Berenanglah agar tidak tenggelam
Tenggelamlah agar belajar dari kedalaman
Kayuhlah agar melaju gerakanmu
Berenanglah agar tidak tenggelam
Tenggelamlah agar belajar dari kedalaman
Kayuhlah agar melaju gerakanmu
Selamat saya ucapkan kepada para pejabat Badan Otorita (BO) Ibu Kota Negara (IKN) yang hari ini dilantik oleh Kepala BO, Bapak Bambang Susantono. Momentum itu yang ditunggu. Sebab telah lama sejak di lantiknya Kepala BO oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo telah terjadi kekosongan struktural di BO IKN. Sehingga yang saya rasakan hanya dari media-media untuk mendapatkan informasi, seperti di websitenya IKN: https://www.ikn.go.id/, instagram IKN, Twetter, Facbook, dll.
Tentu dengan dilantiknya lima pejabat BO IKN berdasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 123/TPA Tahun 2022 tentang Pengangkatan Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Otorita IKN seperti Sekretaris Otorita IKN dijabat oleh Achmad Jaka Santos Adiwijaya, Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN dijabat oleh Thomas Umbu Pati Tena Bolodadi, Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita IKN dijabat oleh Mohammed Ali Berawi, Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dijabat oleh Myrna Asnawati Safitri, dan Kepala Unit Hukum dan Kepatuhan Otorita IKN dijabat oleh Ida Bagus Nyoman Wiswantanu.
Melihat struktur yang ramping tentu membuat keluasaan dalam menjalankan amanah berupa pembangunan IKN yang lebih leluasa sebagaimana yang telah dirancang berdasarkan skala prioritas. Perecanaan, eksekusi lapangan, hingga monitoring hasil harus dilakukan secara terperinci dengan tidak mengenyampingkan visi dan misi dari IKN. Bahwa IKN sebagai kota yang ramah lingkungan, bersahabat dengan alam (forest city), berbasis energi hijau, menggunakan teknologi digital yang modern (smart city), dan berbagai visi lainnya yang mendukung terwujudkan IKN sesuai dengan rencana pembangunan Indonesia.
Dua Kata Kunci
Melihat target yang ingin dicapai oleh Indonesia dalam rangka pembangunan IKN, dua kata kunci yang merupakan esensi dari pembangunan IKN, yaitu 1) Penataan Ruang, dan 2) Investasi. Dua kata kunci tersebut dari proses perencanaannya harus terintegrasi dengan berbagai aspek yang akan dibangun di IKN. Terintegrasi merupakan proses yang tidak mudah, namun hal tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan hasil yang akan dicapai dimasa yang akan datang. Tingkat kesulitan pembangunan IKN telah dipertimbangkan oleh tim teknis, seperti aksesbilitas, kontur/medan lokasi IKN, ketersediaan sumber daya, teknologi, dan anggaran pembangunan adalah suatu kemustahilan jika tidak dapat dilakukan dengan proses-proses perencanaan yang smart.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala BO bahwa penegakan tata kelola yang yang baik akan menjaga reputasi dan kredibilitas IKN, dimana penanganan lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, and governance, ESG) secara baik akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan IKN.
Harapan Baru untuk Nusantara
Seiring dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan IKN, saya menaruh harapan kepada BO IKN agar menjaga integritas sebagai BO. Dari sanalah wajah Indonesia akan dimulai. Saat memulai dengan semangat maka energi positif akan tertular bagi kami rakyat Indonesia tentang harapan baru di IKN. Pesan terkait moral adalah hukum sosial yang tertinggi, seperti jangan KKN. Jika hal ini dilaksanakan maka wajah Indonesia kedepan terus akan melanjutkan semangat tersebut sehingga tidak ada celah bagi para pelaku KKN masuk dalam tubuh BO.
Semoga tidak ada kata menyerah dalam meneruskan api perjuangan para pendahulu kita, para Presiden RI yang sejak dahulu juga memiliki cita-cita ingin memindahkan IKN Indonesia. "Mumpun" ada kesempatan yang besar, maka kita harus "gas pol" untuk mewujudkannya, saya mendukung upaya pemindahan.
Harapan baru semangat baru. Maju terus IKN, semoga kalian amanah.
Suatu ketika para malaikat mengumpulkan suami-suami di akhirat. Malaikat ingin mengetahui seberapa banyak para suami yang mampu memimpin istrinya.
Kemudian malaikat mengelompokkan para suami ke dalam dua baris.
Barisan pertama masuk dalam kelompok “suami memimpin istri”, sedangkan barisan kedua masuk dalam kelompok “suami dipimpin istri”.
Setelah beberapa saat, malaikat memeriksa barisan dan melihat hanya ada satu suami di barisan "suami memimpin istri”, yang lainnya ada dalam barisan "suami dipimpin istri".
"Aku sangat kecewa, bukankah suami diciptakan menjadi pemimpin istrinya, bukan sebaliknya? Lihat pria ini, kalian harus mencontoh pria satu ini."
"Kau membuatku bangga, katakan bagaimana cara hidupmu hingga hanya engkau yang berada di barisan pertama ini," ujar malaikat.
"Enggak tahu, tadi saya disuruh istri saya berdiri di sini dan enggak boleh kemana-mana,” ujar si pria yang berdiri sendirian itu.
Perencanaan yang benar akan membantu 50% kesuksesan pekerjaan, sedangkan sisanya adalah pelaksanaan yang tepat melalui pengorganisasian yang baik serta melakukan kontrol secara rutin.
Faridh Almuhayat
Muhammad AS Hikam dalam buku berjudul Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur (2013) menyebutkan bahwa telah terjadi perbincangan pada 2008 silam. Kala itu ada almarhum Rozi Munir dan AS Hikam sendiri. Pertemuan berlangsung di kediaman Gus Dur di kawasan Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Obrolan diawali kegelisahan terkait fenomena maraknya praktik korupsi di lintas institusi negara, perbankan, termasuk Polri. Padahal, institusi-institusi negara bertugas tidak lain melayani seluruh elemen warga negara. Praktik korupsi ini tentu tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menyengsarakan warga negara.
AS Hikam memberikan gambaran bahwa mega-korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Century yang melibatkan pihak-pihak tertentu merupakan kasus yang penangannya tidak jelas. Padahal uang rakyat telah raib ratusan triliun (Rp600 triliun untuk kasus BLBI dan RP6,7 triliun untuk kasus Bank Century).
Di hadapan Gus Dur, AS Hikam berucap: “Kasus yang melibatkan Polri ini apakah saking sudah kacaunya lembaga itu atau gimana ya Gus. Kan dulu panjenengan yang mula-mula menjadikan Polri independen dan diletakkan langsung di bawah Presiden?”
“Gini loh, Kang,” Gus Dur mengawali perkataannya.
Polri sebelumnya di bawah TNI dan itu tidak benar. Bagaimana mungkin aparat keamanan dalam negeri dan sipil diatur oleh dan dengan cara tentara. Tapi itu memang begitu maunya Pak Harto dan TNI supaya bisa menggunakan Polri untuk mengawasi rakyat.
Setelah reformasi harus diubah, maka Polri dibuat independen dan untuk sementara supaya proses pemberdayaan terjadi dengan cepat di bawah presiden langsung. Nantinya di bawah salah satu kementerian, apakah kehakiman seperti di AS atau kementerian dalam negeri seperti di Rusia, dan lain-lain.
“Nah, Polri memang sudah lama menjadi praktik kurang bener itu, sampai guyonannya kan hanya ada tiga polisi yang jujur: Pak Hoegeng (Kapolri 1968-1971), patung polisi, dan polisi tidur... he he he...,” urai Gus Dur panjang lebar.
Tentu saja Rozi Munir dan AS Hikam tertawa ngakak.
===================================
Sumber teks: https://jatim.nu.or.id/nusiana/humor-gus-dur-tentang-polisi-jujur-di-indonesia-rGZzq
Foto: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.youtube.com%2Fwatch%3Fv%3DHEN0pCgtUVA&psig=AOvVaw2F9_c8DxgOmaTjFewchqd5&ust=1665471721053000&source=images&cd=vfe&ved=0CAwQjRxqFwoTCJiY4eOL1foCFQAAAAAdAAAAABAJ
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan definisi hutan merupakan satu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan
yang lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan.
Hutan merupakan sumberdaya
alam yang dapat diperbaharui dan mempunyai manfaat yang banyak, maka diharapkan
hutan dapat memberikan fungsi atau peranannya yang lebih kompleks. Secara umum
beberapa macam fungsi hutan mengikuti klasifikasi yang dibuat oleh Nilsson
(Suhendang, 2002) adalah sebagai berikut :
1. Penghasil kayu industri (industrial
wood)
2. Penghasil kayu bakar dan arang (fuel
wood and charcoal)
3. Penghasil hasil hutan non kayu (non-wood
forest product)
4. Penyedia lahan untuk pemukiman manusia (human
settlement)
5. Penyedia lahan untuk pertanian (agriculture
land)
6. Memberikan perlindungan terhadap
siklus air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi (watershed
protection and erosion control)
7. Tempat penyimpanan karbon (carbon
trorage), hutan sangat penting untuk meningkatkan cadangan carbon dari alam
melalui peningkatan biomassa vegetasinya.
8. Pemeliharaan keanekaragaman hayati dan
habitat (biodiversity and habitat preservation)
9. Obyek ekotutism dan rekreasi alam (ecoturism
and recreation)
Oleh karena itu untuk menjaga
lingkungan, maka dibutuhkan hutan sebagai penyeimbang lingkungan antara
kerusakan lingkungan vs perbaikan lingkungan. Namun kerusakan lingkungan saat
ini sangat besar-besaran. Sebagai contoh meningkatnya polusi udara karena asap
kendaraan bermotor, asap pabrik serta meningkatnya kerusakan tanah dan air
karena pembuangan limbah kesungai dan kedalam tanah sehingga tidak bisa diurai
oleh bekteri pengurai, pengeboran air dalam tanah yang besar-besaran. Semua itu
merupakan beberapa penyebab dari ulah manusia yang tidak ramah terhadap
lingkungannya.
Universitas Lampung merupakan salah
satu lembaga pendidikan yang mendidik para intelektual muda untuk menjadi
penopang bangsa dalam upaya memajukan kualitas sumberdaya manusia. Untuk
menopang kualitas sumber daya manusia maka harus didukung oleh kualitas
lingkungan yang memadai. Universitas Lampung memiliki luasan ± 4 ha yang didalamnya
terdapat anak komponen-komponen seperti gedung-gedung, kolam, tempat fasilitas
olahraga, taman rekreasi, penangkaran Rusa Sambar (Cervus unicolor)
serta ruang terbuka hijau yang berada didalam kampus. Dari luasan tersebut 75%
nya merupakan ruang terbuka hijau yang terdiri dari pohon-pohon yang memiliki
fungsi sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup.
Unila terletak di ibu kota propinsi
Lampung yaitu kota Bandar Lampung yang merupakan pusat pemerintahan kota dan
propinsi yang selalu digunakan untuk beraktivitas baik aktivitas bekerja,
berdagang, tempat industri, serta aktivitas lainnya. Oleh karena itu banyak
orang pergi kekota untuk mengadu nasib, sehingga jumlah penduduk kota akan
semakin meningkat pesar. Dengan bertambahnya jumlah penduduk secara pesat
menyebabakan tekanan terhadap lingkungan semkain tinggi yang berdampak pada
sumber daya lahan semakin bayak dimanfaatkan sehingga laju konversi ruang
terbuka hijau semakin cepat.
Sejalan dengan hal tersebut,
pencemaran udara, air dan tanah di lingkungan perkotaan semakin berat, maka
pengembangan lokasi untuk penanaman hutan kota harus ditingkatkan untuk
mengurangi laju kerusakan lingkungan.
Unila mempunyai lahan terbuka hijau
yang terdiri dari pepohonan, taman hijau dan tempat penangkaran satwa yang
secara tidak langsung memiliki fungsi yang sangat banyak. Boleh saya katakan
bahwa Unila adalah hutan kota yang berada di kota Bandar Lampung. Jika dilihat
dari fungsinya, maka lahan berhijau di Unila memiliki fungsi antara lain :
1.
Sebagai
Identitas Kota
Jenis tanaman dan hewan yang merupakan simbol atau lambang suatu kota dapat
dikoleksi pada areal hutan kota. Di Unila terdapat wilayah untuk danau sebagai chacthment
area dan sebagai penangkaran rusa sambar (Cervus unicolor) yang
merupakan satwa dilindungi oleh pemerintah.
2.
Pelestarian
Plasma Nutfah
Unila dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati, karena
kawasan di Unila sebagai hutan kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian
di luar kawasan konservasi. Ditinjau
dari areal di Unila dapat dilestarikan flora dan fauna secara eksitu. Contohnya rusa samabar (Cervus unicolor),
dan beberapa pohon hutan yang masih ada di lingkungan Unila.
3.
Penahan
dan Penyaring Partikel pada dari Udara
Keberadaan pohon-pohon dan tanaman di Unila dapat membersihkan polusi udara
yang ada di lingkungan Unila maupun disekitarnya yaitu wilayah Bandar Lampung
melalui proses penyerapan dan penjerapan.
Mekanisme ini menyebabkan jumlah debu yang melayang-layang dipermukaan bumi
sebagian akan menempel pada permukaa daun, khususnya daun yang berbulu dan
mempunyai permukaan yang kasar dan sebagia lagi terserap masuk ke dalam ruas
stomata daun.
4.
Penyerap
dan Penjerap Partikel Timbal
Kendaraan motor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di
daerah perkotaan (Goldnisth dan Hexter, 1967 dikutip dari Yunita, 2004). Diperkirakan 60-70% banyak jenis pepohonan di
Unila yang mempunyai fungsi tersebut seperti mahoni, Damar, Jamuju, Akasia,
dll.
5.
Penyerap
CO2 dan Penghasil O2
Proses fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan sangat bermanfaat bagi manusia
karena menyerap gas CO2 yang jika konsentrasinya meningkat akan beracun bagi
manusia dan hewan serta mengakibatkan efek rumah kaca. Disisi lain menghasilkan O2 yang
sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.
Di Unila sangat banyak tanaman yang berguna untk penyerap CO2
dan penghasil O2 antara lain Damar (Agathis alba), Kupu-kupu
(Bauhinea purprea), Lamtorogung (Leucaena leucocephala), Akasia (Acacia
auriculiformis) dan Beringin(Ficus benjamina).
6.
Menjaga
Kestabilan Iklim
Suhu dari tahun ke tahun diperkirakan oleh para ahli semakin meningkat,
karena seiring dengan melelehnya gunung es di kutub utara dan semakin
meningkatnya gas emisi diudara, kemudian lebih dikenal dengan istilah global
warming dimana suhu udara semakin meningkat. Unila dijadikan sebagai hutan
kota agar dapat meminimalisir laju pemanasan global dan dapat mengurangi suhu
yang terlalu panas. Jika suhu pada siang hari terasa sejuk maka sebaliknya pada
malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi
balik dari bumi.
7.
Nilai
Estetika
Dengan adanya banyak pepohonan dan hijaunya tanaman-tanaman di kampus
Unila, maka akan dapat menambah nilai keindahan dan keserasian suatu tata
kampus. Selain itu nilai yang terkandung dalam banyaknya jumlah pohon yang
berada dikampus dengan adanya berbagai jenis morfologi pohon yang unik-uni.
Kajian lebih dalam dapat dilakukan penelitian-enelitian tentang pohon-pohon
yang memiliki nilai estetika di kampus Unila sebagai daya tarik masyarakat .
8.
Peredam
Kebisingan
Tajuk-tajuk pepohonan yang rapat di kampus Unila dapat mengurangi suara
bising yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor. Tajuk-tajuk yang ada dapat
menahan suara yang berlebihan ketika dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Dengan
adanya pohon dan tanaman hijau, Universitas Lampung diuntungkan sangat besar.
Selain dapat melakukan kerja dengan tenang, proses belajar mengajar dapar berjalan
dengan lancar dan nyaman. Diharapakan manfaat adanya pepohonan dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia di Unila.
Tipe Hutan Kota
Dalam kaitannya dengan jenis tipe hutan kita maka
Unila dapat di masukkan kedalam hutan kota yang memiliki tipe rekreasi dan
keindahan, pelestarian plasama nuthfah, dan tipe perlindungan. Dasar pembagian
hutan kota menurut Dahlan, 1992 tipe hutan kota dibedakan menjadi :
1. Tipe Permukiman
2. Tipe Kawasan Industri
3. Tipe Rekreasi dan Keindahan
4. Tipe Pelestarian Plasma Nutfah
5. Tipe Perlindungan
6. Tipe Pengamanan
Suplai oksigen di Bandar Lampung sangat
diperlukan, karena bertambahnya kebutuhan manusia yang semakin meningkat pula
tingkat polusi yang dihasilkan sebagai dampak dari pertumbuhan kota, khususnya
di kota Badar Lampung perlu penyadaran dini terhadap masyarakat tentang pentingnya
pohon dan tegakan pohon dalam lkehidupan kita agar tidak terjadi permasalahan
lingkungan yang lebih mendalam.
Setiap detik manusia membutuhkan udara bersih
yaitu O2 untuk mempertahankan hidupnya. Penduduk kota dapat
menghirup O2 secara gratis tanpa dipungut biaya. Bisa kita bayangkan
seandainya Oksigen tersebut dijual, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk
menggantikan keberadaan Oksigen yang dihasilkan dari pepohonan dalam setiap
harinya. Oleh karena itu untuk menciptakan kota Bandar Lampung yang bersih,
indah dan sejuk maka butuh peran serta masyarakat dan pemerintah untuk
bersama-sama menata kembali kota Bandar Lampung untuk menuju kota yang unggul
dalam berbagai bidang, khususnya ligkungan hidup.
Langkah Strategis
Gerakan penanaman harus digalakkan secara terus
menerus, untuk memberikan kontribusi terhadap lingkungan kota, maka perlu
diberikannya lahan untuk tempat hidupnya pepohonan. Pohon juga memiliki hak
untuk hidup diperkotaan, karena mereka adalah bagian hidup dari manusia dan
tanggung jawab kita untuk lebih memperhatikan keberadaan mereka di lingkungan
sekitar kita.
Selain itu, perlunya peraturan yang mengatur
tentang perlunya kawasan hijau dengan model-model yang disesuaikan dengan
kondisi daerah yang ada seperti di kota Bandar Lampung sangat penting.
Peraturan tersebut dibuat dengan pertimbangan yang matang, baik dari segi
ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan politik untuk mendapatkan suatu
kesepakatan bersama dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup di kota Bandar
Lampung.
Saat ini, Unila dapat menjadi project hutan
kota dan sudah selayaknya mendapatkan reward dari usaha yang
dilakukannya dalam pelestarian lingkungan khususnya sebagai kampus penyuplai
oksigen di wilayah Bandar Lampung.
Faridh Almuhayat Uhib H. S.Hut., M.Si[1]
Pada berbagai bentang alam di muka bumi terdapat berbagai
macam formasi hutan berdasarkan tempat tumbuhnya, antara lain hutan hujan
tropika, hutan musim, hutan kerangas, hutan gambut, hutan rawa, hutan pantai
dan hutan mangrove. Mangrove merupakan tanaman yang memiliki peranan penting
dalam menjaga kestabilan ekosistem laut terutama di wilayah pesisir laut.
Kata mangrove merupakan kombinasi antara Bahasa Portugis
mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove
digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut
maupun untuk individu spesies yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam
bahasa Protugis, mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies
tumbuhan dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kustanti, 2011).
Mangrove adalah hutan pantai yang ditemukan di muara yang
terlindung dan di sepanjang tepi sungai dan laguna di daerah tropis dan
subtropis. Istilah mangrove menggambarkan keduanya ekosistem dan famili
tumbuhan yang telah beradaptasi khusus untuk hidup di lingkungan pasang surut (FAO, 2007).
Menurut statistik global tercatat luas total mangrove seluruh dunia yaitu 135.882 km2 dan Asia merupakan
benua yang memiliki luas mangrove terluas disusul dengan Amerika Utara dan
Amerika Tengah, dan Afrika. Lima negara (Indonesia, Australia, Brasil, Meksiko
dan Nigeria) bersama-sama menyumbang 42 persen dari total luas global, dan 64
persen dari total luas mangrove ditemukan hanya di sepuluh negara (Giri et
al., 2011). Indonesia merupakan negara yang menyumbang hampir 22,6% luas
mangrove seluruh dunia.
Luas hutan mangrove di Indonesia seluas pada tahun 2013
hingga tahun 2019 mencapai 3.311.242 ha yang tersebar di pulau Sumatera seluas
666.438 ha, Jawa seluas 35.910 ha, Kalimantan seluas 735.886 ha, Bali-Nusa
Tenggara seluas 34.834 ha, Sulawesi seluas 118.891 ha, Maluku seluas 221.560
ha, dan Papua seluas 1.497.723 ha. Wilayah yang paling luas yaitu di Papua yang
hampir menguasai 50% luas mangrove secara nasional. Pada tahun 2021 luas hutan
mangrove di Indonesia seluas 3.364.081 ha atau meningkat sebesar 52.839 ha
(Gambar 1).
Gambar 1. Luas Hutan Mangrove Indonesia (Sumber: Direktorat PDASRH, KLHK.
2022)
Manfaat Mangrove
Komunitas mangrove yang tumbuh di wilayah pesisir laut telah
terbukti memberikan banyak manfaat ekologi maupun manfaat ekonomi bagi masyarakat
bahkan manfaat bagi kedaulatan negara. Manfaat secara ekologi, ekosistem
mangrove berfungsi sebagai penjaga keberlangsungan habitat laut yaitu menjaga
mata rantai makanan/sumber makanan spesies yang ada, dan menjadi tempat hidup
biota laut. Dari aspek ekonomi, mangrove dapat menunjang perekonomian
masyarakat yang merupakan bagian dari satu kesatuan ekosistem wilayah pesisir
melalui pemanfaatan bahan kayu, tempat pariwisata, penghasil obat-obatan dan
makanan olahan.
Dari aspek fisik, ekosistem mangrove mampu menahan abrasi
air laut, menurunkan kandungan CO2 (4-5 kali lipat menyerap karbon-Blue
Carbon), menahan badai dan angin yang bermuatan garam, penambat bahan
penceramar di perairan pantai. Di sisi lain mangrove dapat berperan dalam
pengendalian perubahan iklim. Berbagai studi memperkirakan penyerapan karbon
dari ekosistem mangrove sebesar ± 10 – 31% emisi tahunan dari sektor
penggunaan lahan. Penelitian lain juga memperkirakan cadangan karbon mangrove
di Indonesia ± 891,70 ton C/ha dengan total cadangan karbon mangrove
nasional ±
2,89 Tt C. Potensi penyerapan karbon mangrove di Indonesia ±
52,85 ton CO2/ha/tahun, sehingga total potensi penyerapan karbon mangrove
nasional ±
167 Mt CO2/tahun sampai 170,18 Mt CO2/tahun.
Dari sisi geopolitik, mangrove berperan penting juga dalam menjaga
kedaulatan politik Indonesia berupa keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Wilayah
hutan mangrove berada di pesisir-pesisir yang merupakan titik pangkal terluar
untuk batas Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinental
wilayah Indonesia dengan batas wilayah laut negara lain disekitarnya merupakan
garda terdepan kedaulatan negara.
Pengelolaan Mangrove di Indonesia dan Tantangan
Permasalahan
Pengelolaan mangrove di Indonesia dari masa ke masa memiliki
karakteristik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi. Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo memberikan mandat dalam merehabilitasi mangrove
seluas 600.000 ha dalam kurun waktu tahun 2021 – 2024 dengan memfokuskan di sembilan
provinsi prioritas yaitu Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi
Kepulauan Riau, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat,
Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat.
Terdapat pesan penting Presiden terkait rehabilitasi
mangrove yang merupakan “lampu hijau” bagi
pengelolaan mangrove dimasa yang akan datang, baik dari aspek perencanaan, pemanfaatan,
pemeliharaan, pengendalian, pengawasan, dan penegakan hukum. Rehabilitasi
merupakan salah satu langkah dalam upaya perbaikan dalam pengelolaan mangrove.
Pada prinsipnya, pengelolaan mangrove yang sukses tidak telepas dari dari
pengaturan wilayah atau tata ruang yang mendukung kelestarian lingkungan hidup
wilayah pesisir, maka dibutuhkan berbagai instrumen yang melandasinya.
Sebagai landasan pengelolaan hutan mangrove yang lestari, terdapat
beberapa peraturan perundang-undanganyang dijabarkan dalam kerja-kerja yang
dilakukan pemerintah bersama stakeholder terkait untuk mencapai kondisi
lingkungan hidup yang lestari dan mencegah kerusakan ekosistem mangrove secara
sistematis. Beberapa perundangan
tersebut antara lain Undang-Undang (UU) Dasar 1945, UU Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 6
Tahun 1994 tentang Konvensi Perubahan Iklim, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati, UU
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja, Perpres Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional
Hingga saat ini, berbagai permasalahan dan tantangan
pengelolaan mangrove masih sering mengemuka. Permasalah dan tantangan yang dimaksud antara lain terkait dengan
konversi lahan, pencemaran limbah domestrik dan limbah berbahaya lainnya, illegal
logging dan eksploitasi sumber daya mangrove secara berlebihan, konsep tata
ruang wilayah yang belum mengakomodir perlindungan kawasan mangrove, rendahnya
tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove, dan penegakan hukum
yang belum optimal. Selain itu pengelolaan
database mangrove juga belum terorganisir secara optimal.
Kebutuhan Instrumen Standardisasi dalam Pengelolaan
Mangrove
Menjawab permasalahan pengelolaan mangrove di Indonesia
dibutuhkan strategi dalam upaya mencegah kerusakan, melestarikan, dan menambah
jumlah luasan hutan mangrove melalui identifikasi kebutuhan standar instumen
pengelolaan hutan mangrove antara lain:
Pertama, Instrumen perencanaan tingkat nasional. Rencana
Strategis (Renstra) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam program
pengelolaan hutan berkelanjutan telah memiliki target yaitu menurunnya laju
penyusutan hutan. Lebih spesifik dijabarkan dalam sasaran kinerja terkait ekosistem mangrove yaitu
meningkatnya kualitas ekosistem mangrove. Maka hal tersebut menjadi bagian
kerja dari seluruh elemen masyarakat termasuk K/L serta stakeholder terkait
lainnya untuk dapat andil dalam peningkatan kualitas ekosistem mangrove.
Peningkatan kualitas akan beriringan dengan semakin
terkelola ekosistem mangrove, maka perlu standar pengelolaan mangrove sejak tahap perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, evaluasi, sampai
pelaporan pelaksanaan program. Dalam hal perencanaan, mangrove telah
mendapatkan “fokus” kerjanya melalui target lima tahunan. Untuk mendorong
instrumen perencaan dapat terimplementasi maka terdapat direktorat yang
menanganinya dan badan khusus yang membidangi untuk mencapai target tersebut.
Hingga saat ini, penting untuk diberikan perhatian khusus
terkait ekosistem mangrove agar masuk dalam penyusunan kebijakan dan
pengambilan keputusan strategis di semua tingkatan (pusat hingga daerah) dalam
bentuk standar dan prosedur pengelolaan eksosistem mangrove yang berkelanjutan
sesuai dengan karakteristik wilayah di Indonesia.
Kedua, instrumen target kelola ekosistem mangrove. Sebagai
landasan pencapaian target pengelolaan ekosistem mangrove pada tahun 2045 yaitu
pemulihan mangrove seluas 3,49 juta ha, salah
satu instrumen target yang digunakan yaitu Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian (Permenko) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi,
Program, dan Indikator Kinerja, Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional yang
merupakan penjabaran dari Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang
Strategi Nasional pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Sebagai intrumen pencapaian target di lapangan diperkuat dengan
keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land
Use (FOLU) Net Sink 2030. Dalam peraturan tersebut juga telah diatur
upaya dan langkah yang harus dilakukan dalam rangka mencapai target di tahun
2030. Implementasi FOLU Net Sink 2030 akan menegaskan kedudukan dan
martabat Indonesia sebagai party terhadap UNFCCC dan pemenuhan komitmen
Indonesia terhadap Paris Agreement sebagaimana amanat Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2016 . Pengelolaan ekosistem mangrove dan gambut yang
berkelanjutan menjadi sangat penting dalam upaya menurunkan emisi gas rumah
kaca disebabkan ekosistem mangrove dan gambut memiliki kemampuan menyerap emisi
karbon lebih besar dibanding ekosistem hutan daratan (KLHK, 2022).
Ketiga, instrumen dukungan teknis. Hal-hal terkait
dengan teknis seperti pembibitan, penanaman, pelaksanaan monitoring, dapat
menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah tersedia, atau dengan
peraturan terkait. Sebagai contoh dalam penanganan benih, saat ini telah ada SNI
7513:2008 tentang Penanganan benih dan bibit bakau (mangrove).
Contoh teknis lain yaitu dukungan standar penanaman dengan
mengikuti formasi alam dan menggunakan bibit yang dapat beradaptasi dengan
lingkungan habitat pesisir. Seperti bagian terdepan pantai yang berbatasan
langsung dengan laut lepas sebaiknya ditanam dengan jenis-jenis Avicennia sp
dan Sonneratia sp, kemudian di belakangnya dengan Rhizophora sp
dan Bruguiera sp. Pada bagian peralihan dengan ekosistem rawa ataupun
persawahan menggunakan jenis Nipa (Nypa fruticans) hingga membentuk jalur
hijau yang dapat menjaga fungsi ekologis ekosistem mangrove. Struktur zonasi seperti
pada Gambar 2 (Karmiasih, E. 2007).
Instrumen teknis lain yang dibutuhkan yaitu penyediaan informasi
geospasial (IG) untuk mendukung database mangrove. Terdapat SNI 7717-2020
tentang Spesifikasi IG Mangrove skala 1:25.000 dan 1:50.000. Di dalam SNI tersebut berisi dukungan dalam pengadaan
peta mangrove nasional yang dimutakhirkan secara berkala. Kelas tutupan tajuk dalam
SNI tersebut terdiri dari 3 kelas, yaitu: 1) Mangrove lebat (70 - 90%), 2)
Mangrove sedang (30 - 70%), dan 3) Mangrove jarang (0 - 30%). Pengelompokkan
potensi habitat mangrove terbagi kedalam 5 (lima) kelas, yaitu area terabrasi,
mangrove terabrasi, lahan terbuka, tambak, dan tanah timbul (akresi).
Keempat, instrumen penguatan paradigma pengelolaan
ekosistem mangrove secara terpadu dan rasional. Instrumen penguatan paradigama pengelolaan
mangrove tentu harus disusun dengan melihat spesifikasi dari ekosistem mangrove
di berbagai wilayah di Indonesia. Hal tersebut harus dilakukan secara terpadu
dan rasional berdasarkan kebutuhan pengelolaan yang akan dilakukan sehingga
dapat menjadi “guidance”
dan kontrol atas aktivitas pengelolaan yang dilakukan.
Kusmana (2009) menjabarkan secara terperinci bahwa
paradigma pengelolaan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya mangrove harus
berdasarkan pada basis ekologis atau filosofi konservasi, langkah pertama yang harus ditempuh
adalah menjaga mangrove dari kerusakan. Dalam hal ini yang sangat penting
adalah upaya mengoptimasikan konservasi sumberdaya mangrove yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup (barang dan jasa) masyarakat di satu pihak dan menjamin
keanekaragaman hayatinya di pihak lain. Langkah kedua yaitu mangrove dikelola
berdasarkan pada prinsip kelestarian dimana mangrove merupakan sumberdaya yang
dapat diperbaharui (renewable resources). langkah ini lebih menekankan bahwa
sumberdaya mangrove harus dapat dipanen secara berkelanjutan, sementara
ekosistem mangrove itu sendiri dapat dipertahankan secara alami seperti semula.
Langkah ketiga yaitu preservasi sebagian areal mangrove yang betul-betul tidak
terganggu (pristine mangrove forest) yang dalam hal ini mangrove menjadi
biodiversity bank atau biological resources.
Berbagai instrumen diatas penting dalam pengelolaan
ekosistem mangrove berkelanjutan di Indonesia. Diharapkan dapat dihasilkan
berbagai standar pendukung pengelolaan mangrove berdasarkan karakteristik
wilayah, sehingga standar pengelolaan dapat tepat guna dan mudah untuk
diterapkan sesuai pengaturan wilayah atau tata ruang yang terpadu dengan
prinsip kelestarian lingkungan.
Foto: Rehabilitasi Mangrove di Percut, Deli Serdang,
Sumatera Utara tahun 2014 (Dokumen Pribadi)
DAFTAR PUSTAKA
Food Agriculture Organisation. 2007. The Worls’s
Mangrove 1985.Rome. Italy
Giri, C.; Ochieng, E.; Tieszen, L.L.; Zhu, Z.; Singh, A.;
Loveland, T.; Masek, J.; Duke, N. 2011. Status and distribution of mangrove
forests of the world using earth observation satellite data. Glob. Ecol.
Biogeogr. Page, 20, 154–159. [Akses: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x
dan https://www.fao.org/forestry/mangrove/3643/en/
]
Karmiasih, E. 2007. Pemanfaatan Ekosistem Mangrove bagi
Minimasi Dampak Bencana di Wilayah Pesisir. JMHT Vol. XIII (3): 182-187. Bogor:
Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2022. Rencana
Operasional indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Jakarta.
Kusmana, Cecep. 2009. Pengelolaan Sistem Mangove Terpadu.
Makalah Workshop Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jawa Barat. Jatinangor,
18 Agustus 2009
Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB
Press. Bogor