Jumat, 17 Juli 2020

REFLEKSI RIMBAWAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN

Foto: Dokumen Project ACIAR di Ds. Katimpun, Kapuas, Kalimantan Tengah

Oleh: Faridh Almuhayat Uhib H., S.Hut., M.Si[1]

Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 20 Juni 2020, Ikatan Alumni Kehutanan Universitas Lampung (Ikasylva Unila) melaksanakan webinar nasional bertema Refleksi Rimbawan: Meningkatakan Peran Aktif, Inovasi, dan Kreasi Rimbawan dalam Pembangunan Kehutanan Indonesia”. Acara tersebut melibatkan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Fakultas Pertanian Unila, Jurusan Kehutanan Unila, Himpunan Mahasiswa Kehutanan (Himasylva)/Pengurus Cabang Sylva Indonesia (PCSI) Unila, serta Garuda Sylva (Garsi) yang merupakan perkumpulan lokal yang konsen terhadap masalah lingkungan hidupd dan kehutanan. Peserta webinar yang mengikuti bukan hanya alumni atau mahasiswa kehutanan Unila saja, namun dari peserta yang mendaftar berjumlah ribuan tersebut berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi dari seluruh Indonesia.
Hal tersebut menurut saya menjadi sebuah khasanah baru dalam diskusi-diskusi melalui Webinar, sebab dari berbagai kegiatan Webinar yang sedang marak dimasa pandemi Covid-19 ini, tema tentang rimbawan sendiri belum dan bahkan jarang diangkat dalam tema webinar-webinar tersebut. Disisi lain peran rimbawan ini jarang dibicarakan bahkan terlupakan oleh para pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya hutan.

Makna dan Tugas Rimbawan
Rimbawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ahli kehutanan atau pecinta hutan. Secara terminologi rimbawan berasal dari kata ‘rimba’ yang berarti hutan. Kemudian diadopsi dengan akhiran ‘-an’ yang berarti seseorang yang membidangi bidang tertentu. Menurut Deklarasi Cangkuang Tahun 1999 arti rimbawan adalah seseorang yang mempunyai pendidikan kehutanan dan atau pengalaman di bidang kehutanan dan terikat oleh norma-norma.
Maka arti rimbawan menurut penulis yaitu seseorang yang menekuni atau membidangi bidang kehutanan baik secara keilmuan maupun praktek pengelolaan hutan, agar sumber daya hutan dapat kelola dan dimanfaatkan secara lestari. Dengan dimikian tugas rimbawan merupakan tugas yang mulia, ia harus memastikan bahwa sumber daya hutan dan ekosistemnya harus terpelihara, terlindungi, serta nilai yang terkandung didalamnya dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat.
Untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan dan ekosistemnya, maka tugas mulia rimbawan harus dibarengi dengan ilmu dalam mengelolanya. Walaupun hingga saat ini praktik pengelolaan masih terdapat gap antara teori yang dibangun sehingga menjadi landasan berfikir para rimbawan, dengan fakta/realita dilapangan yang dilakukan oleh masyarakat dan pelaku usaha kehutanan.
Dibangku sekolah kehutanan dan perkuliahan misalnya, para rimbawan dibekali dengan ilmu alam, bahasa dan sastra, ilmu sosial dan budaya dasar, undang-undang dan kebijakan kehutanan, pengelolaan hutan dan ekosistem, pemanfaatan sumber daya hutan hingga penanaman cinta tanah air melalui mata kuliah Pancasila dan kewarganaraan. Ilmu yang berkembang tersebut akhirnya memberikan bekal dalam pengelolaan hutan secara modern, seperti pengelolaan hutan untuk skala usaha yang dimanfaatkan seperti kayu dan non-kayu. Disisi lain praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat lebih pada pendekatan pengetahuan lokal (local wisdom) dengan prinsip nilai hutan yang dikelola dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sumber daya hutan tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Cara pandang rimbawan harus terus diasah melalui internalisasi ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan berbagai praktik-praktik di lapangan, sehingga hasil dari kemampuan “melihat” dapat menjadi kemampuan untuk “menggerakkan” sehingga menghasilkan “alternatif” yang lebih baik walaupun melalui proses yang sangat lama. Rimbawan tidak boleh terjebak dalam suatu rutinitas cara pandang yang mendikotomi secara sempit makna rimbawan, siapa saja rimbawan itu, tugas rimbawan seperti apa, dan bidang kerja rimbawan dimana saja. Cara pandang yang luas dan bijak dapat memberikan keputusan yang tepat dalam pembangunan kehutanan.

Perkembangan Institusi Rimbawan
Makna rimbawan jika diperluas dalam sebuah proses, maka upaya seseorang dalam memberikan transfer pengetahuan tentang cinta alam dan cinta lingkungan juga dapat dikatakan sebagai rimbawan. Jika demikian maka proses transfer pengetahuan tersebut dalam berjalan dalam tiga karakter institusi yang melekat yaitu: Pertama, seseorang yang dalam kesehariannya bersinggungan dengan sumber daya hutan seperti petani hutan atau masyarakat adat. Mereka mendapatkan pengetahuan pengelolaan hutan melalui institusi pendidikan yang  melekat bersama kelompok mereka secara turun temurun dari nenek moyang tentang mengelola sumber daya hutan.
Pengelolaan yang dilakukannya tidak banyak tertulis dalam bentuk buku atau manuskrip, namun mereka selalu mendapatkan pengetahuan dan praktek pengelolaan hutan secara langsung (learning by doing). Hal ini tidaklah berat jika dapat dikatan sebagai institusi pendidikan rimbawan  karena mereka mencintai hutan dan memaknai hutan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan, walaupun dilakukan dalam kaidah institusi non-formal. Akhirnya banyak cabang ilmu pengetahuan yang mencoba mendekatkan dan menghubungkan proses pengetahuan masyarakat tersebut dengan pendidikan rimbawan dalam kaidah formal.
Tidak heran jika banyak kita jumpai buku-buku yang mengangkat berbagai pengetahuan petani hutan, masyarakat adat dalam mengelola sumber daya hutan. Hal tersebut dilakukan untuk menguatkan, merevitalisasi nilai-nilai luhur pengetahuan manusia yang telah mengkristal dan masih hidup nyata di era modern saat ini. Unsur-unsur penghargaan kepada alam dan upaya menjaganya itulah yang harus kita elaborasi menjadi spirit bersama mengelola sumber daya hutan bersama masyarakat.
Kedua, seseorang yang menempuh jenjang pendidikan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tentang pengelolaan hutan. Ilmu pengelolaan hutan yang berkembang sebagaimana yang kita jumpai saat ini, merupakan institusi pendidikan untuk melakukan transfer pengetahuan yang berjenjang, terdokumentasikan secara formal sehingga menghasilkan teori-teori yang mendukung eksistensi dari sumber daya hutan dan ekosistemnya. Institusi pendidikan formal inilah yang mencetak rimbawan dari tingkatan paling kecil seperti taman kanak-kanak (TK), sekolah alam, sekolah kejuruan kehutanan negeri[2] dan swasta menawarkan program pendidikan berbasis alam, berbasis lingkungan yang di kurikulumnya juga akan bersinggungan dengan ekosistem hutan walaupun masih dalam skala sempit, namun menjadi pondasi dalam menanamkan kecintaan pada kelestarian sumber daya hutan dan lingkungan.
Di tingkatan pendidikan tinggi seperti program studi, jurusan, atau fakultas kehutanan juga banyak mencetak rimbawan yang secara pengetahuan telah mendapatkan pengetahuan yang lebih luas karena masuknya berbagai disiplin ilmu. Dari catatan Sylva Indonesia[3] jumlah lembaga mahasiswa kehutanan yang tergabung sebagai anggota berjumlah 42 Universitas. Tidak heran jika semua institusi formal tersebut terus memproduksi rimbawan sesuai dengan tingkatannya.
Banyak kritik oleh rimbawan tentang institusi formal ini, salah satunya yaitu bahwa rimbawan dengan bekal pengetahuannya ilmu kehutanan belum cukup mampu menjawab persoalan hutan dan kehutanan yang selama ini terjadi. Menurutnya bahwa persolan tersebut bukan sekedal silvikultur, teknologi kayu, tetapi juga masalah sosial, budaya, antropologi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, dinamika geopolitik lokal-nasional dan global, dan masalah lainnya[4].
Ketiga, seseorang atau sekelompok orang yang secara terorganisir melakukan atau bersinggungan dengan praktik pengelolaan hutan menggunakan berbagai instrumen sumber daya yang mendukung sektor-sektor lain tumbuh, sehingga mencipkatakan suatu keadaan yang menuntut untuk dilakukannya pengelolaan sumber daya hutan secara adil dan lestari. Biasa dilakukan oleh institusi/lembaga pemerintah maupun swasta. Maka karakter rimbawan dalam hal ini dituntut untuk memberikan suatu kepastian nilai yang harus dicapai, tanpa harus mengabaikan nilai yang lain. Tidak jarang jika banyak ketimpangan, kegagalan faham para rimbawan dalam memandang berbagai irisan kepentingan sumber daya yang ada. Bahkan tidak jarang rimbawan suka mengkambing hitamkan adanya berbagai masalah yang mereka sendiri tidak dapat mengetahui bagaiman untuk menyelesaikannya, seperti lemahnya political will[5].
Hal menarik lainnya, rimbawan sendiri sebagai orang yang memahami situasi harus dapat bertanggung jawab dalam memecahkan permasalahan yang terjadi. Transfer pengetahuan dalam wilayah institusi ini tidak selamanya murni tentang objek hutan saja, pasti bersinggungan lebih luas dengan cabang lain seperti politik, hukum, kebijakan, dan program pembangunan lainnya. Maka seorang rimbawan harus jiwa nasionalisme yang tinggi sebab memposisikan cara pandang dan memutuskan suatu kebijakan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menyalahkan dan mengeluhkan keputusan yang telah ditetapkan untuk pengelolaan sumber daya hutan.

Etika Rimbawan
Pada akhirnya, sejarah pengelolaan dan pengurusan hutan di Indonesia penuh dengan dinamika. Walaupun demikian, rimbawan harus memiliki ruang-ruang untuk melakukan refleksi dari cara pandang dan aksi yang telah dilakukan dalam pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia selama ini. Prinsip-prinsip yang ditanamakan oleh para rimbawan selama ini yaitu tetap menjaga korsa rimbawan, menjaga nilai-rilai sebagai seorang rimbawan, dan menjaga kode etik rimbawan. Prinsip tersebut dalam setiap refleksi perlu kembali dikuatkan, agar tanggung jawab secara rimbawan baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial melekat pada jati diri seorang rimbawan.
Rimbawan harus kuat dalam menjaga jiwa korsa diantara sesama. Konsekuensi korsa tersebut yaitu nilai-nilai persaudaraan harus dibangun melalui “gemblengan” bentangan ekosistem hutan. Sehingga seorang rimbawan harus mampu menerima tanggung jawabnya dengan ikhlas dan terus  belajar menjauhkan dari sikap yang mementingkan diri sendiri. Hutan bagi para rimbawan merupakan maha taman tempat bekerja sebagaimana yang tertuang dalam baris mars seruan rimba atau mars rimbawan, nilai yang terkandung didalamnya harus menjadi pupuk jiwa korsa (dalam kondisi apapun para rimbawan adalah saudara yang harus terus bersama-sama baik dalam suka maupun duka). Hal tersebut seperti yang yang dicontohkan para pemuda Indonesia tahun 1928 yang berani bersumpah untuk satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yaitu Indonesia.
Tonggak sejarah tidak cukup dengan semangat persaudaraan tetapi rimbawan juga dipersatukan dengan momentum-momentum penting lahirnya petunjuk pengelolaan hutan Indonesia (Indonesian forest management guidelines) yaitu lahirnya Undang-undang nomor 5 Tahun 1967 tetang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang kemudian diganti dengan Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Jika melihat tahun lahirnya kedua undang-undang tersebut kembali mengingatkan tentang Deklarasi Kaliurang tahun 1966 dan Deklarasi Cangkuang tahun 1999.
Terlepas dari situasi politik saat itu, Deklarasi Kaliurang tahun 1966 merupakan keberanian para rimbawan berupaya keras mendorong upaya pemanfaatan sumber daya hutan yang berkesinambungan dan asas hak generasi sekarang dan generasi akan datang. Upaya yang dilakukan rimbawan dalam deklarasi tersebut kemudian menjadi semangat dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 1967 tetang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yaitu semangat menerapkan pengelolaan hutan berdasarkan multiple use dan sustained yield. Disisi lain pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.  Setahun kemudian lahir Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri.
Pasca reformasi, berbagai gagasan dari berbagai pihak untuk mengganti Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan semakin menguat tepatnya pada bulan September 1999. Sebagai sikap atas lahirnya undang-undang tersebut, maka berbagai aturan turunan dibuat agar pengurusan dan pengelolaan hutan Indonesia sesuai dengan visi dan misi bersama. Maka pada tanggal 4 November 1999 secara bersama-sama para rimbawan mendeklarasidikan diri  di Cangkuang, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat yang kemudian disebut dengan Deklarasi Cangkuang.
Deklarasi Cangkuang[6] merupakan sebuah deklarasi untuk menguatkan landasan para rimbawan dalam upaya pengelolaan hutan Indonesia agar tetap lestari. Deklarasi juga menyatakan bahwa pengelolaan hutan pada hakekatnya merupakan aktivitas yang mendudukkan hutan sebagai ekosistem untuk sebesar-besar kesejahteraan dan kebehagiaan manusia lahir dan bathin dengan mempertahankan kelestarian fungsi dan manfaatnya. Pelaksanaan pengelolaan tersebut sebagai pengejawantahan dari rasa syukur Rimbawan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang dilakukan dengan berazaskan kerakyatan, keadilan, partisipatif, demokratis, keterbukaan, keterpaduan, kejujuran dan bertanggunggugat.
Menyadari kondisi hutan telah menurun baik kualitas dan kuantitasnya, maka deklarasi tersebut menuntut tanggung jawab, upaya dan kerja keras Rimbawan untuk memulihkannya sehingga sebagai bentuk tanggung jawab “tugas rimbawan” maka disusunlah kode etik rimbawan yang berjumlah 10 butir kode etik.
Peran, tugas dan komitmen rimbawan yang sangat kuat dengan berbagai etika yang dibangun, diharapkan sumber daya rimbawan semakin kuat. Hal tersebut tentu harus dibarengi dengan landasan iman, dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, rimbawan harus lebih profesional, maka pemerintah mendukung upaya penguatan keprofesionalan rimbawan tersebut melaui Sembilan Nilai Dasar Rimbawan. Sembilan nilai tersebut yaitu jujur, tanggung jawab, ikhlas, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama, dan profesional. Sembilan nilai tersebut merupakan dasar komitem spiritual seorang rimbawan dalam melaksanakan tugas dibidang kehutanan[7] seiring dengan kode etik rimbawan yang telah dilahirkan para pendahulu.

Epilog: Secangkir Kopi Rimbawan
Jika para rimbawan bersama-sama menikmati kopi, rasanya tidak akan sulit dalam mengelola sumber daya hutan agar berjalan sesuai cita-cita bersama, yaitu sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33, ayat (3) yang berbunyi: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kamakmuran rakyat.”. Sebab dalam seacngkir kopi itulah ada ruang-ruang yang memungkinkan untuk berkolaborasi, bermitra, bekerjasama, atau ada ruang kompromi lainnya yang sesuai dengan aturan mainnya. Penyusunan aturan main tersebut saat ini telah mengalami perubahan yang signifikan yaitu: Pertama, adanya langkah korektif (corrective action) dari pemerintah dengan melibatkan berbagai pihak baik masyarakat, swasta, lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, akademisi, dan pihak lain yang konsen terhadap pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Kedua, adanya kebijakan-kebijakan strategis yang diakomodir untuk meningkatakan efektifitas pengelolaan sumber daya hutan.
Semua pihak dapat memberikan andil dalam pengambilan keputusan. Pemerintah harus berkaca dari berbagai era pengelolaan hutan serta pengalaman-pengalaman yang dilakukan dalam pengelolan hutan di Indonesia (era kolonial, era pasca kemerdekaan (orde lama), era orde baru, dan era reformasi). Tata kelola pemerintah di era 4.0 saat ini harus transparan, maka langkah rimbawan Indonesia harus dapat mengisi gap dan menjawab persoalan pengelolaan hutan di Indonesia termasuk dalam pengarus utamaan gender.
Dengan menikmati secangkir kopi, maka rimbawan akan muncul ide dan gagasan yang inovatif. Setidaknya gagasan yang inovatif tersebut tercermin dari sosok rimbawan yang mampu mencontoh unsur-unsur alam sebagai landasan dalam menguatkan jiwa leadership seperti sifat langit, bintang, bulan, angin, bumi, air, dan api. Sifat-sifat tersebut merupakan sumber insiprasi sembari menikmati kopinya, semoga para Rimbawan mendapatkan semangat dalam melakukan kerja-kerja produktif dalam pengelolaan hutan di Indonesia.
Salam Rimbawan....!!!




[1] Alumni Kehutanan Universitas Lampung; Sekjen Sylva Indonesia 2008-2010 (Telp. 081272861959)
[2] Untuk Sekolah Menengah Kejuruan Kehutanan Negeri (SMKKN) dibawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebanyak 5 SMKKN (sumber: http://bp2sdm.menlhk.go.id/web/#)
[3] Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Mahasiswa Kehutanan Indonesia (Sylva Indonesia) hasil Konferensi Nasional Luar Biasa Sylva Indonesia (KNLBSI) XVIII di Universitas Haluuleo, Kendari 2018.
[4] Sumber: https://www.forestdigest.com/detail/355/10-etika-rimbawan, dan Webinar Refleksi Rimbawan 20 Juni 2020 yang diselenggarakan oleh Ikasylva Unila.
[5] Kelemahan Rimbawan: Pelajara dari Enam Negara dikutip dalam Buku Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan (2006) Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor.
[7] Surat edaran Menteri Kehutanan Nomor: SE.01/Menhut-II/2007 tentang Sembilan Nilai Dasar Rimbawan