Jumat, 02 Maret 2012

DILEMA PROGRAM HUTAN TANAMAN RAKYAT: OTOKRITIK TERHADAP PELAKSANAAN HTR

Oleh Faridh Almuhayat Uhib H., S.Hut. 
(Direktur Eksekutif LSM Garuda Sylva/GARSY Lampung 2010-2012, Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Lampung 2010-2014, Wakil Sekretaris DPD KNPI Provinsi Lampung 2010-2013)

Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) saat ini menjadi delimatis bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap peluang atas nama rakyat. Mengapa hal tersebut menjadi dilematis?

MENGINGAT, program tersebut rentan dengan kepentingan para oknum yang mencoba menerobos peraturan-peraturan. Di mana telah ditentukan pemerintah untuk kepentingan pribadi yang sebenarnya program tersebut untuk mendukung rakyat. Tujuannya agar taraf hidup mereka lebih sejahtera.
Saat ini Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sedang gencar-gencarnya dengan program kehutanan yang lebih prorakyat. Mengingat, program dengan sistem pengusahaan hutan yang dilakukan perusahaan lebih banyak meninggalkan masalah atau konflik di masyarakat.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2007 Jo PP No. 3/2008 yang disebut HTR adalah hutan tanaman yang dibangun oleh kelompok masyarakat dalam rangka meningkatkan potensi serta kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur yang menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Ketentuan umum pada PP No. 6/2007 di atas memberikan batasan yang tegas tentang HTR. Sehingga, khalayak bisa memahami perbedaan antara HTR dengan hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan rakyat.
HTR hanya dikembangkan pada areal kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak. HKm (dalam PP 6/2007) memungkinkan dikembangkan di hutan konservasi (kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional), kawasan hutan produksi, dan hutan lindung. Sedangkan hutan rakyat jelas-jelas dibangun di luar kawasan hutan negara atau berada pada hutan hak (hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah).
Di Indonesia, luas HTR yang dicadangkan Kemenhut seluas ± 480.303 hektare (ha). Sedangkan untuk Provinsi Lampung memiliki kawasan hutan yang dicadangkan Kemenhut seluas 24.835 ha.
Namun, dalam pelaksanaan HTR dapat dikatakan ’’susah-susah mudah’’. Artinya secara teori mudah untuk dipahami tetapi secara implementasi sangat sulit. Mudahnya yaitu masyarakat sebagai pelaku utama, sehingga mandatory perencanaan dan pelaksanaannya dengan sistem kepercayaan antarmasyarakat yang saling asah, asih, dan asuh. Sehingga, tujuan utama untuk menyejahterakan masyarakat dapat tercapai.
Dikatakan sulit yaitu kondisi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih berbelit-belit dan banyak memberikan angin segar kepada orang-orang yang hanya mengambil keuntungan untuk diri sendiri. Makanya hal inilah yang menjadi dilema program HTR.
Kebijakan HTR yang dikeluarkan pemerintah sangat berbelit-belit dan susah untuk dipahami masyarakat petani. Secara logika, peraturan-peraturan yang dibuat perlu mendapatkan pencerahan dari pemerintah terutama Kemenhut dalam hal ini Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) dan Dishut kabupaten/provinsi kepada masyarakat.
Masih jauh dari kemungkinan program HTR akan sukses jika masyarakat tidak mengetahui perkembangan HTR. Kebijakan-kebijakan yang ada untuk menjalankan HTR. Lalu bagaimana prosedur pelaksanaan HTR. Jika pemerintah memedulikan rakyat kecil, seharusnya tidak memberikan angin kepada oknum-oknum untuk memasuki wilayah HTR.
Kewajiban pemerintah adalah menyediakan sekuat tenaga baik moril, materiil untuk menjalankan program HTR dengan tidak tergantung kepada para pemodal. Inilah yang disebut dengan kebijakan yang masih berpihak kepada para pemodal (sistem feodal). Yaitu struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra.
Padahal, jika masyarakat bersatu untuk membangun HTR di wilayahnya, tidak menutup kemungkinan semua itu salah satu solusi untuk menyukseskan program Indonesia menanam dan go green. Selain itu, juga dapat mendukung tercapainya millennium development goals (MDGs) yaitu memberantas kemiskinan dan meningkatkan kelestarian lingkungan.
Jika hal tersebut dilakukan, tidaklah susah untuk menjalankan program HTR. Sebab, yang menjadi tanggung jawab atas pemahaman di tingkatan masyarakat adalah pemerintah pusat maupun daerah.
Skenario HTR
Skenario pertama, faktor penting dalam kemiskinan di Indonesia dan sulitnya mengentaskan kemiskinan adalah faktor akses terhadap modal. Bagi masyarakat sekitar hutan, akses terhadap kapital sangat sulit didapat. Padahal untuk menggenjot ekonomi masyarakat, harus dipermudah serta didekatkan terhadap akses modal.
Hutan-hutan di Indonesia hampir sebagian besar di bawah pengelolaan pemerintah (Departemen Kehutanan). Maka perlu dilakukan perlakuan untuk dapat mengakses terhadap lahan hutan serta akses terhadap modal. Dengan demikian, tujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dapat tercapai.
Persoalan land reform sempat mengemuka dalam kaitan tersebut. Namun demikian, Indonesia mempunyai sejarah buruk berkaitan dengan land reform. Karenanya usulan yang mengemuka adalah akses reform terhadap lahan-lahan hutan.
Dalam kaitan itu, SBY selaku presiden RI memanggil tiga pejabat yang terkait untuk membicarakan skenario akses terhadap lahan. Yaitu M.S. Kaban (Menteri Kehutanan), Anton Priantono (Menteri Pertanian), serta Djoyo Winoto (Badan Pertanahan Nasional). Land reform sangat tidak mungkin dijalankan di Indonesia. Sebab akan menimbulkan gejolak politik yang luar biasa. Oleh karena itu, disepakati lah program tentang akses reform yang dilimpahkan kepada Badan Pertanahan Nasional dan Departemen Kehutanan.
Agar masyarakat mempunyai akses terhadap lahan-lahan hutan dan dapat berkelanjutan, rakyat akan diberikan sebuah konsesi. Logikanya sangat sederhana. Jika pemodal besar memperoleh konsesi sampai puluhan bahkan 100 tahun, rakyat juga bisa memperoleh konsesi serupa dalam Permenhut konsesi HTR 60 tahun.
Kedua, agar lahan-lahan yang telah diberikan kepada rakyat dapat produktif, maka dibuatlah skema untuk pengucuran kreditnya. Di sinilah muncul HTR merupakan pola untuk mendekatkan rakyat ke sumber-sumber kapital. Tujuannya agar roda ekonomi masyarakat yang selama ini jauh terhadap akses modal dapat berjalan dengan lancar.
Alasan di atas itu menjadi penting mengapa HTR terdapat tiga skema pembangunan, yaitu mandiri, kemitraan, serta developer?
Dari uraian di atas, kita dapat memahami secara kontekstual bahwa delima program HTR sebenarnya sangat kompleks. Namun, perlu menyatukan kembali pemahaman visi dan misi bersama-sama sehingga HTR menjadi primadona untuk masyarakat Indonesia yang berhubungan erat dengan wilayah hutan produksi.
Tujuan mulia menyejahterakan masyarakat sekitar hutan benar-benar tercapai dan bukan hanya slogan-slogan yang selama ini diteriakkan pemerintah. Perlu diingat, kebijakan pembangunan HTR terkait dengan kebijakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor). Lalu menciptakan lapangan kerja baru (projob) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antarpelaku ekonomi (pro-growth). Lampung yang memiliki hutan produksi dan berbatasan langsung dengan taman nasional juga harus menjadi buffer zone untuk kelestarian hutan konservasi. Mengingat, para perambah yang diturunkan dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) beberapa waktu yang lalu dapat diberdayakan untuk mengelola kawasan hutan produksi dengan ketentuan yang telah disepakati bersama melalui kelompok tani. (*)

Tulisan ini diterbtkan di koran Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar