Selasa, 10 April 2018

ANALISA PRODUK SAWIT INDONESIA DALAM PASAR EROPA

 


(Sumber Gambar: http://www.agrowindo.com/)

 A.     Latar Belakang

Indonesia telah lama membudidayakan tanaman sawit yaitu sejak era kolonial Belanda tahun 1984 ditanam di Kebun Raya Bogor dan mulai dibudidayakan di Deli Sumatera Utara tahun 1904. Hingga tahun1980-an sudah tercatat produksi sawit Indonesia mencapi 720 ribu ton karena sawit didukung oleh kebijakan pemerintah melalui berbagai program. Saat ini Indonesia menjadi dominator produksi minyak sawit dunia bersama dengan Malaysia, dimana Indonesia dan Malaysia menguasai hingga 85% market share minyak nabati dunia (Gapki, 2017).

Sawit (Elaeis gunieensis) merupakan salah satu tanaman yang dapat menghasilkan berbagai produk seperti minyak goreng, cokelat dan selai cokelat, lipstik, margarin dan selai mentega, sabun, kue kering, sampo, mie instan, biodisel dan berbagai produk turunan lainnya. Saat ini tanaman sawit menjadi produk unggulan perkebunan yang semakin banyak diminati oleh perusahaan maupun masyarakat yang menanam secara swadaya, oleh karena itu jenis usaha perkebunan yang saat ini ada sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21/Permentan/KB.410/6/2017 tentang Pedoman Perijinan Usaha Perkebunan terdiri atas: (1) Usaha budidaya perkebunan tanaman perkebunan; (2) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan; (3) Usaha perkebunan yang terintegrasi antara budidaya dengan industri pengolahan hasil perkebunan.

Saat ini Indonesia memiliki luas perkebunan sawit seluas ± 13 juta ha baik perkebunan sawit rakyat, swasta, dan Badan Usaha Milik Negara (Kementan, 2017). Jika dibandingkan dengan luas dataran Indonesia yang luasnya ± 189 juta ha, maka luas perkebunan sawit Indonesia saat ini ± 13% dari luas daratan. Dengan luasan tersebut produksi Sawit Indonesia pada tahun 2016 mencapai 25,7 juta ton CPO dan 5,2 juta ton bungkil dan cangkang, dengan nilai ekspor setara USD 17,8 miliar (12,3% dari total ekspor Indonesia). Ekspor terbesar Indonesia yaitu ke benua Eropa bersaing dengan India dan China yang juga menjadi perngekspor terbesar ke Eropa.

 

B.     Pola Konsumsi Minyak Nabati Uni Eropa

Konsumsi minyak nabati Uni Eropa adalah rapeseed oil (RSO) dari tahun 2009 hingga tahun 2016 cenderung menurun sebesar 0,03%per tahun dari konsumsi RSO yang awalnya cenderung naik sebesar 599  ribu ton per tahun. Konsumsi minyak sawit (CPO) yaitu 27%, dan Soybean oil (SBO) sebesar 21%, dan SFO sebesar 18%.

Kebijakan impor oleh Eropa karena kebutuhan domestik yang cukup besar yaitu 2,8 persen per tahun sedangkan laju konsumsi jauh lebih besar yaitu 4,8 persen per tahun. Eropa sendiri pada tahun 2016 mengimpor CPO sebesar 7,2 juta ton, SFO 1,3 juta ton, RSO 300 ribu ton dan SBO 250 ribu ton. Maka pesan yang dapat diambil bahwa CPO memiliki kontribusi sangat tinggi dalam memenuhi konsumsi nabati Uni Eropa, dimana CPO Indonesia mampu mencapai 80% dari total impor nabati, SFO sebesar 14%, SBO sebesar 3%, dan RSO sebesar 3%. Maka peran penting Indonesia dalam memenuhinkonsumsi nabati Uni Eropa sangat tinggi.

 

C.     Isu Sensitif Perdagangan Minyak Sawit Indonesia dan Eropa

Sejak tahun 2015 hingga tahun 2017 Indonesia mendapatkan tekanan dan kendala yang cukup kuat dari Uni Eropa tentang ekspor CPO. Kendala yang paling berat yang dirasakan oleh pemerintah Indonesia adalah adanya kampanye hitam tentang minyak kelapa sawit Indonesia oleh negara – negara Eropa. Berbagai kebijakan Uni Eropa dikeluarkan untuk menahan impor ke Uni Eropa seperti dengan isu korupsi, tenurial, HAM, dll. Selain itu parlemen Uni Eropa akan menghapus penggunaan biodisel dari minyak nabati pada tahun 2030 dan dari minyak kelapa sawit termasuk Indonesia pada tahun 2021. Sehingga pada puncakanya parlemen Eropa di Starssbourg mengeluarkan resolusi minyak kelapa sawit Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests pada tanggal 4 April 2017.

Laporan tersebut secara khusus menyebutkan bahwa persoalan sawit di Indonesia adalah persoalan besar dan disis lain studi sawit akan dirilis pada pertengahan tahun ini. Komisi Eropa akan mengadakan konferensi terkait sawit dengan sasaran bahwa perlunya alih investasi dari sawit ke sunflower oil dan rapeseed oil, serta kritisi terhadap perbankan, yang dianggap ikut mendukung dalam permasalahan besar tersebut. Upaya tersebut diwujudkan dalam pemungutan suara rancangan proposal energi bertajuk “Report on the proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources” pada rabu 17 Januari 2018 di kantor parlemen Eropa Starssbourg.

Disisi lain bahwa banyak kalangan memandang bahwa sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan parlemen Uni Eropa melakukan resolusi terhadap CPO Sawit Indonesia, antara lain (Gapki, 2018) yaitu: (1) Permintaan impor CPO Uni Eropa dari Indonesia bersifat elastis dan jangka pendek; (2)     Excess demand  dimana produksi nabati domestik Uni Eropa hanya mampu memenuhin 2/3 dari konsumsi domestik dan 1/3 adalah impor; (3) Suplai CPO yang relatif tersedia dibandingkan dengan rapeseed oil; (4) Dukungan dan kebijakan pemerintah Indonesia dalam lobby unternasional terutama dukungan pemerintah dalam isu sustainability

Dua hal yang menjadi catatan bahwa persaingan antar negara pengeksor CPO terbesar seperti India, China, Indonesia, Malaysia terjadi persaingan yang sangat ketat di Internasional. Disisi lain bahwa Uni Eropa menyadari bahwa konsumsi domestiknya sangat tinggi sehingga mereka memiliki bergaining yang kuat di pasar global terutama pasar CPO, oleh karena itu Uni Eropa menerapkan upaya proteksionisme dalam rangka melindungi perekonomian domestik dari dominasi produk-produk asing. Sehingga memerlukan kekuatan yang berbeda dari pemerintahan yang mempengaruhi pola perdagangan dan lokasi aktivitas ekonomi global.

 

D.    Usaha Indonesia

Berbagai upaya dilakukan Indonesia melalui serangkaian penelitian dan penyelarasan kebijakan terkait sawit antara lain:

1.     Indonesia telah mengadvokasi pentingnya kelapa sawit sebagai salah satu elemen utama dari kepentingan nasional Indonesia karena menyangkut kesejahteraan 17 juta warga Indonesia termasuk petani kecil yang bergantung secara langsung maupun tidak langsung dari industri kelapa sawit.

2.     Dalam ASEAN-EU Summit di Manila bulan November 2017, Presiden Joko Widodo menegaskan agar praktek diskriminasi dan kampanye hitam terhadap kelapa sawit Indonesia dihentikan, terutama di Eropa.

3.     Menteri Luar Negeri Ibu Retno LP Marsudi juga menekankan adanya keterkaitan erat antara kelapa sawit dan upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia, sesuai dengan aspirasi dalam komitmen SDGs 2030 dimana Indonesia tidak akan diam menghadapi kampanye negatif dan diskriminasi di Eropa dan Amerika Serikat terhadap kelapa sawit. Indonesia akan terus mengintensifkan langkah melawan kampanye hitam serta terus mempromosikan sustainable palm oil dan pencapaian SDGs

4.     Menteri Perdagangan Bapak Enggartiasto Lukita juga menegaskan bahwa langkah menolak produk kelapa sawit bisa mengganggu hubungan kerja sama ekonomi Indonesia–UE. Terutama di tengah guliran perundingan Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (I – EU CEPA).   

5.     KBRI Brussel juga lakukan penggalangan aliansi dengan kedubes negara-negara produsen sawit di Brussel seperti Brazil, Ekuador, Guatemala, Honduras, Kolombia, dan Malaysia sebagai langkah “protes” bersama dan akan disusun sebuah joint letter kepala perwakilan negara-negara produsen sawit kepada Parlemen Eropa.

6.     Indonesia menegaskan kesiapan kerjasama membangun pengertian yang lebih baik mengenai sustainability kelapa sawit Indonesia termasuk mengenai penguatan sertifikasi ISPO. Indonesia juga menggaris bawahi pentingnya free trade dan mematuhi terhadap prinsip-prinsip WTO. Indonesia juga mendesak agar Uni Eropa menghentikan tindakan-tindakan diskriminasi yang mendiskreditkan kelapa sawit. Indonesia menegaskan bahwa dari segi produktivitas, kelapa sawit jauh lebih efektif daripada minyak nabati lainnya seperti lobak dan minyak kedelai karena menggunakan areal lahan yang lebih sedikit.

7.     Menteri LHK Siti Nurbaya menerangkan bahwa Indonesia bisa mengatasi persoalan sawit dan justeru peran penting sawit di Indonesia karena sawit merupakan hal yang sensitif dan dalam kaitan lingkungan dan kehutanan, maka industri sawit di Indonesia merupakan industri besar yang menyangkut hajat hidup petani yang meliputi areal tanam sawit seluas 11,6 juta ha. Dimana sebanyak 41% di antaranya merupakan tanaman petani atau small holders dengan tenaga kerja dari usaha hulu hingga hilir tidak kurang dari 16 juta orang petani dan tenaga kerja. Tunduhan bahwa sawit adalah korupsi, eksploitasi pekerja anak, langgar HAM adalah tuduhan keji dan tidak relevan saat ini karena Indonesia terus menerapkan praktek-praktek sustainable management dalam pengelolaan sawit dan industri-industri land based.

8.     Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa mengatakan bahwa sawit bukan merupakan penyebab deforestasi di Indonesia.  Menurutnya, lahan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan. hasil penelitian yang dilakukan pada 8 kebun sawit milik perusahaan sawit besar (PSB) dan 16 kebun sawit rakyat. Kebun-kebun tersebut berada di Kabupaten Kampar,  Kuantan Singingi, Pelelawan, dan Kabupaten Siak di Provinsi Riau. Penelitian tersebut diketahui bahwa lahan yang dijadikan kebun  sawit tersebut, sudah tidak berstatus sebagai kawasan hutan dan jika dilihat berdasarkan luasan seluruh areal PSB yang diamati sebesar 46.372,38 hektar, sebanyak 68,02 persen status lahan yang dialih fungsikan berasal dari hutan produksi konversi atau areal penggunaan lain (APL). Selain itu, 30,01 persen berasal dari hutan produksi terbatas, dan 1,97 persen berasal dari hutan produksi.  Adapun status lahan pada kebun sawit rakyat yang diamati 47,5 hektar, sebanyak 91,76 persen status lahannya sudah bukan kawasan hutan saat areal  tersebut dijadikan kebun kelapa sawit. Hanya 8,24 persen yang masih berstatus kawasan hutan atau areal peruntukan kehutanan (APK). Hal ini tidak lain karena adanya perbedaan cara pandang dalam mengartikan deforestasi yang selama ini terjadi.

 

E.     Catatan Penting dan Telaah

Catatan penting dan telaah terhadap produk sawit dan turunannya yang diekspor ke Uni Eropa ini dikompilasi dari berbagai data serta tulisan untuk memperjelas bagaimana upaya dan strategi yang harus dilakukan untuk menghadapi kebijakan Uni Eropa.

Terdapat dua sudut pandang yang berbeda antara Indonesia dan Eropa yaitu:

a)     Berdasarkan data statistik Kementerian Perindustrian tahun 2017, trend nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia dan turunannya dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 mengalami trend penurunan. Pada tahun 2013 nilai ekspor CPO dan turunannya sebesar USD 3,4 miliar sedangkan pada tahun 2016 menurun menjadi hanya sebesar USD 2,3 miliar.

b)     Volume dan nilai impor CPO Indonesia meningkat dalam 8 bulan terakhir di tahun 2017 menurut EU, akan tetapi gambaran ini tidak secara otomatis menggambarkan tidak adanya diskriminasi dalam perdagangan produk palm oil Indonesia di EU. Hal ini dapat terlihat dari trend penurunan ekspor CPOdan produk turunannya ke EU dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016. Kinerja ekspor CPO Indonesia ke EU semakin berkurang.

Terkait dengan pelarangan ekspor biodisel berbahan baku sawit dari Indonesia, bahwa impor biodiesel berbasis sawit dari Indonesia oleh Uni Eropa Berdasarkan data Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) bahwa volume ekspor biodiesel Indonesia terus meningkat dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 dari sebesar 204.000 kilo liter menjadi 1,8 juta kilo liter. Akan tetapi sejak tahun 2013 Uni Eropa menetapkan kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang cukup besar berupa pajak impor sebesar 8,8% sampai dengan 23,3% (76,94 euro s/d 178,85 euro). Uni Eropa menerapkan BAMD untuk melindungi produsen domestik biodieselnya akibat pesatnya perkembangan volume impor biodiesel dari Indonesia. Dengan demikian EU menciptakan hambatan perdagangan yaitu dengan pengenaan pajak impor yang tinggi atas impor biodiesel dari Indonesia dengan tudingan adanya dumping atas impor biodiesel dari Indonesia (dan juga Argentina).

Strategi yang dilakukan pemerintah saat ini untuk memperbaiki tata kelola sawit diupayakan dengan berbagai cara, seperti:

1.   1. Memperkuat regulasi ISPO

Hal ini dilakukan dengan merevisi Peraturan Menteri Pertanian menjadi peraturan presiden mengenai ISPO yang menitikberatkan pada aspek legalitas usaha perkebunan, manajemen perkebunan, pelindungan terhadap pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tanggung jawab terhadap pekerja, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.

2.  2. Perbaikan regulasi pelepasan kawasan hutan untuk kelapa sawit

Seperti Permenhut No 51/2016 yaitu dengan menekankan bahwa pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada areal Hutan Produksi Konversi (HPK) yang tidak produktif yaitu areal dengan penutupan lahannya didominasi lahan tidak berhutan antara lain semak belukar, lahan kosong dan kebun campur.

3.   3. Pelaksanaan kebijakan reforma agraria

Redistribusi tanah dan legalisasi aset untuk mengatasi konflik tenurial hutan dan perkebunan sawit. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P.84 tahun 2015 bahwa kebijakan reforma agraria untuk mengatasi konflik tenurial ini ditunjang dengan skema Perhutanan Sosial melalui beberapa jenis ijin kelola yaitu: Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan dan Hutan Adat. Pola yang dikembangakan melalui intercroping sawit setengah daur dan tanaman hutan.

4.  4. Penguatan regulasi pemanfaatan gambut

Melalui PP No 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dalam pasal 44 secara tegas mengatur pengenaan sangsi bagi para penanggungjawab usaha atau kegiatan pemanfaatan ekosistem gambut.

5. 5. Tata Kelola Sawit Berkelanjutan

Hal ini dilakukan seiring menguatnya komitmen pihak swasta dan pemerintah dalam upaya pengelolaan sawit dan hutan yang lestari tanpa membakar lahan, tidak melakukan pengusahaan di lahan gambut, tidak mendeforestasi, dan mengurangi konflik sosial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar