Kamis, 31 Desember 2015

GUS DUR, SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP


Aktivitas sosok Gus Dur tidak lepas dari berbagai aspek baik aspek agama, sosial, ekonomi, politik, dan budaya bahkan hingga sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Banyak kalangan yang menulis sosok beliau dari aspek agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya hingga menghasilkan beratus-ratus kajian dan buku-buku sampai kegiatan sarasehan/kongkow yang dilakukan untuk membedah pemikiran beliau. Namun tidak banyak yang membahas tentang bagaimana upaya dan usaha Gus Dur andil dalam mewujudkan tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang selama ini ia fikirkan dan lakukan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam semesta (hablum minal ‘alam).
Gus Dur yang lahir di Jombang 7 September 1940 menjadi sosok guru bangsa yang terus di dambakan oleh masyarakat. Dalam dirinya melekat sosok yang humanis (memanusiakan manusia) yang salah satunya dikarenakan latar belakang dari keluarga pesantren yang selalu melekat dan menjadi spirit dalam mendasari pemikiran dan tindakan landasan beliau untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan melalui berbagai cara. Salah satunya yaitu menyelamatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang juga tertuang dalam Al-Qur’an yang pada intinya bahwa manusia memiliki kewajiban-kewajiban yang melekat baik kewajiban kepada Tuhan Sang Pencipta, kewajiban antar sesama manusia, dan kewajiban kepada alam semesta. Maka dalam tulisan ini akan mengulas bagaimana pemikiran-pemikiran Gus Dur dalam mweujudkan tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam.
Tata Kelola Sumberdaya Alam yang Salah Jalan
Indonesia dengan gugusan pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke kaya akan sumber daya alam, sehingga bangsa ini dituntut untuk terus berbenah diri dalam hal tata kelola sumberdaya alam baik kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan. Selama ini sumberdaya alam kita banyak dikeruk oleh pemodal asing dengan berbagai iming-iming jabatan, gaji, dan berbagai kemudahan untuk menunjang kesejahteran dari tingkat masyarakat hingga tingkat pejabat terkait. Maka tidak heran ketika 74 tahun umur kemerdekaan Republik Indonesia semakin banyak ketimpangan dan ketidak adilan dalam berbagai aspek baik aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya hingga dalam pembagian distribusi sumberdaya alam yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Era kemerdekaan saat ini masih banyaknya aksi-aksi yang dilakukan untuk mengangkat ketidak adilan negara dalam hal pendistribusian sumberdaya alam Indonesia, seperti boikot terhadap aktivitas tambang, penggusuran atas nama ketertiban, penyingkiran masyarakat adat dari kawasan hutan, pembakaran lahan hutan untuk investasi skala besar atas nama masyarakat dan berbagai contoh kasus lainnya dimana rakyat tidak dapat mengakses sumberdaya alam karena pemerintah sengaja tidak hadir dan cenderung membela para kaum pemodal. Mokoginta (2009) menyatakan bahwa ketimpangan pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Indonesia adalah bentuk upaya pengrusakan lingkungan hidup secara pelan-pelan atas nama pembangunan yang lebih modern sejak diterbitkannya UU No. 3 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, sehingga banyak paradigma “kapitalis” yang telah merasuk kepada masyarakat hingga pejabat dan elit politik di Indonesia. Kolaburasi paradigma tersebut sampai saat ini masih dianggap lumrah atas nama pertumbuhan ekonomi bangsa, tetapi disisi lain mengabaikan hak-hak masyarakat Indonesia sebagai pemilik sumberdaya alam negara ini.
Paradigma yang telah menular tersebut mendapatkan respon yang sangat luas, dimana beberapa tahun terakhir (5 tahun) ini juga muncul berbagai konflik yang di catat oleh Kompas dalam Batubara (2013) bahwa sepanjang tahun 2013  telah terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi dimana setiap konflik dibarengi jatuhnya korban yang sebagian besar dari petani dengan perentase konflik sumberdaya alam dimana 69% konflik dengan korporasi (swasta), 13% dengan Perhutani, 9% dengan Taman Nasional, 3% dengan pemerintah daerah, 1% dengan instansi lain, dan sisa 5% tidak dijelaskan oleh Kompas. KPA dalam Rachman (2015) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2014 telah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indonesia yang terjadi di sebagian besar proyek infrastruktur 46%, perluasan perkebunan skala luas 39%, sektor kehutanan 6%, pertanian 4%, pertambangan 3%. Dalam peta konflik dari berbagai lembaga, hampir rata-rata menyatakan bahwa setiap tahun konflik sumberdaya alam di Indonesia semakin meningkat. Hal tersebut dapat ditemukan dari analisis dari Rachman (2015) bahwa sebab utama dari porak porandanya pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia ini yaitu salah jalannya kita dalam mereorganisasi ruang  yang seharusnya untuk kepentingan rakyat Indonesia namun digunakan untuk mempeluas sistem produksi kapilatisme yang menghasilkan komoditas global.
Salah jalan tata kelola sumberdaya alam di Indonesia karena di “Tuhankannya” kepentingan ekonomi-politik dan diabaikannya kepentingan lain seperti ekologi dan budaya. Sehingga 74 tahun Indonesia merdeka belum banyak terasa berbagai pundi-pundi sumberdaya alam dinikmati oleh negara akan tetapi lari ke luar negeri. Bencana ekologi yang saat ini kita rasakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan kemajuan dunia industri dan teknologi, sehingga kedepan ancaman terhadap kualitas lingkungan hidup menjadi isu dan perhatian khusus.
Bagaimana Gus Dur Hadir dalam Tata Kelola Sumberdaya Alam?
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia juga menjadi bagian dari agenda global, dimana perang-perang dunia yang dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kepentingan kelangsungan hidup bangsanya dipaksakan ke Indonesia untuk dimasukkan agenda mereka dalam penguasaan sumberdaya alam hingga sekarang. Hal yang paling mudah dilakukan yaitu melalui jalur politik kekuasaan dan peraturan/kebijakan suatu negara. Banyak pengamat, pemerhati, dan pelaku sejarah meng-amin-i hal tersebut. Bahwa Indonesia menjadi “bancaan (Red: rebutan)” dunia dalam pengerukan sumberdaya alam. Gus Dur salah satu anak bangsa yang sangat memahami hal tersebut. Dia lakukan berbagai upaya baik melalui door to door ke berbagai elemen seperti pemerintah, ormas, NGO, hingga masyarakat yang sekitar sumberdaya alam yang saat ini dikuasi pemodal, hingga mendatangi penguasa untuk memberikan otokritik atas pengelolaan sumberdaya alam serta masukan-masukan yang berharga. Namun banyak yang kurang menanggapi kehadiran Gus Dur saat itu, kenapa karena saat ea orde baru “pembungkaman” pendapat sering tejadi yang berujung pada ancaman keselamatan seorang aktivis. Gus Dur tidak takut akan hal tersebut, kenapa karena ia berpegang teguh pada nilai-nilai yang diamanatkan kepada rakyat Indonesia atas sumberdaya alam yaitu pasal 33 UUD 1945 bahwa  Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 
Beberapa pemikiran Gus Dur yang coba penulis analisa yang terkait tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia dari berbagai sumber yaitu: Pertama, pemikiran sosial-politik Gus Dur yang sejak muda dituangkan dalam tulisan-tulisan dan diskusi/sarasehan/kongkow. Dalam beberapa tulisannya mengungkapkan bahwa keadilan, kesejahteraan ekonomi rakyat Indonesia akan tercapai jika adanya “pemerintah” yang mampu berpihak kepada rakyat. Pemikiran tersebut dilandasi dari rasa humanis seorang Gus Dur yaitu manusia sebagai subyek penggerak tentang pengelolaan sumberdaya yang ada melalui kesetaraan hak (hak individu dengan hak orang lain). Dengan demikian kajian sosial-politik yang digagas beliau akan berimplikasi pada upaya membuka pintu untuk pengelolaan sumberdaya alam yang adil untuk rakyat Indonesia bukan untuk penguasa yang sering terjadi hingga saat ini yaitu penguasa dengan powernya mencatut jabatannya untuk ambisi pribadi yaitu bisnis bersama perusahaan-perusahaan yang menginvestasikan modalnya di Indonesia. Hal ini banyak terbukti sejak era orde baru hingga saat ini sehingga telah menjamur baik dari tingkat desa hingga pemerintah pusat. Contoh kecil yaitu Pembunuhan Salim Kancil beberapa bulan lalu yang menolak tambang pasir di desanya karena merusak lingkungan, dalam hal ini aparatur desa menjadi bagian dari perusahaan yang telah beroperasi mengeruk pasir selama bertahun-tahun lamanya hingga hukum menjadi tumpul kepada rezim penguasa.
Kedua, ­pemikiran sosial-budaya. Gus Dur mengerti betul bahwa akar budaya bangsa Indonesia banyak yang telah pudar. Sehingga interaksi sosial yang terjadi saat ini adalah interaksi dari hasil pembangunan manusia Indonesia yang berakar pada materialisme. Masyarakat Indonesia yang kental akan budaya dipaksa harus menerima sistem pemerintahan yang sentralistik dan top-down. Contoh kecil yaitu dirubahnya nama institusi pemerintahan lokal menjadi desa seperti di daerah Sumatera Barat pemerintahan dahulu Nagari, dan Lampung dengan sebutan Pekon. Kemudian dorongan pemikiran yang ingin mengembalikan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat Indonesia yang sejatinya yaitu Gus Dur memberikan kejutan kepada rakyat Indonesia dimana Jaya Pura di ganti dengan nama Papua yang sesuai dengan jatidirinya. Setidaknya pemikiran beliau menginspirasi bahwa perlunya kebijakan nasional untuk menjadikan daerah-daerah menemukan jatidirinya (jiwa dan raga) kembali dalam bingkai NKRI. Pemikiran yang terus berlangsung hingga saat ini menghasilkan lahirnya UU Otonomi Daerah, UU Otonomi Khusus, UU Pemerintah Desa dengan semangat bahwa daerah harus bangkit (buttom-up) dan bukan saatnya lagi daerah hanya menjadi bahan eksploitasi sumberdaya alamnya, namun ketika habis menyisakan berbagai masalah dan koflik. Hubungannya dengan sumberdaya alam yaitu bahwa pemerintah daerah saat ini memiliki wewenang untuk mengelola sumberdaya alamnya untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Ketiga, pemikiran be your self (menjadi diri sendiri). Pemikiran ini sudah lama dituangkan beliau sejak tahun 1982 tentang bagaimana negara Indonesia perlu kembali menemukan jati diri sebagai negara maritim bukan negara agraris. Gus Dur mengerti betul bahwa Indonesia dengan jutaan pulau yang dikelilingi laut menjadi dasar dan modal bahwa kunci eratnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia teletak dari dekatnya rasa saling memiliki antar komponen bangsa walaupun secara geografis terpisah oleh lautan. Menurut beliau tentang laut yaitu keberkahan dari Allah SWT bagi bangsa Indonesia yang patut disyukuri dengan mengelolanya secara benar, sebab jalur-jalur perjuangan bangsa Indonesia telah diletakkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia yang tanpa ada laut mustahil Indonesia akan merdeka. Dari laut Nusantara bersatu melalui era kejayaan Nusantara dengan penguasaan sumberdaya alam yang dibentengi oleh laut. Maka jati diri bangsa Indonesia yang harus diteruskan, hal tersebut baru dapat terwujud ketika Gus Dur menjadi presiden, ia membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan.
Keempat, pemikiran gerakan perlawanan kepada rezim penguasa negara atas pelanggaran hukum pengelolaan sumberdaya alam. Banyak yang dilakukan oleh Gus Dur dalam upaya memberikan gerakan perlawan kepada negara yang tidak berpihak pada keselamatan warga dalam jangka panjang, seperti sejak tahun 1982 Gus Dur melakukan penolakan terhadap pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Isu pembangunan PLTN kembali hangat tahun 2006 bahwa pemerintah akan kembali merealisasikan rencana pembanguan PLTN sehingga menimbulkan banyak kekhawatiran warga sekitarnya juga warga Jepara dan Kudus. Gus Dur adalah orang yang bersikap tegas atas hal tersebut, sebab beliau menimbang bahwa nuklir di Indonesia tidaklah cocok dan lebih membahayakan untuk keselamatan dan keberlangsungan hidup generasi penerus bangsa Indonesia. Ia mewujudkan pemikirannya melalui ancaman bahwa jika tetap akan direalisasikan maka ia akan meniduri (tidur) areal sekitar proyek di semenanjung muria. Selain itu Gus Dur juga pernah menyerukan penutupan perusahaan kertas terbesar di pulau Sumatera yang diindikasikan melanggar hukum dimana ijin dan praktik didalamnya tidak sesuai dan diindikasikan merusak hutan alam (Berita Bumi, 2010).
Kelima, pemikiran perlu bernafasnya sumberdaya alam. Alam adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk kebutuhannya. Gus Dur memahami betul bahwa dalam agama Islam alam harus dijaga dan dilestarikan secara terus menerus, sebab segala sesuatu tindakan manusia akan dipertanggung jawabkan kepada Tuhan termasuk dalam usaha menjaga dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Ia menganggap bahwa sumberdaya alam akan menjadi saksi, walaupun seolah-olah sumberdaya alam yang ada diam tidak berbicara apa-apa dan memasrahkan pada manusia. Oleh karena itu salah satu upaya mengurangi eksploitasi sumberdaya alam khususnya hutan di Indonesia, beliau menggagas dan mengeluarkan perlunya  kebijakan berupa moratorium (jeda tebang) selama 10 tahun agar hutan bisa bernafas lega. Ini berarti memberikan kesempatan kepada hutan untuk tumbuh kembang dan tidak dieksploitasi secara berlebihan seperti yang selama ini terjadi. Setidaknya sumberdaya alam yang banyak dieksploitasi oleh investor menjadi pemikiran beliau untuk mendayagunakan kekuatan bangsa Indonesia untuk mandiri baik secara ekonomi, politik, dan budaya melalui kekayaan yang dimiliki. Menurut beliau orang Indonesia mampu mengelola sumberdaya alamnya secara mandiri dan sudah saatnya kita (bangsa Indonesia) merebut kembali sumber-sumber daya alam tersebut. Maka pada suatu kesempatan beliau mengatakan bahwa “Ada tiga macam sumber alam, itu harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita. Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut.” Sejatinya kemakmuran bangsa dapat terjadi jika bangsa Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri bukan tamu di negeri sendiri.
Guru Bangsa yang Rela Hancur demi Indonesia
Dalimunthe (2015) menyatakan bahwa Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden juga diindikasikan dikarenakan beliau memiliki pisau ganda untuk mengelola sumberdaya alam Indonesia kembali bangkit berdikari yaitu dengan moratorium tehadap Kontrak Karya baru yang berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu Gus Dur juga mengeluarkan kebijakan meninjau kembali Kontrak Karya yang pernah dibuat di zaman rezim Soeharto. Tindakan perlawanan terus ia lakukan selama negara tidak bisa hadir untuk menjamin keselamatan rakyatnya dan cenderung membela kepentingan pemodal asing atas nama apapun.
Gus Dur yang rela mengorbankan dirinya demi kepentingan bangsa Indonesia tercermin dari berbagai aktivitasnya yang pada akhirnya menginspirasi para penerus-penerusnya di Nahdlotul Ulama utnuk terus bergerak dalam mengawal kekayaan alam Indonesia. Rosyid (2015) mencatat bahwa pada tanggal 9 dan 10 Mei 2015 Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengkritisi tentnag permasalahan yang terjadi tentang pengelolaan sumber daya alam, di Pondok Pesantren Al Manar Azhari, Limo, Depok dengan hasilnya bahwa PBNU mengeluarkan fatwa wajib bagi masyarakat untuk melakukan gerakan “amar ma’ruf nahi munkar” atas aktivitas eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang dinilai telah berlebihan sehingga aktivitas eksploitasi lingkungan tersebut termasuk dalam perbuatan dholim dan merupakan bagian dari pengrusakan terhadap bumi yang menjadi titipan Allah SWT kepada manusia yang dinobatkan sebagai Kholifah.
Hal yang patut dicontoh dari Gus Dur yaitu nilai-nilai semangat dan jiwanya yang berani memikirkan bangsa Indonesia tanpa pamrih dan rela mengorbankan kepentingan pribadinya agar berdikari di negeri sendiri. Hal tersebut tidak lepas dari gemblengan pendidikan karakter dan keilmuan dari kakek dan orang tuanya yang juga sebagai pahlawan nasional (K.H. Hasyim As’ari dan K.H. Wahid Hasyim) yang banyak melakukan reformasi baik dalam pemahaman keagamaan, sosial dan kebudayaan, sistem pendidikan tanpa meninggalkan jati diri sebagai bagsa Indonesia.
Salah satunya semangat Gus Dur dalam memperjuangkan sumberdaya alam Indonesia juga terlihat dalam kegemaran beliau membaca buku-buku para proklamator (Sukarno-Hatta) yang dalam pemikirannya bahwa bangsa Indonesia harus berdikari dan berlandaskan ekonomi kerakyatan. Maka dengan kondisi apapun Gus Dur tetap berjuang untuk menggelorakan semangat nasionalisme dengan gaya beliau yang sering dianggap remeh dan terkesan tidak nasionalis terhadap aspek sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia. Akan tetapi banyak juga pemikiran-pemikirannya yang menginspirasi dan menjadi landasan dalam upaya distribusi sumberdaya alam Indonesia secara adil dan merata agar kemakmuran dapat terwujud.

Pada akhirnya Gus Dur terbukti sebagai pejuang sumberdaya alam dan lingkungan dengan diberikannya gelar penghormatan sebagai Pejuang Lingkungan Hidup oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Maka lepas sudah bahwa anggapan Gus Dur hanya berteori dan berwacana tentang aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akan tetapi berangkat dari aspek pemikiran tersebut akhirnya dapat terpolarisasi dan menjadi dasar kuat dalam menata kembali pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia yang harus kembali kepada spirit perjuangan para founding father bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar