Selasa, 08 November 2011

TAHURA SEMAKIN MENANGIS

Oleh Faridh Almuhayat Uhib H., S.Hut.
(Direktur Eksekutif Pengurus Pusat Garuda Sylva (Garsy) 2010-2012; Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Daerah Lampung 2010-2014; Wakil Sekretaris DPD KNPI Provinsi Lampung 2010-2013)


Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (2003), target Lampung adalah salah satu provinsi yang memiliki kawasan hutan 30% dari total luas 1.004.735 hektare (ha). Hal tersebut didasarkan pada Perda No. 5/2001 tentang Penataan Ruang Provinsi Lampung, SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 256/Kpts-II/2000, tanggal 23 Agustus 2000,  terdiri atas Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam (462.030 ha), kawasan hutan lindung (317.615 ha), hutan produksi terbatas (33.358 ha), dan hutan produksi tetap (191.732 ha).
TAMAN Hutan Raya (Tahura) menurut UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem yaitu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli, dan/atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, budaya, pariwisata, serta rekreasi. Sedangkan Tahura menurut fungsinya yaitu termasuk dalam hutan lindung. Menurut UU No. 41/1999, hutan lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Bagaimana dengan kondisi Tahura saat ini? Sangat sedikit media cetak maupun elektronik mengekspos sebuah liputan khusus yang menggambarkan kondisi Tahura yang dimiliki oleh Lampung. Memang secara sepintas Tahura jika dilihat dari kejauhan, seperti dari Kota Bandarlampung terlihat bukit yang memanjang nan hijau. Bila kita mencoba melihat dari dekat baik pendakian maupun pesawat udara, akan kita temukan kondisi yang sebenarnya. Yaitu kondisinya yang botak-botak dan rusak.
Taman Hutan Raya kondisinya saat ini memprihatinkan, sepanjang mata memandang hamparan cokelat; kopi; bahkan tanaman semusin seperti padi, cabai, tomat, dan jagung, banyak kita temui di Tahura.
Sedikit sekali hamparan pepohonan berikut satwa-satwa yang biasa ditemui seperti burung rangkong, siamang, kera ekor panjang, kancil, beruang madu, dan kijang.
Pada 2005 survei yang diadakan oleh Garsy masih menemukan beberapa titik yang masih terdapat wilayah berhutan dan beberapa satwa-satwa liar di atas. Pada 2007 Garsy bersama Himpunan Mahasiswa Kehutanan (Himasylva) Unila menemukan kondisi kawasan yang semakin terdegradasi akibat pengolahan lahan. Bahkan, kami melihat penebangan pohon-pohon hutan untuk diganti dengan tanaman produksi seperti cokelat dan kopi.
Begitu juga perburuan/penangkapan beberapa satwa yang dianggap sebagai perusak tanaman produksi masyarakat yang mengelola lahan kawasan hutan tersebut. Memang tidak dipungkiri kini sudah banyak masyarakat yang sudah menduduki Tahura untuk mengolah lahan tersebut guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, ada juga yang berani membangun perkampungan (talang) secara tetap (bangunan permanen) hingga bertahun-tahun.
Apakah hal ini terus dibiarkan oleh kita semua. Mengingat, fungsi Tahura yang sangat penting yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini? Apakah pemerintah kabupaten/kota, Dinas Kehutanan provinsi, atau masyarakat yang mengelola kawasan hutan?
Mengingat keberadaan Tahura yang lintas kota/kabupaten, seperti Pesawaran dan Bandarlampung. Maka, wilayah kelola Tahura berada di wilayah pengelolaan provinsi yang sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan Tahura oleh gubernur atau bupati/wali kota Pasal 1 ayat 1 point a, yaitu memberikan tugas pembantuan pengelolaan Taman Hutan Raya kepada Gubernur sepanjang wilayah Taman Hutan Raya yang bersangkutan berada pada lintas Kabupaten/Kota.
Apa saja yang dilakukan sampai kini oleh gubernur Lampung dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi untuk pengelola Tahura belum dianggap maksimal, walau penambahan jumlah personel polisi kehutanan (polhut). Selain itu, personel pegawai Dinas Kehutanan juga belumlah dapat menjawab permasalahan di lapangan. Saat ini yang dibutuhkan yaitu adanya sinkronisasi kebijakan yang dapat mengakomodasi semua pihak. Baik pemerintah, masyarakat, akademisi, maupun NGO.
Selain itu, aksi nyata yang berkesinambungan di lapangan untuk melaksanakan program-program yang bukan berorientasi pada keproyekan tetapi berorientasi pada kesadaran untuk mengembalikan fungsi dari Tahura dengan program-program untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah lebih diutamakan. Maka, seharusnya berbagai program yang lintas sektoral di atas didukung penuh oleh pemerintah pusat. Sehingga, dana kehutanan bukan sekadar dihabiskan untuk biaya-biaya operasional kedinasan, bantuan, dan administrasi perkantoran. Semoga slogan Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera dapat terwujud sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33. (*)


Tulisan ini dipublikasikan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/43347-tahura-semakin-menangis

Selasa, 01 November 2011

Tamu

 Halaman rumah kita bagaikan cermin pribadi kita, kita persilahkan masuk tamu-tamu kita sesudah dalam rumah kita bersihkan.