Foto: Dokumen Project ACIAR di Ds. Katimpun, Kapuas, Kalimantan Tengah
Oleh: Faridh Almuhayat Uhib H.,
S.Hut., M.Si[1]
Beberapa
waktu lalu tepatnya tanggal 20 Juni 2020, Ikatan Alumni Kehutanan Universitas
Lampung (Ikasylva Unila) melaksanakan webinar nasional bertema Refleksi
Rimbawan: Meningkatakan Peran Aktif, Inovasi, dan Kreasi Rimbawan dalam
Pembangunan Kehutanan Indonesia”. Acara tersebut melibatkan Direktorat Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Fakultas Pertanian
Unila, Jurusan Kehutanan Unila, Himpunan Mahasiswa Kehutanan
(Himasylva)/Pengurus Cabang Sylva Indonesia (PCSI) Unila, serta Garuda Sylva
(Garsi) yang merupakan perkumpulan lokal yang konsen terhadap masalah
lingkungan hidupd dan kehutanan. Peserta webinar yang mengikuti bukan hanya
alumni atau mahasiswa kehutanan Unila saja, namun dari peserta yang mendaftar berjumlah
ribuan tersebut berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi dari
seluruh Indonesia.
Hal
tersebut menurut saya menjadi sebuah khasanah baru dalam diskusi-diskusi melalui
Webinar, sebab dari berbagai kegiatan Webinar yang sedang marak dimasa pandemi
Covid-19 ini, tema tentang rimbawan sendiri belum dan bahkan jarang diangkat
dalam tema webinar-webinar tersebut. Disisi lain peran rimbawan ini jarang
dibicarakan bahkan terlupakan oleh para pihak yang berkepentingan terhadap
pengelolaan sumber daya hutan.
Makna dan Tugas Rimbawan
Rimbawan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ahli kehutanan atau pecinta
hutan. Secara terminologi rimbawan berasal dari kata ‘rimba’ yang berarti
hutan. Kemudian diadopsi dengan akhiran ‘-an’ yang berarti seseorang yang
membidangi bidang tertentu. Menurut Deklarasi Cangkuang Tahun 1999 arti rimbawan
adalah seseorang yang mempunyai pendidikan kehutanan dan atau pengalaman di
bidang kehutanan dan terikat oleh norma-norma.
Maka
arti rimbawan menurut penulis yaitu seseorang yang menekuni atau membidangi bidang
kehutanan baik secara keilmuan maupun praktek pengelolaan hutan, agar sumber
daya hutan dapat kelola dan dimanfaatkan secara lestari. Dengan dimikian tugas
rimbawan merupakan tugas yang mulia, ia harus memastikan bahwa sumber daya
hutan dan ekosistemnya harus terpelihara, terlindungi, serta nilai yang
terkandung didalamnya dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi
masyarakat.
Untuk
menjamin kelestarian sumber daya hutan dan ekosistemnya, maka tugas mulia
rimbawan harus dibarengi dengan ilmu dalam mengelolanya. Walaupun hingga saat
ini praktik pengelolaan masih terdapat gap
antara teori yang dibangun sehingga menjadi landasan berfikir para rimbawan,
dengan fakta/realita dilapangan yang dilakukan oleh masyarakat dan pelaku usaha
kehutanan.
Dibangku
sekolah kehutanan dan perkuliahan misalnya, para rimbawan dibekali dengan ilmu alam,
bahasa dan sastra, ilmu sosial dan budaya dasar, undang-undang dan kebijakan
kehutanan, pengelolaan hutan dan ekosistem, pemanfaatan sumber daya hutan hingga
penanaman cinta tanah air melalui mata kuliah Pancasila dan kewarganaraan. Ilmu
yang berkembang tersebut akhirnya memberikan bekal dalam pengelolaan hutan
secara modern, seperti pengelolaan hutan untuk skala usaha yang dimanfaatkan
seperti kayu dan non-kayu. Disisi lain praktik pengelolaan hutan oleh
masyarakat lebih pada pendekatan pengetahuan lokal (local wisdom) dengan prinsip nilai hutan yang dikelola dapat
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sumber daya hutan tersebut dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Cara
pandang rimbawan harus terus diasah melalui internalisasi ilmu pengetahuan yang
diperoleh dengan berbagai praktik-praktik di lapangan, sehingga hasil dari
kemampuan “melihat” dapat menjadi kemampuan untuk “menggerakkan” sehingga
menghasilkan “alternatif” yang lebih baik walaupun melalui proses yang sangat
lama. Rimbawan tidak boleh terjebak dalam suatu rutinitas cara pandang yang
mendikotomi secara sempit makna rimbawan, siapa saja rimbawan itu, tugas rimbawan
seperti apa, dan bidang kerja rimbawan dimana saja. Cara pandang yang luas dan
bijak dapat memberikan keputusan yang tepat dalam pembangunan kehutanan.
Perkembangan Institusi Rimbawan
Makna
rimbawan jika diperluas dalam sebuah proses, maka upaya seseorang dalam
memberikan transfer pengetahuan tentang cinta alam dan cinta lingkungan juga
dapat dikatakan sebagai rimbawan. Jika demikian maka proses transfer
pengetahuan tersebut dalam berjalan dalam tiga karakter institusi yang melekat
yaitu: Pertama, seseorang yang dalam
kesehariannya bersinggungan dengan sumber daya hutan seperti petani hutan atau
masyarakat adat. Mereka mendapatkan pengetahuan pengelolaan hutan melalui institusi
pendidikan yang melekat bersama kelompok
mereka secara turun temurun dari nenek moyang tentang mengelola sumber daya
hutan.
Pengelolaan
yang dilakukannya tidak banyak tertulis dalam bentuk buku atau manuskrip, namun
mereka selalu mendapatkan pengetahuan dan praktek pengelolaan hutan secara
langsung (learning by doing). Hal ini
tidaklah berat jika dapat dikatan sebagai institusi pendidikan rimbawan karena mereka mencintai hutan dan memaknai
hutan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan, walaupun dilakukan
dalam kaidah institusi non-formal. Akhirnya banyak cabang ilmu pengetahuan yang
mencoba mendekatkan dan menghubungkan proses pengetahuan masyarakat tersebut
dengan pendidikan rimbawan dalam kaidah formal.
Tidak
heran jika banyak kita jumpai buku-buku yang mengangkat berbagai pengetahuan
petani hutan, masyarakat adat dalam mengelola sumber daya hutan. Hal tersebut
dilakukan untuk menguatkan, merevitalisasi nilai-nilai luhur pengetahuan manusia
yang telah mengkristal dan masih hidup nyata di era modern saat ini.
Unsur-unsur penghargaan kepada alam dan upaya menjaganya itulah yang harus kita
elaborasi menjadi spirit bersama mengelola sumber daya hutan bersama
masyarakat.
Kedua, seseorang yang menempuh
jenjang pendidikan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tentang pengelolaan
hutan. Ilmu pengelolaan hutan yang berkembang sebagaimana yang kita jumpai saat
ini, merupakan institusi pendidikan untuk melakukan transfer pengetahuan yang
berjenjang, terdokumentasikan secara formal sehingga menghasilkan teori-teori
yang mendukung eksistensi dari sumber daya hutan dan ekosistemnya. Institusi pendidikan
formal inilah yang mencetak rimbawan dari tingkatan paling kecil seperti taman
kanak-kanak (TK), sekolah alam, sekolah kejuruan kehutanan negeri[2]
dan swasta menawarkan program pendidikan berbasis alam, berbasis lingkungan
yang di kurikulumnya juga akan bersinggungan dengan ekosistem hutan walaupun
masih dalam skala sempit, namun menjadi pondasi dalam menanamkan kecintaan pada
kelestarian sumber daya hutan dan lingkungan.
Di tingkatan
pendidikan tinggi seperti program studi, jurusan, atau fakultas kehutanan juga
banyak mencetak rimbawan yang secara pengetahuan telah mendapatkan pengetahuan
yang lebih luas karena masuknya berbagai disiplin ilmu. Dari catatan Sylva
Indonesia[3]
jumlah lembaga mahasiswa kehutanan yang tergabung sebagai anggota berjumlah 42
Universitas. Tidak heran jika semua institusi formal tersebut terus memproduksi
rimbawan sesuai dengan tingkatannya.
Banyak
kritik oleh rimbawan tentang institusi formal ini, salah satunya yaitu bahwa
rimbawan dengan bekal pengetahuannya ilmu kehutanan belum cukup mampu menjawab
persoalan hutan dan kehutanan yang selama ini terjadi. Menurutnya bahwa
persolan tersebut bukan sekedal silvikultur, teknologi kayu, tetapi juga
masalah sosial, budaya, antropologi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat,
dinamika geopolitik lokal-nasional dan global, dan masalah lainnya[4].
Ketiga, seseorang atau sekelompok orang
yang secara terorganisir melakukan atau bersinggungan dengan praktik
pengelolaan hutan menggunakan berbagai instrumen sumber daya yang mendukung
sektor-sektor lain tumbuh, sehingga mencipkatakan suatu keadaan yang menuntut
untuk dilakukannya pengelolaan sumber daya hutan secara adil dan lestari. Biasa
dilakukan oleh institusi/lembaga pemerintah maupun swasta. Maka karakter
rimbawan dalam hal ini dituntut untuk memberikan suatu kepastian nilai yang
harus dicapai, tanpa harus mengabaikan nilai yang lain. Tidak jarang jika
banyak ketimpangan, kegagalan faham para rimbawan dalam memandang berbagai
irisan kepentingan sumber daya yang ada. Bahkan tidak jarang rimbawan suka
mengkambing hitamkan adanya berbagai masalah yang mereka sendiri tidak dapat
mengetahui bagaiman untuk menyelesaikannya, seperti lemahnya political will[5].
Hal
menarik lainnya, rimbawan sendiri sebagai orang yang memahami situasi harus dapat
bertanggung jawab dalam memecahkan permasalahan yang terjadi. Transfer
pengetahuan dalam wilayah institusi ini tidak selamanya murni tentang objek
hutan saja, pasti bersinggungan lebih luas dengan cabang lain seperti politik, hukum,
kebijakan, dan program pembangunan lainnya. Maka seorang rimbawan harus jiwa
nasionalisme yang tinggi sebab memposisikan cara pandang dan memutuskan suatu
kebijakan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menyalahkan dan
mengeluhkan keputusan yang telah ditetapkan untuk pengelolaan sumber daya hutan.
Etika Rimbawan
Pada
akhirnya, sejarah pengelolaan dan pengurusan hutan di Indonesia penuh dengan
dinamika. Walaupun demikian, rimbawan harus memiliki ruang-ruang untuk
melakukan refleksi dari cara pandang dan aksi yang telah dilakukan dalam
pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia selama ini. Prinsip-prinsip yang
ditanamakan oleh para rimbawan selama ini yaitu tetap menjaga korsa rimbawan,
menjaga nilai-rilai sebagai seorang rimbawan, dan menjaga kode etik rimbawan.
Prinsip tersebut dalam setiap refleksi perlu kembali dikuatkan, agar tanggung
jawab secara rimbawan baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk
sosial melekat pada jati diri seorang rimbawan.
Rimbawan
harus kuat dalam menjaga jiwa korsa diantara sesama. Konsekuensi korsa tersebut
yaitu nilai-nilai persaudaraan harus dibangun melalui “gemblengan” bentangan
ekosistem hutan. Sehingga seorang rimbawan harus mampu menerima tanggung
jawabnya dengan ikhlas dan terus belajar
menjauhkan dari sikap yang mementingkan diri sendiri. Hutan bagi para rimbawan
merupakan maha taman tempat bekerja sebagaimana yang tertuang dalam baris mars
seruan rimba atau mars rimbawan, nilai yang terkandung didalamnya harus menjadi
pupuk jiwa korsa (dalam kondisi apapun para rimbawan adalah saudara yang harus
terus bersama-sama baik dalam suka maupun duka). Hal tersebut seperti yang yang
dicontohkan para pemuda Indonesia tahun 1928 yang berani bersumpah untuk satu
nusa, satu bangsa, satu bahasa yaitu Indonesia.
Tonggak
sejarah tidak cukup dengan semangat persaudaraan tetapi rimbawan juga
dipersatukan dengan momentum-momentum penting lahirnya petunjuk pengelolaan
hutan Indonesia (Indonesian forest
management guidelines) yaitu lahirnya Undang-undang nomor 5 Tahun 1967
tetang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang kemudian diganti dengan
Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Jika melihat tahun
lahirnya kedua undang-undang tersebut kembali mengingatkan tentang Deklarasi Kaliurang
tahun 1966 dan Deklarasi Cangkuang tahun 1999.
Terlepas
dari situasi politik saat itu, Deklarasi Kaliurang tahun 1966 merupakan
keberanian para rimbawan berupaya keras mendorong upaya pemanfaatan sumber daya
hutan yang berkesinambungan dan asas hak generasi sekarang dan generasi akan
datang. Upaya yang dilakukan rimbawan dalam deklarasi tersebut kemudian menjadi
semangat dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 1967 tetang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan yaitu semangat menerapkan pengelolaan hutan berdasarkan multiple use dan sustained yield. Disisi lain pada tahun yang sama pemerintah
mengeluarkan Undang-undang nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Setahun kemudian lahir Undang-undang Nomor 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri.
Pasca
reformasi, berbagai gagasan dari berbagai pihak untuk mengganti Undang-undang
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan semakin menguat tepatnya pada bulan September
1999. Sebagai sikap atas lahirnya undang-undang tersebut, maka berbagai aturan
turunan dibuat agar pengurusan dan pengelolaan hutan Indonesia sesuai dengan
visi dan misi bersama. Maka pada tanggal 4 November 1999 secara bersama-sama
para rimbawan mendeklarasidikan diri di Cangkuang,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat yang kemudian disebut dengan Deklarasi
Cangkuang.
Deklarasi
Cangkuang[6]
merupakan sebuah deklarasi untuk menguatkan landasan para rimbawan dalam upaya
pengelolaan hutan Indonesia agar tetap lestari. Deklarasi juga menyatakan bahwa
pengelolaan hutan pada hakekatnya merupakan aktivitas yang mendudukkan hutan
sebagai ekosistem untuk sebesar-besar kesejahteraan dan kebehagiaan manusia
lahir dan bathin dengan mempertahankan kelestarian fungsi dan manfaatnya.
Pelaksanaan pengelolaan tersebut sebagai pengejawantahan dari rasa syukur
Rimbawan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang dilakukan dengan berazaskan
kerakyatan, keadilan, partisipatif, demokratis, keterbukaan, keterpaduan,
kejujuran dan bertanggunggugat.
Menyadari
kondisi hutan telah menurun baik kualitas dan kuantitasnya, maka deklarasi
tersebut menuntut tanggung jawab, upaya dan kerja keras Rimbawan untuk
memulihkannya sehingga sebagai bentuk tanggung jawab “tugas rimbawan” maka
disusunlah kode etik rimbawan yang berjumlah 10 butir kode etik.
Peran,
tugas dan komitmen rimbawan yang sangat kuat dengan berbagai etika yang
dibangun, diharapkan sumber daya rimbawan semakin kuat. Hal tersebut tentu harus
dibarengi dengan landasan iman, dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu,
rimbawan harus lebih profesional, maka pemerintah mendukung upaya penguatan
keprofesionalan rimbawan tersebut melaui Sembilan Nilai Dasar Rimbawan. Sembilan
nilai tersebut yaitu jujur, tanggung jawab, ikhlas, disiplin, visioner, adil,
peduli, kerjasama, dan profesional. Sembilan nilai tersebut merupakan dasar
komitem spiritual seorang rimbawan dalam melaksanakan tugas dibidang kehutanan[7]
seiring dengan kode etik rimbawan yang telah dilahirkan para pendahulu.
Epilog: Secangkir Kopi Rimbawan
Jika
para rimbawan bersama-sama menikmati kopi, rasanya tidak akan sulit dalam mengelola
sumber daya hutan agar berjalan sesuai cita-cita bersama, yaitu sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33, ayat (3) yang
berbunyi: ”Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kamakmuran rakyat.”. Sebab dalam seacngkir kopi itulah ada
ruang-ruang yang memungkinkan untuk berkolaborasi, bermitra, bekerjasama, atau ada
ruang kompromi lainnya yang sesuai dengan aturan mainnya. Penyusunan aturan
main tersebut saat ini telah mengalami perubahan yang signifikan yaitu: Pertama, adanya langkah korektif (corrective action) dari pemerintah
dengan melibatkan berbagai pihak baik masyarakat, swasta, lembaga swadaya
masyarakat, perkumpulan, akademisi, dan pihak lain yang konsen terhadap
pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Kedua,
adanya kebijakan-kebijakan strategis yang diakomodir untuk meningkatakan
efektifitas pengelolaan sumber daya hutan.
Semua
pihak dapat memberikan andil dalam pengambilan keputusan. Pemerintah harus berkaca
dari berbagai era pengelolaan hutan serta pengalaman-pengalaman yang dilakukan
dalam pengelolan hutan di Indonesia (era kolonial, era pasca kemerdekaan (orde
lama), era orde baru, dan era reformasi). Tata kelola pemerintah di era 4.0
saat ini harus transparan, maka langkah rimbawan Indonesia harus dapat mengisi gap dan menjawab persoalan pengelolaan
hutan di Indonesia termasuk dalam pengarus utamaan gender.
Dengan
menikmati secangkir kopi, maka rimbawan akan muncul ide dan gagasan yang
inovatif. Setidaknya gagasan yang inovatif tersebut tercermin dari sosok rimbawan
yang mampu mencontoh unsur-unsur alam sebagai landasan dalam menguatkan jiwa leadership seperti sifat langit,
bintang, bulan, angin, bumi, air, dan api. Sifat-sifat tersebut merupakan
sumber insiprasi sembari menikmati kopinya, semoga para Rimbawan mendapatkan
semangat dalam melakukan kerja-kerja produktif dalam pengelolaan hutan di
Indonesia.
Salam Rimbawan....!!!
Salam Rimbawan....!!!
[1] Alumni Kehutanan Universitas Lampung;
Sekjen Sylva Indonesia 2008-2010 (Telp. 081272861959)
[2] Untuk Sekolah Menengah Kejuruan
Kehutanan Negeri (SMKKN) dibawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
sebanyak 5 SMKKN (sumber: http://bp2sdm.menlhk.go.id/web/#)
[3] Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Ikatan Mahasiswa Kehutanan Indonesia (Sylva Indonesia) hasil Konferensi
Nasional Luar Biasa Sylva Indonesia (KNLBSI) XVIII di Universitas Haluuleo,
Kendari 2018.
[4] Sumber: https://www.forestdigest.com/detail/355/10-etika-rimbawan, dan Webinar Refleksi Rimbawan 20 Juni
2020 yang diselenggarakan oleh Ikasylva Unila.
[5] Kelemahan Rimbawan: Pelajara dari Enam
Negara dikutip dalam Buku Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan (2006) Himpunan
Alumni Institut Pertanian Bogor.
[7] Surat edaran Menteri Kehutanan Nomor:
SE.01/Menhut-II/2007 tentang Sembilan Nilai Dasar Rimbawan