Rabu, 27 Juli 2011

NILAI RIMBAWAN YANG HARUS DIKEMBALIKAN

Sangat tercengang ketika kita berdiskusi tentang profesi sebagai rimbawan. Keprihatinan terhadap para rimbawan-rimbawan muda yang semakin menjauh dari etika dan budaya sebagai rimbawan. Terkadang keprihatinan tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman bersama dan akar masalah yang sama.
    AKAR masalahnya yaitu penanaman nilai-nilai rimbawan yang semakin luntur. Banyak cara menanamkan nilai-nilai tersebut. Supaya mendapatkan nilai itu harus melalui proses yang tidak mudah dan menjunjung tinggi jiwa korsa rimbawan. Akan tetapi, keterbatasan pasti ada baik berupa fasilitas maupun sistem di jajaran birokrasi.
    Dimulai dari kata rimbawan, kemudian kita bertanya apakah dosen juga rimbawan? Sebab, dosen saat ini hanya berpaku pada science atau ilmu pengetahuan kehutanan tanpa ada aplikasinya dan menganggap sumber daya rimbawan lokal menganggap rendah daripada dirinya. Itu yang tidak diinginkan. Para sesepuh rimbawan mengajarkan kita berbagai ilmu pengetahuan tentang kehutanan yang dibarengi dengan jiwa juga rasa cinta terhadap profesi sebagai rimbawan, dan itu butuh proses lama.
    Rimbawan memang butuh pengaderan. Sebab, proses itulah yang harus dilalui agar mendapatkan nilai-nilai dari rimbawan. Sebagai seorang senior, harus memberikan pemahaman berbeda antara yang akan dan sudah melalui proses pengaderan sebagai rimbawan.
    Bukan berarti sama antara yang baru mengikuti proses pengaderan dengan yang sudah. Bedanya yaitu yang baru belum mendapat nilai tentang rimbawan, dan sebaliknya. Saat ini banyak orang yang mengikuti proses pengaderan tetapi belum mendapatkan nilai-nilai dari rimbawan itu sendiri.
    Seluruh Indonesia bahkan dunia memiliki pemahaman yang sama tentang nilai-nilai rimbawan, tapi proses pencapaian tersebut yang berbeda-beda. Ada melalui tahap-tahap yang telah ditentukan menjadi seorang rimbawan bahkan mendapatkannya secara turun-temurun. Rimbawan merupakan seseorang yang memiliki latar pendidikan kehutanan atau pengalaman di bidang kehutanan dan terkait 10 norma dalam kode etik rimbawan. Jika menanamkan kode etik tersebut dalam pengaderan, saya pikir tidak ada yang namanya lunturnya nilai-nilai rimbawan. Terkadang saya sangat heran dengan orang kehutanan yang mengatakan saya sebagai rimbawan, tetapi proses mencapai nilainya tidak dilalui. Mereka merasa melalui tetapi hanya sekejap, tidak mau dengan susah, perjuangan, dan bersama-sama senasib sepenanggungan. Aneh, itulah kata yang didapat untuk mereka.
    Rimbawan harus memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik terhadap hutan maupun pengaderan sumber daya manusianya. Siapa lagi yang akan menyelamatkan hutan kita kecuali kemauan dan kerja keras rimbawan. Maka, dibutuhkan suatu perjuangan yang nilainya telah ditanamkan secara dini oleh para rimbawan senior atau memiliki pengalaman.
    Karena saya sebagai rimbawan berpandangan, civitas akademika kehutanan harus menyadari bahwa salah satu cara untuk mengader sebagai rimbawan melalui proses pengaderan. Baik ditingkatan mahasiswa maupun dosen yang kedua-duanya saling berhubungan (simbiosis mutualisme) karena senasib dan sepenanggungan yaitu bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya hutan dan lingkungan di masa yang akan datang. Maka, pengaderan di tataran mahasiswa harus menanamkan nilai-nilai rimbawan terhadap para mahasiswa baru yang diejawantahkan ke dalam proses pengaderan dan harus dilewati.
Begitu juga sebagai dosen, harusnya pengaderan sebagai rimbawan yang berprofesi sebagai dosen memiliki nilai-nilai yang mengedepankan etika sebagai rimbawan. Jangan sampai terjadi miskomunikasi antara yang satu dengan lainnya. Kini pembatasan antara pengaderan di tataran mahasiswa kehutanan sangat terasa, dan suara mahasiswa murni menginginkan kader-kader rimbawan ke depan lebih baik maka melalui proses tersebut. Dipupuknya nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan antara satu dengan lainnya merupakan salah satu nilai yang harus ditanamkan, dan itu tidak mudah. Membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan nilai tersebut. Tetapi proses lain harus diikuti juga.
    Sekarang harus disadari perlunya pengaderan rimbawan yang utuh, sebenarnya nilai-nilai rimbawan semua sama. Tetapi cara mendapatkannya di berbagai daerah berbeda-beda. Karena kultur dan budaya yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, butuh pemahaman bersama untuk mengembalikan nilai-nilai rimbawan yang kini di ambang kepunahan. Maka, tidak ada lagi kata bahwa pengaderan di mahasiswa kehutanan tidak manusiawi, tidak ada manfaatnya, tidak punya esensi, mendidik sebagai pecundang, dan lain-lain. Hilangkan itu semua. Satu kata kita semua saudara dan harus berkomitmen terhadap kelestarian hutan kita. (*)
*) Alumni Kehutanan Unila/Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Daerah Lampung 2010-2014



Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/38723-nilai-rimbawan-yang-harus-dikembalikan

Jumat, 01 Juli 2011

DIBALIK KONFLIK GAJAH WAY KAMBAS

Oleh Faridh Al-Muhayat Uhib H., S.Hut. (Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Daerah Lampung)


Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan salah satu dari 2 taman nasional di Lampung yang sampai saat ini keberadaannya masih tetap dipertahankan di tengah-tengah himpitan kebutuhan masyarakat akan sandang, pangan, dan papan. TNWK selain memiliki fungsi pelestarian alam (flora dan fauna yang endemik), juga berbagai kelebihan antara lain sebagai pohon uang ketika dapat dihitung berapa jumlah karbon yang dapat diserap oleh pepohonan yang berada di taman nasional tersebut.
    MASYARAKAT sekitar hutan yang sering mengatasnamakan ’’adat’’ sangatlah memiliki kekuatan strategis untuk melakukan berbagai upaya pembebasan akan hak-hak mereka yang anggap ’’dicolong’’ oleh pemerintah. Baik tanah, maupun kekayaan alam. Klaim atas nama adat memang tidak dapat diberikan sebuah legitimasi ’’salah’’ karena masyarakat adat diakui dalam UUD 1945 dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan baik keberadaan maupun hak-haknya sebagai bagian dari satu kesatuan Republik Indonesia yang harus dilindungi.
    Di satu sisi, pemerintah yang juga mengklaim kawasan itu merupakan hutan negara yang telah ditetapkan sebagai taman nasional dengan berbagai administrasi lengkap dan syah dari ’’penguasa’’. Mengapa disebut penguasa? Karena, kalau didasarkan pada UU, penguasa adalah ’’negara’’ yang memiliki kewenangan atas kekayaan sumber daya alam. Maka dilihat dari sisi kepentingan antara si A dan B adalah salah satu contoh tarik-menarik kepentingan yang sangat mengakibatkan beberapa masalah baru yang kemudian menghasilkan si C serta seterusnya.
    Pertanyaannya, apakah konflik tersebut dalam bingkai ’’negara berbudaya dan hukum’’ ini dapat diselesaikan dengan solusi-solusi yang bijak?
    Ketika kita membaca berbagai berita, baik di media lokal maupun nasional, pasti tahu apa yang dikeluarkan oleh media. Yaitu perambahan di taman nasional meningkat, konflik gajah di areal perkebunan masyarakat hingga menyebabkan gagal panen, perburuan satwa oleh pemburu masih berjalan, dan lain-lain. Artinya ada yang dirugikan dalam permasalahan tersebut dan seolah-olah masyarakatlah yang dirugikan karena ’’dapat dihitung’’.
    Tetapi apakah sisa hutan tersebut merasa dirugikan? Sebab ’’tidak dapat menghitung’’, hutan tidak pernah rugi. Kalau hutan dapat berhitung, pasti dapat protes berapa banyak yang harus dikembalikan untuk membayar kerugian. Bisa jadi, ia akan lebih kejam dari manusia karena hukum rimbalah yang akan menjawab. Salah satu harian di Lampung, edisi Selasa, 12 Mei 2008, mengabarkan, masyarakat adat melakukan demonstrasi di Balai Taman Nasional Way Kambas (BTNWK) sekitar hutan tidak ingin angkat kaki dari lahan garapannya di TNWK karena mata pencarian mereka di tempat tersebut. Sedangkan dari pihak Dephut sudah memastikan bahwa kawasan yang mereka rambah adalah taman nasional, maka masyarakat harus dikeluarkan. Dari sumber berita tersebut disebutkan luasan hutan yang dirambah 6.000 hektare.
    Dari 125.000 ha yang terbagi-bagi dalam beberapa zona dari penyangga, pemanfaatan, hingga inti jika dihitung rata-rata, kawasan yang masih tersisa adalah 19.000 ha. Pertanyaannya, apakah luasan hutan kita yang dijuluki sebagai the world of heritage Sumatera semakin bertambah atau kian berkurang? Padahal ketika meninjau beberapa kejadian alam yang kini terjadi kita sadar bahwa hutan harus baik kondisinya. Maka, jawabannya adalah semakin berkurang. Sebuah misteri yang harus dipecahkan bersama tidak cukup hanya dengan balai TNWK, tetapi juga multipihak untuk dapat memecahkan misteri kekayaan alam. Khususnya TNWK.
    Informasi adalah ilmu dan pengetahuan baru bagi personal yang mengetahui akan pentingnya informasi. Sumber informasi dapat melalui beberapa cara, yaitu verbal dan nonverbal. Verbal, pihak TNWK harus melalui berbagai upaya untuk memberikan pemahaman hingga perubahan pola pikir masyarakat dengan diawali dari para ’’abdi pemerintah’’ sebelum menginginkan perubahan di tataran masyarakat. Masyarakat bukanlah golongan orang-orang yang bodoh kemudian kita ’’gurui’’ agar sesuai dengan keinginan kita tetapi masyarakat dan ’’abdi negara’’ sama-sama memiliki tujuan, impian bersama atas keberadaan TNWK tersebut. Nonverbal, dilakukan dengan intensif dan menggunakan berbagai media yang efektif yang diberikan kepada masyarakat, baik berupa buletin, pamflet, leaflet, spanduk, majalah, maupun film. Namun, dua cara tersebut tidak akan pernah efektif ketika sistem yang dibuat adalah sistem top down atau buttom up. Namun, sistemnya harus seimbang dan sinergi agar tidak ada ’’kepincangan’’ dalam menggapai tujuan dan impian bersama aras keberadaan TNWK.
    Perbaikan dengan program sehingga melahirkan indikator keberhasilan yaitu hutan semakin lestari dan masyarakat semakin sejahtera. Tercapainya perbaikan harus diimbangi dengan semangat dan gairah yang besar untuk hidup dan menghidupi dari manusia dan alam agar kedua-duanya dapat hidup secara serasi dan seimbang.
    Ekologi, ekonomi, dan sosial adalah satu kesatuan yang harus dipenuhi agar sesuai dengan tujuannya. Yaitu keberadaan TNWK masyarakat sejahtera dan hutan di taman nasional tetap lestari. Bagaimana caranya? Dengan optimalisasi fungsi sumber daya hutan di TNWK dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial. Sisi ekologi karena luasannya mulai dari pantai hingga daratan, bagian terkecil dari fungsi ekologi yang dapat dirasakan yaitu jasa akan lingkungan. Baik berupa air bersih, udara segar, terhindar tanah longsor, mencegah intrusi air laut. Dari fungsi ekologi dapat dioptimalkan dengan menambahkan dan melakukan penghitungan untuk mewujudkan fungsi ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. Dalam meningkatkan kesejahteraan secara ekonomi, masyarakat bisa melakukan pemanfaatan juga atas sumber daya hutan. Mereka harus memberikan sebuah kontribusi sebagai timbal balik atas pemanfaat hutan oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat dapat melangsungkan hidupnya tanpa merusak alam hutan yang sesuai dengan tujuan serta impian bersama. Secara sosial, hutan masyarakat menjadi interaksi yang seimbang dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang harmoni dan rukun tanpa ada kesenjangan antara yang satu dengan lainnya. (*)