Selasa, 09 Mei 2017

MAKALAH OPSI SVLK UNTUK HUTAN ADAT

 

MAKALAH OPSI SVLK UNTUK HUTAN ADAT[1]

Dr. M. Zahrul Muttaqin[2], Faridh Almuhayat Uhib H., S.Hut., M.Si[3]

 

I.          KEBIJAKAN SVLK PADA HUTAN ADAT

Pasca putusan MK No. 35 Tahun 2012 yang menetapkan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Putusan MK tersebut merupakan koreksi penafsiran terhadap pasal-pasal dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan bahwa hutan adat termasuk hutan negara. UU No. 41 tahun 1999 mengategorikan status hutan dalam dua kelompok, yaitu hutan negara dan hutan hak. Demikian pula dalam rumusan pertimbangannya, MK menyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak. Karena hutan adat dinyatakan sebagai hutan bukan negara maka hutan ini dimasukkan kedalam kategori hutan hak. Hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum, hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Ketiga statuts hutan tersebut (negara, hutan adat, dan hutan perseorangan/badan hukum) pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara. Hutan adat berbeda dengan tanah adat. Meskipun hutan adat bukan hutan negara, ada beberapa kemungkinan lokasinnya, yaitu:

1.       Berada pada lahan hak/milik komunal (adat)

2.       Berada pada tanah negara

3.       Sebagian di lahan hak/milik komunal dan sebagai di tanah negara yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat hukum adat (hutan adat)

Sebelum ada putusan MK No. 35 tahun 2012, produksi hasil hutan dari hutan adat belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan berkenaan dengan implementasi SVLK. Peraturan perundang-undangan yang menyinggung produksi hasil hutan dari hutan adat lebih mengatur tentang penggunaannya untuk konsumsi sendiri atau kompensasi yang diberikan oleh perusahaan kehutanan (pemegang IUPHHK) kepada masyarakat adat yang bersangkutan.

Dalam permenhut No. 28/2009 maupun penggantinya yaitu PermenLHK No. 43/2014 tentang standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu, belum mencakup hutan adat dan masih sebatas di hutan rakyat/hutan di lahan milik, hutan desa, dan HTHR. Disisi lain permenhut No. 30/2012 tentang penatausahaan hasil hutan yang berasal dari htuan hak menyatakan lebih tegas bahwa hutan yang berada di lahan milik dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan Letter C atau Girik, Hak Guna Usaha, hak pakai, atau dokumen penguasaan/pemilikan lainnya yang diakui BPN[4]. Maka hutan adat belum termasuk didaamnya.

PermenLHK No. 21/2015 tentang penatausahaan hasil hutan yang berasal daru hutan hak dan Begitu juga Permenhut No. 43/2014 tentang penilian kinerja PHPL dan verifikasi legalitas kayu juga masih belum jelas/samar dalam menjelaskan batasan tentang hutan hak. Permen tersebut biasanya masih mengacu pada PP No. 6/2007 dan UU No. 41/1999, dan BELUM MEMPERHATIKAN Putusan MK. No. 35.2012.

 

II.        IMPLEMENTASI SVLK DI HUTAN ADAT

A.      Landasan Hukum SVLK

1.       PermenLHK No. 32 tahun 2015 tentang Hutan Hak

2.       PermenLHK No. 30 tahun 2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan, Atau Pada Hutan Hak

3.       PermenLHK No. 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial

4.       Perdirjen PHPL No. 14 tahun 2016 tentang  Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja PHPL dan VLK

Landasan tersebut masih belum mencakup hutan adat dalam pasal demi pasal. Maka putusan MK dari tahun 2012 telah ditetapkan belum banyak peraturan dan kebijakan yang mencantumkan bagaimana masyarakat hukum adat menjadi bagian dari hutan hak yang secara eksplisit tertuliskan.

 

B.      Implementasi SVLK

Dalam implementasi SVLK, institute KARSA (2010) dalam Laporan Stocktaking Assessment SVLK Dalam Konteks Otonomi Khusus Provinsi Papua menemukan berbagai tantangan dalam pelaksanaan SVLK yang dikelompokkan menjadi:

a.       Terkait pada pemenuhan syarat penting, yang meliputi kebijakan, tata kelembagaan, kriteria dan indikator sampai kepada standard operational procedure (SOP) yang terkandung di dalam sistem;

b.      Terkait pada pemenuhan syarat cukup, meliputi kewenangan (authority), sosialisasi, ketrampilan individu (personal skill), independen (independency), keterbukaan alur informasi dan pembiayaan. 

Keseluruhan tantangan tersebut jelas muncul akibat sejumlah ketidakjelasan pengaturan dan kesimpangsiuran pemahaman dari berbagai pihak terhadap SVLK. Dampaknya sebagian aturan mengalami kebuntuan sehingga implementasi SVLK menjadi tidak optimal. Gap yang terjadi jika SVLK di lakukan oleh pemegang IUPHHK swasta yaitu didukung oleh kemampuan finansial dan SDM yang dapat mempercepat proses SVLK. Sedangkan untuk komunal memerlukan dukungan kolektif untuk mendapatkan legalitas dari IUPHHK di wilayah komunal.

Jika mengacu pada PermenLHK No. 95/2014 dan Perdirjen BUK No. 1/2015, hutan adat dikategorikan sebagai bentuk hutan hak sehingga implementasinya dapat menggunakan SVLK pada hutan hak. Berdasarkan kriteria yang digunakan khususnya K1.1 (keabsahan hak milik dalam hubungannya dengan areal, kayu, dan perdagangannya), dan K.3.1 pemilik hutan hak telah memiliki dokumen lingkungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (jika dipersyaratkan oleh ketentuan). Kelemahannya di hutan adat yaitu bukti-bukti keabsahan  hak milik seperti SHM, Letter C, Girik, Letter B, atau dokumen lainnya yang di akui BPN.

Disisi lain hambatan yang juga sangat mendasar yaitu kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan dan administrasi kehutanan serta rendahnya kapasistas SDM aparat pemerintah dan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

 

III.      PERAN INDUSTRI

Hal yang penting juga perlu diperhatikan yaitu peran industri kehutanan yang dapat menjadikan bergeliatnya usaha yang legal. Dorongan untuk menumbuhkan IKM di daerah harus dilakukan untuk mempertegas kembali kebijakan pasar kayu legal dan melarang peredaran kayu ilegal di seluruh Indonesia.

Peran pemerintah yang terkait dengan SVLK di hutan adat Papua Barat yaitu segera melakukan fasilitasi masyarakat dalam mendapatkan SVLK terutama dalam hal pembiayaan dan proses pendampingan, membantu penguatan, menyederhanakan prosedur perizinan, dan melakukan pengawasan dan pemantauan secara intensif terhadap kerja asesor.

 



[1] Disampaikan dalam Diskusi Terbatas Opsi SVLK untuk Hutan Adat oleh INOBU pada Selasa 9 Mei 2017

[2] Peneliti di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kebijakan  dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) KLHK

[3] Asisten Peneliti di P3SEKPI /ACIAR Project 2014-2017

[4] Hak atas hutan adat, tanah adat atau tanah ulayat belum mendapatkan pengakuan dari BPN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar