Selasa, 13 Maret 2012

SINERGI PELESTARIAN HUTAN*

Faridh Almuhayat Uhib
Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia Lampung

HUTAN di Indonesia mengalami kehancuran cukup parah. Kerusakan hutan di negeri ini rata-rata sekitar dua juta ha per tahun.
Penyebabnya sangat beragam, mulai dari kebakaran, perladangan berpindah, perambahan, atau pembukaan hutan untuk perkebunan dan pertanian. Tak heran Indonesia sering dilanda banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Isu yang menarik saat ini adalah isu pemanasan global dan perdagangan karbon. Semua orang berlomba-lomba mengurangi pemanasan global melalui program reduction emision from degradation and deforestrasion (REDD), bahkan sudah sampai pada REDD+. Tetapi hampir semua lupa siapa sebenarnya yang paling berperan dalam pelestarian hutan. Mereka adalah masyarakat sekitar yang langsung bersentuhan dan dengan hutan.
Potensi Lampung
Berdasar rencana tata guna hutan kesepakatan (RTGHK), luas hutan di Lampung 1.083.749 ha, meliputi hutan lindung (226.100 ha), suaka alam (422.500 ha), hutan produksi tetap (281.029 ha), dan hutan produksi terbatas (44.120 ha). Hutan di Lampung memiliki fungsi dan peranan strategis. Berfungsinya masing-masing kawasan hutan secara optimal sesuai dengan peruntukannya akan menciptakan prakondisi bagi kelangsungan pembangunan di berbagai bidang.
Peluang yang dapat dibaca yaitu "hutan sebagai sumber kehidupan" sesuai dengan banyaknya manfaat yang bisa dipetik dari hasil hutan. Dari hutan kita dapat mengasah spiritual manusia, menghirup oksigen dengan leluasa (jasa lingkungan), sumber air mineral, bahan baku kayu, hasil hutan bukan kayu (buah-buahan, getah, bunga, kayu bakar), pengembangan ilmu pengetahuan, dan pendidikan lingkungan. Jika dikelola dengan benar, hutan dapat menghasilkan profit/hasil bernilai tinggi. Profit di sini bukan berarti uang saja.
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan secara perorangan maupun koperasi sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 29 jelas diterangkan bahwa dalam usaha pemanfaatan kawasan hutan baik kayu, nonkayu maupun jasa lingkungan harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara bekerja sama.
Lampung kaya akan sumber daya alam, termasuk hutan. Perlu partisipasi semua pihak (para pemangku kepentingan) untuk mengelolanya sehingga hasilnya dapat meningkatkan kesejahteraan bersama. Namun, tak mudah membangun iklim partisipatif karena lemahnya jaminan pemerintah, khususnya rasa nyaman para pengelola hutan baik masyarakat, pengusaha, LSM, dan yayasan. Sering terjadi konflik antara sesama pemangku kepentingan, bahkan terjadi tumpah tindih kebijakan.
Dalam kaitan dengan eksistensi sebuah perusahaan, beberapa faktor penyebab konflik, antara lain perusahaan kurang tanggap terhadap masyarakat setempat. Selain itu, pemerintah tidak menyosialisasikan keberadaan perusahaan kepada masyarakat. Hal ekstrem terjadi, yaitu munculnya gerakan perlawanan dari masyarakat kepada perusahaan dan pemerintah untuk menuntut hak-hak mereka. Secara garis besar, konflik terjadi karena tidak adanya komunikasi di antara para pemangku kepentingan.
Konflik berkelanjutan dapat mengubah kondisi lingkungan dan perubahan lingkungan akan berdampak pada proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan. Akibatnya, keseimbangan alam menurun, kehidupan sosial masyarakat menjadi tidak harmonis, dan pada tahap yang parah dapat mengganggu perekonomian daerah.
Tantangan yang dihadapi, yaitu perlunya kesamaan kerangka berpikir untuk menguraikan kembali makna proses pengelolaan hutan serta hak dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan. Dari penjabaran tersebut akan menjadi jelas tugas pokok masing-masing pemangku kepentingan serta hak dan kewajibannya.
Hutan Lestari
Dari berbagai metode, pendekatan secara partisipatif merupakan cara paling efektif untuk mengurangi dampak konflik sumber daya hutan dan lingkungan. Rencana pelestarian hutan dapat juga dilakukan dengan melakukan analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, threats) bersama oleh pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan LSM.
Upaya lain yang dapat dilakukan agar produksi hasil hutan tetap stabil bahkan meningkat tanpa mengabikan kelestarian hutan, antara lain dengan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan secara intensif. Kemudian, peningkatan pengetahuan masyarakat secara berkelanjutan, pembentukan usaha kecil menengah melalui kemandirian masyarakat, serta membentuk koperasi.
Selain itu, mengoptimalkan program pemerintah, antara lain program hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat, hutan kemasyarakatan, dan hutan desa. Beberapa pemangku kepentingan yang berperan dalam peningkatan perekonomian masyarakat sekitar hutan, antara lain pemerintah, DPRD, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dan Dinas Perikanan. Berikutnya, pengusaha swasta, LSM yang peduli pada pelestarian hutan, masyarakat (kelompok tani hutan), serta akademisi.
Masing-masing pemangku kepentingan berperan mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera secara sinergis. Akan tetapi semuanya akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kebijakan mulai dari tingkat desa hingga tingkat pusat. Kebijakan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk perdes, perda, pemen, keppres, kemen, dan UU. Semua regulasi tersebut harus dapat diterapkan dengan menyeimbangkan fungsi utama hutan, yaitu fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi. (n)

*Opini ini dikeluarkan oleh Koran Harian Lampung Post pada 15 Maret 2012.
Selain itu juga dikutip untuk dimasukkan ke Media Online GAGASAN HUKUM : http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/faridh-almuhayat-uhib/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar