Aktivitas sosok Gus Dur
tidak lepas dari berbagai aspek baik aspek agama, sosial, ekonomi, politik, dan
budaya bahkan hingga sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Banyak kalangan yang
menulis sosok beliau dari aspek agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya
hingga menghasilkan beratus-ratus kajian dan buku-buku sampai kegiatan sarasehan/kongkow
yang dilakukan untuk membedah pemikiran beliau. Namun tidak banyak yang
membahas tentang bagaimana upaya dan usaha Gus Dur andil dalam mewujudkan tata
kelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang selama ini ia fikirkan dan
lakukan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam semesta (hablum minal ‘alam).
Gus Dur yang lahir di
Jombang 7 September 1940 menjadi sosok guru bangsa yang terus di dambakan oleh
masyarakat. Dalam dirinya melekat sosok yang humanis (memanusiakan manusia) yang
salah satunya dikarenakan latar belakang dari keluarga pesantren yang selalu
melekat dan menjadi spirit dalam mendasari pemikiran dan tindakan landasan
beliau untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan melalui berbagai cara.
Salah satunya yaitu menyelamatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang juga
tertuang dalam Al-Qur’an yang pada intinya bahwa manusia memiliki
kewajiban-kewajiban yang melekat baik kewajiban kepada Tuhan Sang Pencipta,
kewajiban antar sesama manusia, dan kewajiban kepada alam semesta. Maka dalam
tulisan ini akan mengulas bagaimana pemikiran-pemikiran Gus Dur dalam mweujudkan
tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan
untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam.
Tata
Kelola Sumberdaya Alam yang Salah Jalan
Indonesia dengan gugusan
pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke kaya akan sumber daya alam, sehingga bangsa
ini dituntut untuk terus berbenah diri dalam hal tata kelola sumberdaya alam
baik kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan. Selama ini
sumberdaya alam kita banyak dikeruk oleh pemodal asing dengan berbagai
iming-iming jabatan, gaji, dan berbagai kemudahan untuk menunjang kesejahteran dari
tingkat masyarakat hingga tingkat pejabat terkait. Maka tidak heran ketika 74
tahun umur kemerdekaan Republik Indonesia semakin banyak ketimpangan dan
ketidak adilan dalam berbagai aspek baik aspek sosial, ekonomi, politik, dan
budaya hingga dalam pembagian distribusi sumberdaya alam yang seharusnya
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Era kemerdekaan saat ini
masih banyaknya aksi-aksi yang dilakukan untuk mengangkat ketidak adilan negara
dalam hal pendistribusian sumberdaya alam Indonesia, seperti boikot terhadap
aktivitas tambang, penggusuran atas nama ketertiban, penyingkiran masyarakat
adat dari kawasan hutan, pembakaran lahan hutan untuk investasi skala besar
atas nama masyarakat dan berbagai contoh kasus lainnya dimana rakyat tidak
dapat mengakses sumberdaya alam karena pemerintah sengaja tidak hadir dan
cenderung membela para kaum pemodal. Mokoginta (2009) menyatakan bahwa
ketimpangan pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Indonesia adalah bentuk
upaya pengrusakan lingkungan hidup secara pelan-pelan atas nama pembangunan
yang lebih modern sejak diterbitkannya UU No. 3 tahun 1967 tentang penanaman
modal asing, sehingga banyak paradigma “kapitalis” yang telah merasuk kepada
masyarakat hingga pejabat dan elit politik di Indonesia. Kolaburasi paradigma
tersebut sampai saat ini masih dianggap lumrah atas nama pertumbuhan ekonomi
bangsa, tetapi disisi lain mengabaikan hak-hak masyarakat Indonesia sebagai
pemilik sumberdaya alam negara ini.
Paradigma yang telah menular
tersebut mendapatkan respon yang sangat luas, dimana beberapa tahun terakhir (5
tahun) ini juga muncul berbagai konflik yang di catat oleh Kompas dalam
Batubara (2013) bahwa sepanjang tahun 2013
telah terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi dimana
setiap konflik dibarengi jatuhnya korban yang sebagian besar dari petani dengan
perentase konflik sumberdaya alam dimana 69% konflik dengan korporasi (swasta),
13% dengan Perhutani, 9% dengan Taman Nasional, 3% dengan pemerintah daerah, 1%
dengan instansi lain, dan sisa 5% tidak dijelaskan oleh Kompas. KPA dalam Rachman
(2015) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2014 telah terjadi 472 konflik agraria
di seluruh Indonesia yang terjadi di sebagian besar proyek infrastruktur 46%,
perluasan perkebunan skala luas 39%, sektor kehutanan 6%, pertanian 4%,
pertambangan 3%. Dalam peta konflik dari berbagai lembaga, hampir rata-rata
menyatakan bahwa setiap tahun konflik sumberdaya alam di Indonesia semakin
meningkat. Hal tersebut dapat ditemukan dari analisis dari Rachman (2015) bahwa
sebab utama dari porak porandanya pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia ini
yaitu salah jalannya kita dalam mereorganisasi ruang yang seharusnya untuk kepentingan rakyat
Indonesia namun digunakan untuk mempeluas sistem produksi kapilatisme yang
menghasilkan komoditas global.
Salah jalan tata kelola sumberdaya
alam di Indonesia karena di “Tuhankannya” kepentingan ekonomi-politik dan
diabaikannya kepentingan lain seperti ekologi dan budaya. Sehingga 74 tahun
Indonesia merdeka belum banyak terasa berbagai pundi-pundi sumberdaya alam
dinikmati oleh negara akan tetapi lari ke luar negeri. Bencana ekologi yang
saat ini kita rasakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan kemajuan
dunia industri dan teknologi, sehingga kedepan ancaman terhadap kualitas
lingkungan hidup menjadi isu dan perhatian khusus.
Bagaimana
Gus Dur Hadir dalam Tata Kelola Sumberdaya Alam?
Pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup di Indonesia juga menjadi bagian dari agenda global,
dimana perang-perang dunia yang dilakukan oleh negara-negara yang memiliki
kepentingan kelangsungan hidup bangsanya dipaksakan ke Indonesia untuk
dimasukkan agenda mereka dalam penguasaan sumberdaya alam hingga sekarang. Hal
yang paling mudah dilakukan yaitu melalui jalur politik kekuasaan dan
peraturan/kebijakan suatu negara. Banyak pengamat, pemerhati, dan pelaku
sejarah meng-amin-i hal tersebut. Bahwa Indonesia menjadi “bancaan (Red: rebutan)” dunia dalam pengerukan sumberdaya alam. Gus
Dur salah satu anak bangsa yang sangat memahami hal tersebut. Dia lakukan
berbagai upaya baik melalui door to door
ke berbagai elemen seperti pemerintah, ormas, NGO, hingga masyarakat yang sekitar
sumberdaya alam yang saat ini dikuasi pemodal, hingga mendatangi penguasa untuk
memberikan otokritik atas pengelolaan sumberdaya alam serta masukan-masukan
yang berharga. Namun banyak yang kurang menanggapi kehadiran Gus Dur saat itu,
kenapa karena saat ea orde baru “pembungkaman” pendapat sering tejadi yang
berujung pada ancaman keselamatan seorang aktivis. Gus Dur tidak takut akan hal
tersebut, kenapa karena ia berpegang teguh pada nilai-nilai yang diamanatkan
kepada rakyat Indonesia atas sumberdaya alam yaitu pasal 33 UUD 1945 bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Beberapa
pemikiran Gus Dur yang coba penulis analisa yang terkait tata kelola sumberdaya
alam dan lingkungan hidup di Indonesia dari berbagai sumber yaitu: Pertama, pemikiran sosial-politik Gus
Dur yang sejak muda dituangkan dalam tulisan-tulisan dan diskusi/sarasehan/kongkow.
Dalam beberapa tulisannya mengungkapkan bahwa keadilan, kesejahteraan ekonomi
rakyat Indonesia akan tercapai jika adanya “pemerintah” yang mampu berpihak
kepada rakyat. Pemikiran tersebut dilandasi dari rasa humanis seorang Gus Dur
yaitu manusia sebagai subyek penggerak tentang pengelolaan sumberdaya yang ada
melalui kesetaraan hak (hak individu dengan hak orang lain). Dengan demikian
kajian sosial-politik yang digagas beliau akan berimplikasi pada upaya membuka
pintu untuk pengelolaan sumberdaya alam yang adil untuk rakyat Indonesia bukan
untuk penguasa yang sering terjadi hingga saat ini yaitu penguasa dengan powernya mencatut jabatannya untuk
ambisi pribadi yaitu bisnis bersama perusahaan-perusahaan yang menginvestasikan
modalnya di Indonesia. Hal ini banyak terbukti sejak era orde baru hingga saat
ini sehingga telah menjamur baik dari tingkat desa hingga pemerintah pusat.
Contoh kecil yaitu Pembunuhan Salim Kancil beberapa bulan lalu yang menolak
tambang pasir di desanya karena merusak lingkungan, dalam hal ini aparatur desa
menjadi bagian dari perusahaan yang telah beroperasi mengeruk pasir selama
bertahun-tahun lamanya hingga hukum menjadi tumpul kepada rezim penguasa.
Kedua, pemikiran
sosial-budaya. Gus Dur mengerti betul bahwa akar budaya bangsa Indonesia banyak
yang telah pudar. Sehingga interaksi sosial yang terjadi saat ini adalah
interaksi dari hasil pembangunan manusia Indonesia yang berakar pada
materialisme. Masyarakat Indonesia yang kental akan budaya dipaksa harus
menerima sistem pemerintahan yang sentralistik dan top-down. Contoh kecil yaitu dirubahnya nama institusi pemerintahan
lokal menjadi desa seperti di daerah Sumatera Barat pemerintahan dahulu Nagari,
dan Lampung dengan sebutan Pekon. Kemudian dorongan pemikiran yang ingin
mengembalikan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat Indonesia yang sejatinya
yaitu Gus Dur memberikan kejutan kepada rakyat Indonesia dimana Jaya Pura di
ganti dengan nama Papua yang sesuai dengan jatidirinya. Setidaknya pemikiran
beliau menginspirasi bahwa perlunya kebijakan nasional untuk menjadikan
daerah-daerah menemukan jatidirinya (jiwa dan raga) kembali dalam bingkai NKRI.
Pemikiran yang terus berlangsung hingga saat ini menghasilkan lahirnya UU
Otonomi Daerah, UU Otonomi Khusus, UU Pemerintah Desa dengan semangat bahwa
daerah harus bangkit (buttom-up) dan bukan saatnya lagi daerah hanya menjadi
bahan eksploitasi sumberdaya alamnya, namun ketika habis menyisakan berbagai
masalah dan koflik. Hubungannya dengan sumberdaya alam yaitu bahwa pemerintah
daerah saat ini memiliki wewenang untuk mengelola sumberdaya alamnya untuk
pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Ketiga,
pemikiran
be your self (menjadi diri sendiri).
Pemikiran ini sudah lama dituangkan beliau sejak tahun 1982 tentang bagaimana
negara Indonesia perlu kembali menemukan jati diri sebagai negara maritim bukan
negara agraris. Gus Dur mengerti betul bahwa Indonesia dengan jutaan pulau yang
dikelilingi laut menjadi dasar dan modal bahwa kunci eratnya persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia teletak dari dekatnya rasa saling memiliki antar
komponen bangsa walaupun secara geografis terpisah oleh lautan. Menurut beliau
tentang laut yaitu keberkahan dari Allah SWT bagi bangsa Indonesia yang patut
disyukuri dengan mengelolanya secara benar, sebab jalur-jalur perjuangan bangsa
Indonesia telah diletakkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia yang tanpa ada
laut mustahil Indonesia akan merdeka. Dari laut Nusantara bersatu melalui era
kejayaan Nusantara dengan penguasaan sumberdaya alam yang dibentengi oleh laut.
Maka jati diri bangsa Indonesia yang harus diteruskan, hal tersebut baru dapat terwujud
ketika Gus Dur menjadi presiden, ia membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan
untuk mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan.
Keempat,
pemikiran gerakan perlawanan kepada rezim penguasa negara atas pelanggaran
hukum pengelolaan sumberdaya alam. Banyak yang dilakukan oleh Gus Dur dalam
upaya memberikan gerakan perlawan kepada negara yang tidak berpihak pada
keselamatan warga dalam jangka panjang, seperti sejak tahun 1982 Gus Dur
melakukan penolakan terhadap pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir
(PLTN). Isu pembangunan PLTN kembali hangat tahun 2006 bahwa pemerintah akan
kembali merealisasikan rencana pembanguan PLTN sehingga menimbulkan banyak
kekhawatiran warga sekitarnya juga warga Jepara dan Kudus. Gus Dur adalah orang
yang bersikap tegas atas hal tersebut, sebab beliau menimbang bahwa nuklir di
Indonesia tidaklah cocok dan lebih membahayakan untuk keselamatan dan
keberlangsungan hidup generasi penerus bangsa Indonesia. Ia mewujudkan
pemikirannya melalui ancaman bahwa jika tetap akan direalisasikan maka ia akan
meniduri (tidur) areal sekitar proyek di semenanjung muria. Selain itu Gus Dur
juga pernah menyerukan penutupan perusahaan kertas terbesar di pulau Sumatera
yang diindikasikan melanggar hukum dimana ijin dan praktik didalamnya tidak
sesuai dan diindikasikan merusak hutan alam (Berita Bumi, 2010).
Kelima,
pemikiran
perlu bernafasnya sumberdaya alam. Alam adalah ciptaan Tuhan yang diberikan
kepada manusia untuk kebutuhannya. Gus Dur memahami betul bahwa dalam agama
Islam alam harus dijaga dan dilestarikan secara terus menerus, sebab segala
sesuatu tindakan manusia akan dipertanggung jawabkan kepada Tuhan termasuk
dalam usaha menjaga dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Ia menganggap
bahwa sumberdaya alam akan menjadi saksi, walaupun seolah-olah sumberdaya alam
yang ada diam tidak berbicara apa-apa dan memasrahkan pada manusia. Oleh karena
itu salah satu upaya mengurangi eksploitasi sumberdaya alam khususnya hutan di
Indonesia, beliau menggagas dan mengeluarkan perlunya kebijakan berupa moratorium (jeda tebang)
selama 10 tahun agar hutan bisa bernafas lega. Ini berarti memberikan
kesempatan kepada hutan untuk tumbuh kembang dan tidak dieksploitasi secara
berlebihan seperti yang selama ini terjadi. Setidaknya sumberdaya alam yang
banyak dieksploitasi oleh investor menjadi pemikiran beliau untuk
mendayagunakan kekuatan bangsa Indonesia untuk mandiri baik secara ekonomi,
politik, dan budaya melalui kekayaan yang dimiliki. Menurut beliau orang
Indonesia mampu mengelola sumberdaya alamnya secara mandiri dan sudah saatnya
kita (bangsa Indonesia) merebut kembali sumber-sumber daya alam tersebut. Maka
pada suatu kesempatan beliau mengatakan bahwa “Ada tiga macam sumber
alam, itu harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita. Satu,
sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan
laut.” Sejatinya kemakmuran bangsa dapat terjadi jika bangsa Indonesia menjadi
tuan di negeri sendiri bukan tamu di negeri sendiri.
Guru Bangsa yang Rela Hancur demi Indonesia
Dalimunthe (2015) menyatakan
bahwa Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden juga diindikasikan dikarenakan
beliau memiliki pisau ganda untuk mengelola sumberdaya alam Indonesia kembali
bangkit berdikari yaitu dengan moratorium tehadap Kontrak Karya baru yang
berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu Gus Dur juga mengeluarkan
kebijakan meninjau kembali Kontrak Karya yang pernah dibuat di zaman rezim
Soeharto. Tindakan perlawanan terus ia lakukan selama negara tidak bisa hadir
untuk menjamin keselamatan rakyatnya dan cenderung membela kepentingan pemodal
asing atas nama apapun.
Gus Dur yang rela mengorbankan dirinya demi kepentingan bangsa Indonesia
tercermin dari berbagai aktivitasnya yang pada akhirnya menginspirasi para
penerus-penerusnya di Nahdlotul Ulama utnuk terus bergerak dalam mengawal
kekayaan alam Indonesia. Rosyid (2015) mencatat bahwa pada tanggal 9 dan 10 Mei
2015 Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengkritisi
tentnag permasalahan yang terjadi tentang pengelolaan sumber daya alam, di
Pondok Pesantren Al Manar Azhari, Limo, Depok dengan hasilnya bahwa PBNU
mengeluarkan fatwa wajib bagi masyarakat untuk melakukan gerakan “amar ma’ruf
nahi munkar” atas aktivitas eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia
yang dinilai telah berlebihan sehingga aktivitas eksploitasi lingkungan
tersebut termasuk dalam perbuatan dholim dan merupakan bagian dari pengrusakan
terhadap bumi yang menjadi titipan Allah SWT kepada manusia yang dinobatkan
sebagai Kholifah.
Hal yang patut dicontoh dari Gus Dur yaitu nilai-nilai semangat dan
jiwanya yang berani memikirkan bangsa Indonesia tanpa pamrih dan rela
mengorbankan kepentingan pribadinya agar berdikari di negeri sendiri. Hal
tersebut tidak lepas dari gemblengan pendidikan karakter dan keilmuan dari
kakek dan orang tuanya yang juga sebagai pahlawan nasional (K.H. Hasyim As’ari
dan K.H. Wahid Hasyim) yang banyak melakukan reformasi baik dalam pemahaman
keagamaan, sosial dan kebudayaan, sistem pendidikan tanpa meninggalkan jati
diri sebagai bagsa Indonesia.
Salah satunya semangat Gus Dur dalam memperjuangkan sumberdaya alam
Indonesia juga terlihat dalam kegemaran beliau membaca buku-buku para
proklamator (Sukarno-Hatta) yang dalam pemikirannya bahwa bangsa Indonesia
harus berdikari dan berlandaskan ekonomi kerakyatan. Maka dengan kondisi apapun
Gus Dur tetap berjuang untuk menggelorakan semangat nasionalisme dengan gaya
beliau yang sering dianggap remeh dan terkesan tidak nasionalis terhadap aspek
sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia. Akan tetapi banyak juga
pemikiran-pemikirannya yang menginspirasi dan menjadi landasan dalam upaya
distribusi sumberdaya alam Indonesia secara adil dan merata agar kemakmuran
dapat terwujud.
Pada akhirnya Gus Dur
terbukti sebagai pejuang sumberdaya alam dan lingkungan dengan diberikannya
gelar penghormatan sebagai Pejuang Lingkungan Hidup oleh Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi). Maka lepas sudah bahwa anggapan Gus Dur hanya berteori dan
berwacana tentang aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akan tetapi
berangkat dari aspek pemikiran tersebut akhirnya dapat terpolarisasi dan
menjadi dasar kuat dalam menata kembali pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup di Indonesia yang harus kembali kepada spirit perjuangan para founding father bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar