Jumat, 01 Juli 2011

DIBALIK KONFLIK GAJAH WAY KAMBAS

Oleh Faridh Al-Muhayat Uhib H., S.Hut. (Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Daerah Lampung)


Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan salah satu dari 2 taman nasional di Lampung yang sampai saat ini keberadaannya masih tetap dipertahankan di tengah-tengah himpitan kebutuhan masyarakat akan sandang, pangan, dan papan. TNWK selain memiliki fungsi pelestarian alam (flora dan fauna yang endemik), juga berbagai kelebihan antara lain sebagai pohon uang ketika dapat dihitung berapa jumlah karbon yang dapat diserap oleh pepohonan yang berada di taman nasional tersebut.
    MASYARAKAT sekitar hutan yang sering mengatasnamakan ’’adat’’ sangatlah memiliki kekuatan strategis untuk melakukan berbagai upaya pembebasan akan hak-hak mereka yang anggap ’’dicolong’’ oleh pemerintah. Baik tanah, maupun kekayaan alam. Klaim atas nama adat memang tidak dapat diberikan sebuah legitimasi ’’salah’’ karena masyarakat adat diakui dalam UUD 1945 dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan baik keberadaan maupun hak-haknya sebagai bagian dari satu kesatuan Republik Indonesia yang harus dilindungi.
    Di satu sisi, pemerintah yang juga mengklaim kawasan itu merupakan hutan negara yang telah ditetapkan sebagai taman nasional dengan berbagai administrasi lengkap dan syah dari ’’penguasa’’. Mengapa disebut penguasa? Karena, kalau didasarkan pada UU, penguasa adalah ’’negara’’ yang memiliki kewenangan atas kekayaan sumber daya alam. Maka dilihat dari sisi kepentingan antara si A dan B adalah salah satu contoh tarik-menarik kepentingan yang sangat mengakibatkan beberapa masalah baru yang kemudian menghasilkan si C serta seterusnya.
    Pertanyaannya, apakah konflik tersebut dalam bingkai ’’negara berbudaya dan hukum’’ ini dapat diselesaikan dengan solusi-solusi yang bijak?
    Ketika kita membaca berbagai berita, baik di media lokal maupun nasional, pasti tahu apa yang dikeluarkan oleh media. Yaitu perambahan di taman nasional meningkat, konflik gajah di areal perkebunan masyarakat hingga menyebabkan gagal panen, perburuan satwa oleh pemburu masih berjalan, dan lain-lain. Artinya ada yang dirugikan dalam permasalahan tersebut dan seolah-olah masyarakatlah yang dirugikan karena ’’dapat dihitung’’.
    Tetapi apakah sisa hutan tersebut merasa dirugikan? Sebab ’’tidak dapat menghitung’’, hutan tidak pernah rugi. Kalau hutan dapat berhitung, pasti dapat protes berapa banyak yang harus dikembalikan untuk membayar kerugian. Bisa jadi, ia akan lebih kejam dari manusia karena hukum rimbalah yang akan menjawab. Salah satu harian di Lampung, edisi Selasa, 12 Mei 2008, mengabarkan, masyarakat adat melakukan demonstrasi di Balai Taman Nasional Way Kambas (BTNWK) sekitar hutan tidak ingin angkat kaki dari lahan garapannya di TNWK karena mata pencarian mereka di tempat tersebut. Sedangkan dari pihak Dephut sudah memastikan bahwa kawasan yang mereka rambah adalah taman nasional, maka masyarakat harus dikeluarkan. Dari sumber berita tersebut disebutkan luasan hutan yang dirambah 6.000 hektare.
    Dari 125.000 ha yang terbagi-bagi dalam beberapa zona dari penyangga, pemanfaatan, hingga inti jika dihitung rata-rata, kawasan yang masih tersisa adalah 19.000 ha. Pertanyaannya, apakah luasan hutan kita yang dijuluki sebagai the world of heritage Sumatera semakin bertambah atau kian berkurang? Padahal ketika meninjau beberapa kejadian alam yang kini terjadi kita sadar bahwa hutan harus baik kondisinya. Maka, jawabannya adalah semakin berkurang. Sebuah misteri yang harus dipecahkan bersama tidak cukup hanya dengan balai TNWK, tetapi juga multipihak untuk dapat memecahkan misteri kekayaan alam. Khususnya TNWK.
    Informasi adalah ilmu dan pengetahuan baru bagi personal yang mengetahui akan pentingnya informasi. Sumber informasi dapat melalui beberapa cara, yaitu verbal dan nonverbal. Verbal, pihak TNWK harus melalui berbagai upaya untuk memberikan pemahaman hingga perubahan pola pikir masyarakat dengan diawali dari para ’’abdi pemerintah’’ sebelum menginginkan perubahan di tataran masyarakat. Masyarakat bukanlah golongan orang-orang yang bodoh kemudian kita ’’gurui’’ agar sesuai dengan keinginan kita tetapi masyarakat dan ’’abdi negara’’ sama-sama memiliki tujuan, impian bersama atas keberadaan TNWK tersebut. Nonverbal, dilakukan dengan intensif dan menggunakan berbagai media yang efektif yang diberikan kepada masyarakat, baik berupa buletin, pamflet, leaflet, spanduk, majalah, maupun film. Namun, dua cara tersebut tidak akan pernah efektif ketika sistem yang dibuat adalah sistem top down atau buttom up. Namun, sistemnya harus seimbang dan sinergi agar tidak ada ’’kepincangan’’ dalam menggapai tujuan dan impian bersama aras keberadaan TNWK.
    Perbaikan dengan program sehingga melahirkan indikator keberhasilan yaitu hutan semakin lestari dan masyarakat semakin sejahtera. Tercapainya perbaikan harus diimbangi dengan semangat dan gairah yang besar untuk hidup dan menghidupi dari manusia dan alam agar kedua-duanya dapat hidup secara serasi dan seimbang.
    Ekologi, ekonomi, dan sosial adalah satu kesatuan yang harus dipenuhi agar sesuai dengan tujuannya. Yaitu keberadaan TNWK masyarakat sejahtera dan hutan di taman nasional tetap lestari. Bagaimana caranya? Dengan optimalisasi fungsi sumber daya hutan di TNWK dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial. Sisi ekologi karena luasannya mulai dari pantai hingga daratan, bagian terkecil dari fungsi ekologi yang dapat dirasakan yaitu jasa akan lingkungan. Baik berupa air bersih, udara segar, terhindar tanah longsor, mencegah intrusi air laut. Dari fungsi ekologi dapat dioptimalkan dengan menambahkan dan melakukan penghitungan untuk mewujudkan fungsi ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. Dalam meningkatkan kesejahteraan secara ekonomi, masyarakat bisa melakukan pemanfaatan juga atas sumber daya hutan. Mereka harus memberikan sebuah kontribusi sebagai timbal balik atas pemanfaat hutan oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat dapat melangsungkan hidupnya tanpa merusak alam hutan yang sesuai dengan tujuan serta impian bersama. Secara sosial, hutan masyarakat menjadi interaksi yang seimbang dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang harmoni dan rukun tanpa ada kesenjangan antara yang satu dengan lainnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar