standar, penerapan
standan dan penilaian kesesuaian, tata kelola standardisasi dan penilaian
kesesuaian, akreditasi lembaga penelianan kesesuaian, dan pengelolaan standar
nasional satuan ukuran.
Maka prioritas dan capaian yang akan
dilakukan untuk mendapatkan standardisasi serta level standardisasi, dapat
mengacu kedua dokumen tersebut yang juga disusun untuk mendukung RPJMN Tahun
2020-2024.[14]
Penutup
Standardisasi instrumen akan terus berkembang
sesuai dengan kebutuhan jaman sebagaimana perkembangan ekonomi global dengan sistem
standardisasi yang terus berkembang. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian adalah
penerapan dari sistem pengelolaan infrastruktur untuk menjamin mutu nasional
yang diakui baik di tingkat nasional maupun internasional.
Standar yang
dibuat digunakan sebagai upaya mejalankan sebuah sistem yang fundamental dalam upaya
peningkatan daya saing dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Bagi
bangsa Indonesia untuk berkompetensi di kancah ekonomi global terutama bidang
LHK. Terbitnya UU Cipta Kerja bukanlah menjadi penghalang untuk mewujudkan TPB.
Sebab TPB merupakan salah satu upaya untuk mendorong kebijakan KLHK dapat mendukung
berbagai inisiatif global dengan berbagai macam indikator yang telah
ditentukan. Dengan dibentuknya sebuah badan yang menangani standar instrumen
LHK, diharapkan dapat mendorong dengan cepat penyelesaian berbagai permasalahan
bidang LHK dan mendukung TPB secara lebih optimal.
[1] Kementerian
PPN/Bappenas. 20219. Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur.
Jakarta
[2] https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/Rb1mXlAb-uu-cipta-kerja-bertujuan-ciptakan-lapangan-pekerjaan-di-sektor-lhk
diakses 27 September 2021 [00.22WIB]
[3] Rencana Strategis KLHK Tahun
2020-2024. Hal. 90.
[4] Agus
Justianto. 2021. Peluang
dan Tantangan Pencapaian SDGs Bidang Kehutanan Melalui Implementasi UU Cipta
Kerja. Makalah Dies
Natalis Universitas Hasanuddin.
[5] Dikutip dari http://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/5444/kontribusi-klhk-dalam-upaya-mencapai-tujuan-pembangunan-berkelanjutan. Diakses 30 September 2021.
[6] http://sdgs.bappenas.go.id/ Diakses 30
September 2021.
[7]
Paparan Rancangan Kerangka PERMENLHK tentang STANDARDISASI, Bidang Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Pustanlinghut KLHK. Maret 2020
[8] Ary Sudijanto. 2021. Paparan Ketua
Satgas BSIKLHK. Advice Kebijakan dan Langkah Kerja: Badan Standardisasi
Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[9] KLHK.
2021 Organisasi dan tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan. http://jdih.menlhk.co.id/uploads/files/2021pmlhk015_menlhk_07222021142042.pdf
Diakses 30 September 2021.
[10] BSILHK.
2021. http://bsilhk.menlhk.go.id/index.php/tentang-bsi/struktur-organisasi/
Diakses 30 September 2021
[11]
KLHK. 2021. Peran Rimbawan dalam Geopolitik Sumber Daya
Hutan Menuju Indonesia Emas 2045. https://www.menlhk.go.id/site/single_post/4231/peran-rimbawan-dalam-geopolitik-sumber-daya-hutan-menuju-indonesia-emas-2045
Diakses 30 September 2021.
[12] BSN. 2021. BSN Berkomitmen Untuk
Mendukung Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. https://bsn.go.id/main/berita/detail/12341/bsn-berkomitmen-untuk-mendukung-pelestarian-lingkungan-hidup-dan-kehutanan diakses 20 September 2021
[13] Ary Sudijanto. 2021. Paparan Ketua
Satgas BSIKLHK. Advice Kebijakan dan Langkah Kerja: Badan Standardisasi
Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[14]
BSN. 2020. Rencana
Strattegis Badan Standardisasi Nasional Tahun 2020-2024.