Faridh Almuhayat Uhib
H. S.Hut., M.Si
Pada berbagai bentang alam di muka bumi terdapat berbagai
macam formasi hutan berdasarkan tempat tumbuhnya, antara lain hutan hujan
tropika, hutan musim, hutan kerangas, hutan gambut, hutan rawa, hutan pantai
dan hutan mangrove. Mangrove merupakan tanaman yang memiliki peranan penting
dalam menjaga kestabilan ekosistem laut terutama di wilayah pesisir laut.
Kata mangrove merupakan kombinasi antara Bahasa Portugis
mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove
digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut
maupun untuk individu spesies yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam
bahasa Protugis, mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies
tumbuhan dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kustanti, 2011).
Mangrove adalah hutan pantai yang ditemukan di muara yang
terlindung dan di sepanjang tepi sungai dan laguna di daerah tropis dan
subtropis. Istilah mangrove menggambarkan keduanya ekosistem dan famili
tumbuhan yang telah beradaptasi khusus untuk hidup di lingkungan pasang surut (FAO, 2007).
Menurut statistik global tercatat luas total mangrove seluruh dunia yaitu 135.882 km2 dan Asia merupakan
benua yang memiliki luas mangrove terluas disusul dengan Amerika Utara dan
Amerika Tengah, dan Afrika. Lima negara (Indonesia, Australia, Brasil, Meksiko
dan Nigeria) bersama-sama menyumbang 42 persen dari total luas global, dan 64
persen dari total luas mangrove ditemukan hanya di sepuluh negara (Giri et
al., 2011). Indonesia merupakan negara yang menyumbang hampir 22,6% luas
mangrove seluruh dunia.
Luas hutan mangrove di Indonesia seluas pada tahun 2013
hingga tahun 2019 mencapai 3.311.242 ha yang tersebar di pulau Sumatera seluas
666.438 ha, Jawa seluas 35.910 ha, Kalimantan seluas 735.886 ha, Bali-Nusa
Tenggara seluas 34.834 ha, Sulawesi seluas 118.891 ha, Maluku seluas 221.560
ha, dan Papua seluas 1.497.723 ha. Wilayah yang paling luas yaitu di Papua yang
hampir menguasai 50% luas mangrove secara nasional. Pada tahun 2021 luas hutan
mangrove di Indonesia seluas 3.364.081 ha atau meningkat sebesar 52.839 ha
(Gambar 1).
Gambar 1. Luas Hutan Mangrove Indonesia (Sumber: Direktorat PDASRH, KLHK.
2022)
Manfaat Mangrove
Komunitas mangrove yang tumbuh di wilayah pesisir laut telah
terbukti memberikan banyak manfaat ekologi maupun manfaat ekonomi bagi masyarakat
bahkan manfaat bagi kedaulatan negara. Manfaat secara ekologi, ekosistem
mangrove berfungsi sebagai penjaga keberlangsungan habitat laut yaitu menjaga
mata rantai makanan/sumber makanan spesies yang ada, dan menjadi tempat hidup
biota laut. Dari aspek ekonomi, mangrove dapat menunjang perekonomian
masyarakat yang merupakan bagian dari satu kesatuan ekosistem wilayah pesisir
melalui pemanfaatan bahan kayu, tempat pariwisata, penghasil obat-obatan dan
makanan olahan.
Dari aspek fisik, ekosistem mangrove mampu menahan abrasi
air laut, menurunkan kandungan CO2 (4-5 kali lipat menyerap karbon-Blue
Carbon), menahan badai dan angin yang bermuatan garam, penambat bahan
penceramar di perairan pantai. Di sisi lain mangrove dapat berperan dalam
pengendalian perubahan iklim. Berbagai studi memperkirakan penyerapan karbon
dari ekosistem mangrove sebesar ± 10 – 31% emisi tahunan dari sektor
penggunaan lahan. Penelitian lain juga memperkirakan cadangan karbon mangrove
di Indonesia ± 891,70 ton C/ha dengan total cadangan karbon mangrove
nasional ±
2,89 Tt C. Potensi penyerapan karbon mangrove di Indonesia ±
52,85 ton CO2/ha/tahun, sehingga total potensi penyerapan karbon mangrove
nasional ±
167 Mt CO2/tahun sampai 170,18 Mt CO2/tahun.
Dari sisi geopolitik, mangrove berperan penting juga dalam menjaga
kedaulatan politik Indonesia berupa keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Wilayah
hutan mangrove berada di pesisir-pesisir yang merupakan titik pangkal terluar
untuk batas Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinental
wilayah Indonesia dengan batas wilayah laut negara lain disekitarnya merupakan
garda terdepan kedaulatan negara.
Pengelolaan Mangrove di Indonesia dan Tantangan
Permasalahan
Pengelolaan mangrove di Indonesia dari masa ke masa memiliki
karakteristik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi. Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo memberikan mandat dalam merehabilitasi mangrove
seluas 600.000 ha dalam kurun waktu tahun 2021 – 2024 dengan memfokuskan di sembilan
provinsi prioritas yaitu Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi
Kepulauan Riau, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat,
Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat.
Terdapat pesan penting Presiden terkait rehabilitasi
mangrove yang merupakan “lampu hijau” bagi
pengelolaan mangrove dimasa yang akan datang, baik dari aspek perencanaan, pemanfaatan,
pemeliharaan, pengendalian, pengawasan, dan penegakan hukum. Rehabilitasi
merupakan salah satu langkah dalam upaya perbaikan dalam pengelolaan mangrove.
Pada prinsipnya, pengelolaan mangrove yang sukses tidak telepas dari dari
pengaturan wilayah atau tata ruang yang mendukung kelestarian lingkungan hidup
wilayah pesisir, maka dibutuhkan berbagai instrumen yang melandasinya.
Sebagai landasan pengelolaan hutan mangrove yang lestari, terdapat
beberapa peraturan perundang-undanganyang dijabarkan dalam kerja-kerja yang
dilakukan pemerintah bersama stakeholder terkait untuk mencapai kondisi
lingkungan hidup yang lestari dan mencegah kerusakan ekosistem mangrove secara
sistematis. Beberapa perundangan
tersebut antara lain Undang-Undang (UU) Dasar 1945, UU Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 6
Tahun 1994 tentang Konvensi Perubahan Iklim, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati, UU
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja, Perpres Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional
Hingga saat ini, berbagai permasalahan dan tantangan
pengelolaan mangrove masih sering mengemuka. Permasalah dan tantangan yang dimaksud antara lain terkait dengan
konversi lahan, pencemaran limbah domestrik dan limbah berbahaya lainnya, illegal
logging dan eksploitasi sumber daya mangrove secara berlebihan, konsep tata
ruang wilayah yang belum mengakomodir perlindungan kawasan mangrove, rendahnya
tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove, dan penegakan hukum
yang belum optimal. Selain itu pengelolaan
database mangrove juga belum terorganisir secara optimal.
Kebutuhan Instrumen Standardisasi dalam Pengelolaan
Mangrove
Menjawab permasalahan pengelolaan mangrove di Indonesia
dibutuhkan strategi dalam upaya mencegah kerusakan, melestarikan, dan menambah
jumlah luasan hutan mangrove melalui identifikasi kebutuhan standar instumen
pengelolaan hutan mangrove antara lain:
Pertama, Instrumen perencanaan tingkat nasional. Rencana
Strategis (Renstra) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam program
pengelolaan hutan berkelanjutan telah memiliki target yaitu menurunnya laju
penyusutan hutan. Lebih spesifik dijabarkan dalam sasaran kinerja terkait ekosistem mangrove yaitu
meningkatnya kualitas ekosistem mangrove. Maka hal tersebut menjadi bagian
kerja dari seluruh elemen masyarakat termasuk K/L serta stakeholder terkait
lainnya untuk dapat andil dalam peningkatan kualitas ekosistem mangrove.
Peningkatan kualitas akan beriringan dengan semakin
terkelola ekosistem mangrove, maka perlu standar pengelolaan mangrove sejak tahap perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, evaluasi, sampai
pelaporan pelaksanaan program. Dalam hal perencanaan, mangrove telah
mendapatkan “fokus” kerjanya melalui target lima tahunan. Untuk mendorong
instrumen perencaan dapat terimplementasi maka terdapat direktorat yang
menanganinya dan badan khusus yang membidangi untuk mencapai target tersebut.
Hingga saat ini, penting untuk diberikan perhatian khusus
terkait ekosistem mangrove agar masuk dalam penyusunan kebijakan dan
pengambilan keputusan strategis di semua tingkatan (pusat hingga daerah) dalam
bentuk standar dan prosedur pengelolaan eksosistem mangrove yang berkelanjutan
sesuai dengan karakteristik wilayah di Indonesia.
Kedua, instrumen target kelola ekosistem mangrove. Sebagai
landasan pencapaian target pengelolaan ekosistem mangrove pada tahun 2045 yaitu
pemulihan mangrove seluas 3,49 juta ha, salah
satu instrumen target yang digunakan yaitu Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian (Permenko) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi,
Program, dan Indikator Kinerja, Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional yang
merupakan penjabaran dari Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang
Strategi Nasional pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Sebagai intrumen pencapaian target di lapangan diperkuat dengan
keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land
Use (FOLU) Net Sink 2030. Dalam peraturan tersebut juga telah diatur
upaya dan langkah yang harus dilakukan dalam rangka mencapai target di tahun
2030. Implementasi FOLU Net Sink 2030 akan menegaskan kedudukan dan
martabat Indonesia sebagai party terhadap UNFCCC dan pemenuhan komitmen
Indonesia terhadap Paris Agreement sebagaimana amanat Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2016 . Pengelolaan ekosistem mangrove dan gambut yang
berkelanjutan menjadi sangat penting dalam upaya menurunkan emisi gas rumah
kaca disebabkan ekosistem mangrove dan gambut memiliki kemampuan menyerap emisi
karbon lebih besar dibanding ekosistem hutan daratan (KLHK, 2022).
Ketiga, instrumen dukungan teknis. Hal-hal terkait
dengan teknis seperti pembibitan, penanaman, pelaksanaan monitoring, dapat
menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah tersedia, atau dengan
peraturan terkait. Sebagai contoh dalam penanganan benih, saat ini telah ada SNI
7513:2008 tentang Penanganan benih dan bibit bakau (mangrove).
Contoh teknis lain yaitu dukungan standar penanaman dengan
mengikuti formasi alam dan menggunakan bibit yang dapat beradaptasi dengan
lingkungan habitat pesisir. Seperti bagian terdepan pantai yang berbatasan
langsung dengan laut lepas sebaiknya ditanam dengan jenis-jenis Avicennia sp
dan Sonneratia sp, kemudian di belakangnya dengan Rhizophora sp
dan Bruguiera sp. Pada bagian peralihan dengan ekosistem rawa ataupun
persawahan menggunakan jenis Nipa (Nypa fruticans) hingga membentuk jalur
hijau yang dapat menjaga fungsi ekologis ekosistem mangrove. Struktur zonasi seperti
pada Gambar 2 (Karmiasih, E. 2007).
Gambar 2. Struktur zonasi mangrove dari tepi laut hingga
daratan
Instrumen teknis lain yang dibutuhkan yaitu penyediaan informasi
geospasial (IG) untuk mendukung database mangrove. Terdapat SNI 7717-2020
tentang Spesifikasi IG Mangrove skala 1:25.000 dan 1:50.000. Di dalam SNI tersebut berisi dukungan dalam pengadaan
peta mangrove nasional yang dimutakhirkan secara berkala. Kelas tutupan tajuk dalam
SNI tersebut terdiri dari 3 kelas, yaitu: 1) Mangrove lebat (70 - 90%), 2)
Mangrove sedang (30 - 70%), dan 3) Mangrove jarang (0 - 30%). Pengelompokkan
potensi habitat mangrove terbagi kedalam 5 (lima) kelas, yaitu area terabrasi,
mangrove terabrasi, lahan terbuka, tambak, dan tanah timbul (akresi).
Keempat, instrumen penguatan paradigma pengelolaan
ekosistem mangrove secara terpadu dan rasional. Instrumen penguatan paradigama pengelolaan
mangrove tentu harus disusun dengan melihat spesifikasi dari ekosistem mangrove
di berbagai wilayah di Indonesia. Hal tersebut harus dilakukan secara terpadu
dan rasional berdasarkan kebutuhan pengelolaan yang akan dilakukan sehingga
dapat menjadi “guidance”
dan kontrol atas aktivitas pengelolaan yang dilakukan.
Kusmana (2009) menjabarkan secara terperinci bahwa
paradigma pengelolaan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya mangrove harus
berdasarkan pada basis ekologis atau filosofi konservasi, langkah pertama yang harus ditempuh
adalah menjaga mangrove dari kerusakan. Dalam hal ini yang sangat penting
adalah upaya mengoptimasikan konservasi sumberdaya mangrove yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup (barang dan jasa) masyarakat di satu pihak dan menjamin
keanekaragaman hayatinya di pihak lain. Langkah kedua yaitu mangrove dikelola
berdasarkan pada prinsip kelestarian dimana mangrove merupakan sumberdaya yang
dapat diperbaharui (renewable resources). langkah ini lebih menekankan bahwa
sumberdaya mangrove harus dapat dipanen secara berkelanjutan, sementara
ekosistem mangrove itu sendiri dapat dipertahankan secara alami seperti semula.
Langkah ketiga yaitu preservasi sebagian areal mangrove yang betul-betul tidak
terganggu (pristine mangrove forest) yang dalam hal ini mangrove menjadi
biodiversity bank atau biological resources.
Berbagai instrumen diatas penting dalam pengelolaan
ekosistem mangrove berkelanjutan di Indonesia. Diharapkan dapat dihasilkan
berbagai standar pendukung pengelolaan mangrove berdasarkan karakteristik
wilayah, sehingga standar pengelolaan dapat tepat guna dan mudah untuk
diterapkan sesuai pengaturan wilayah atau tata ruang yang terpadu dengan
prinsip kelestarian lingkungan.
Foto: Rehabilitasi Mangrove di Percut, Deli Serdang,
Sumatera Utara tahun 2014 (Dokumen Pribadi)
DAFTAR PUSTAKA
Food Agriculture Organisation. 2007. The Worls’s
Mangrove 1985.Rome. Italy
Giri, C.; Ochieng, E.; Tieszen, L.L.; Zhu, Z.; Singh, A.;
Loveland, T.; Masek, J.; Duke, N. 2011. Status and distribution of mangrove
forests of the world using earth observation satellite data. Glob. Ecol.
Biogeogr. Page, 20, 154–159. [Akses: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x
dan https://www.fao.org/forestry/mangrove/3643/en/
]
Karmiasih, E. 2007. Pemanfaatan Ekosistem Mangrove bagi
Minimasi Dampak Bencana di Wilayah Pesisir. JMHT Vol. XIII (3): 182-187. Bogor:
Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2022. Rencana
Operasional indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Jakarta.
Kusmana, Cecep. 2009. Pengelolaan Sistem Mangove Terpadu.
Makalah Workshop Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jawa Barat. Jatinangor,
18 Agustus 2009
Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB
Press. Bogor