Indonesia
telah lama membudidayakan tanaman sawit yaitu sejak era kolonial Belanda tahun
1984 ditanam di Kebun Raya Bogor dan mulai dibudidayakan di Deli Sumatera Utara
tahun 1904. Hingga tahun1980-an sudah tercatat produksi sawit Indonesia mencapi
720 ribu ton karena sawit didukung oleh kebijakan pemerintah melalui berbagai
program. Saat ini Indonesia menjadi dominator produksi minyak sawit dunia
bersama dengan Malaysia, dimana Indonesia dan Malaysia menguasai hingga 85% market share minyak nabati dunia (Gapki,
2017).
Sawit (Elaeis gunieensis) merupakan salah satu
tanaman yang dapat menghasilkan berbagai produk seperti minyak goreng, cokelat
dan selai cokelat, lipstik, margarin dan selai mentega, sabun, kue kering,
sampo, mie instan, biodisel dan berbagai produk turunan lainnya. Saat ini
tanaman sawit menjadi produk unggulan perkebunan yang semakin banyak diminati
oleh perusahaan maupun masyarakat yang menanam secara swadaya, oleh karena itu
jenis usaha perkebunan yang saat ini ada sesuai dengan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 21/Permentan/KB.410/6/2017 tentang Pedoman Perijinan Usaha
Perkebunan terdiri atas: (1) Usaha budidaya perkebunan tanaman perkebunan; (2)
Usaha industri pengolahan hasil perkebunan; (3) Usaha perkebunan yang
terintegrasi antara budidaya dengan industri pengolahan hasil perkebunan.
Saat ini
Indonesia memiliki luas perkebunan sawit seluas ± 13 juta ha
baik perkebunan sawit rakyat, swasta, dan Badan Usaha Milik Negara (Kementan,
2017). Jika dibandingkan dengan luas dataran Indonesia yang luasnya ±
189 juta ha, maka luas perkebunan sawit Indonesia saat ini ± 13%
dari luas daratan. Dengan luasan tersebut produksi Sawit Indonesia pada tahun
2016 mencapai 25,7 juta ton CPO dan 5,2 juta ton bungkil dan cangkang, dengan
nilai ekspor setara USD 17,8 miliar (12,3% dari total ekspor Indonesia). Ekspor
terbesar Indonesia yaitu ke benua Eropa bersaing dengan India dan China yang
juga menjadi perngekspor terbesar ke Eropa.
B. Pola Konsumsi Minyak Nabati Uni
Eropa
Konsumsi
minyak nabati Uni Eropa adalah rapeseed
oil (RSO) dari tahun 2009 hingga tahun 2016 cenderung menurun sebesar 0,03%per
tahun dari konsumsi RSO yang awalnya cenderung naik sebesar 599 ribu ton per tahun. Konsumsi minyak sawit
(CPO) yaitu 27%, dan Soybean oil (SBO) sebesar 21%, dan SFO sebesar 18%.
Kebijakan
impor oleh Eropa karena kebutuhan domestik yang cukup besar yaitu 2,8 persen
per tahun sedangkan laju konsumsi jauh lebih besar yaitu 4,8 persen per tahun.
Eropa sendiri pada tahun 2016 mengimpor CPO sebesar 7,2 juta ton, SFO 1,3 juta
ton, RSO 300 ribu ton dan SBO 250 ribu ton. Maka pesan yang dapat diambil bahwa
CPO memiliki kontribusi sangat tinggi dalam memenuhi konsumsi nabati Uni Eropa,
dimana CPO Indonesia mampu mencapai 80% dari total impor nabati, SFO sebesar
14%, SBO sebesar 3%, dan RSO sebesar 3%. Maka peran penting Indonesia dalam
memenuhinkonsumsi nabati Uni Eropa sangat tinggi.
C. Isu Sensitif Perdagangan Minyak
Sawit Indonesia dan Eropa
Sejak tahun
2015 hingga tahun 2017 Indonesia mendapatkan tekanan dan kendala yang cukup
kuat dari Uni Eropa tentang ekspor CPO. Kendala yang paling berat yang
dirasakan oleh pemerintah Indonesia adalah adanya kampanye hitam tentang minyak
kelapa sawit Indonesia oleh negara – negara Eropa. Berbagai kebijakan Uni Eropa
dikeluarkan untuk menahan impor ke Uni Eropa seperti dengan isu korupsi,
tenurial, HAM, dll. Selain itu parlemen Uni Eropa akan menghapus penggunaan
biodisel dari minyak nabati pada tahun 2030 dan dari minyak kelapa sawit
termasuk Indonesia pada tahun 2021. Sehingga pada puncakanya parlemen Eropa di
Starssbourg mengeluarkan resolusi minyak kelapa sawit Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests pada tanggal 4
April 2017.
Laporan tersebut
secara khusus menyebutkan bahwa persoalan sawit di Indonesia adalah persoalan
besar dan disis lain studi sawit akan dirilis pada pertengahan tahun ini. Komisi
Eropa akan mengadakan konferensi terkait sawit dengan sasaran bahwa perlunya
alih investasi dari sawit ke sunflower oil dan rapeseed oil, serta kritisi
terhadap perbankan, yang dianggap ikut mendukung dalam permasalahan besar
tersebut. Upaya tersebut diwujudkan dalam pemungutan suara rancangan proposal
energi bertajuk “Report on the proposal
for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion
of the use of Energy from Renewable Sources” pada rabu 17 Januari 2018 di
kantor parlemen Eropa Starssbourg.
Disisi lain bahwa banyak kalangan memandang bahwa sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan parlemen Uni Eropa melakukan resolusi terhadap CPO Sawit Indonesia, antara lain (Gapki, 2018) yaitu: (1) Permintaan impor CPO Uni Eropa dari Indonesia bersifat elastis dan jangka pendek; (2) Excess demand dimana produksi nabati domestik Uni Eropa hanya mampu memenuhin 2/3 dari konsumsi domestik dan 1/3 adalah impor; (3) Suplai CPO yang relatif tersedia dibandingkan dengan rapeseed oil; (4) Dukungan dan kebijakan pemerintah Indonesia dalam lobby unternasional terutama dukungan pemerintah dalam isu sustainability
Dua hal
yang menjadi catatan bahwa persaingan antar negara pengeksor CPO terbesar
seperti India, China, Indonesia, Malaysia terjadi persaingan yang sangat ketat
di Internasional. Disisi lain bahwa Uni Eropa menyadari bahwa konsumsi
domestiknya sangat tinggi sehingga mereka memiliki bergaining yang kuat di
pasar global terutama pasar CPO, oleh karena itu Uni Eropa menerapkan upaya
proteksionisme dalam rangka melindungi perekonomian domestik dari dominasi
produk-produk asing. Sehingga memerlukan kekuatan yang berbeda dari
pemerintahan yang mempengaruhi pola perdagangan dan lokasi aktivitas ekonomi
global.
D. Usaha Indonesia
Berbagai
upaya dilakukan Indonesia melalui serangkaian penelitian dan penyelarasan
kebijakan terkait sawit antara lain:
1. Indonesia
telah mengadvokasi pentingnya kelapa sawit sebagai salah satu elemen utama dari
kepentingan nasional Indonesia karena menyangkut kesejahteraan 17 juta warga
Indonesia termasuk petani kecil yang bergantung secara langsung maupun tidak
langsung dari industri kelapa sawit.
2. Dalam
ASEAN-EU Summit di Manila bulan November 2017, Presiden Joko Widodo menegaskan
agar praktek diskriminasi dan kampanye hitam terhadap kelapa sawit Indonesia
dihentikan, terutama di Eropa.
3. Menteri
Luar Negeri Ibu Retno LP Marsudi juga menekankan adanya keterkaitan erat antara
kelapa sawit dan upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia, sesuai dengan
aspirasi dalam komitmen SDGs 2030 dimana Indonesia tidak akan diam menghadapi
kampanye negatif dan diskriminasi di Eropa dan Amerika Serikat terhadap kelapa
sawit. Indonesia akan terus mengintensifkan langkah melawan kampanye hitam
serta terus mempromosikan sustainable palm oil dan pencapaian SDGs
4. Menteri
Perdagangan Bapak Enggartiasto Lukita juga menegaskan bahwa langkah menolak
produk kelapa sawit bisa mengganggu hubungan kerja sama ekonomi Indonesia–UE.
Terutama di tengah guliran perundingan Indonesia-EU Comprehensive Economic
Partnership Agreement (I – EU CEPA).
5. KBRI
Brussel juga lakukan penggalangan aliansi dengan kedubes negara-negara produsen
sawit di Brussel seperti Brazil, Ekuador, Guatemala, Honduras, Kolombia, dan
Malaysia sebagai langkah “protes” bersama dan akan disusun sebuah joint letter kepala perwakilan
negara-negara produsen sawit kepada Parlemen Eropa.
6. Indonesia
menegaskan kesiapan kerjasama membangun pengertian yang lebih baik mengenai sustainability kelapa sawit Indonesia
termasuk mengenai penguatan sertifikasi ISPO. Indonesia juga menggaris bawahi
pentingnya free trade dan mematuhi
terhadap prinsip-prinsip WTO. Indonesia juga mendesak agar Uni Eropa
menghentikan tindakan-tindakan diskriminasi yang mendiskreditkan kelapa sawit. Indonesia
menegaskan bahwa dari segi produktivitas, kelapa sawit jauh lebih efektif
daripada minyak nabati lainnya seperti lobak dan minyak kedelai karena
menggunakan areal lahan yang lebih sedikit.
7. Menteri
LHK Siti Nurbaya menerangkan bahwa Indonesia bisa mengatasi persoalan sawit dan
justeru peran penting sawit di Indonesia karena sawit merupakan hal yang
sensitif dan dalam kaitan lingkungan dan kehutanan, maka industri sawit di
Indonesia merupakan industri besar yang menyangkut hajat hidup petani yang
meliputi areal tanam sawit seluas 11,6 juta ha. Dimana sebanyak 41% di
antaranya merupakan tanaman petani atau small
holders dengan tenaga kerja dari usaha hulu hingga hilir tidak kurang dari
16 juta orang petani dan tenaga kerja. Tunduhan bahwa sawit adalah korupsi,
eksploitasi pekerja anak, langgar HAM adalah tuduhan keji dan tidak relevan
saat ini karena Indonesia terus menerapkan praktek-praktek sustainable management
dalam pengelolaan sawit dan industri-industri land based.
8. Guru
Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa
mengatakan bahwa sawit bukan merupakan penyebab deforestasi di Indonesia. Menurutnya, lahan perkebunan kelapa sawit
yang ada di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan. hasil penelitian yang
dilakukan pada 8 kebun sawit milik perusahaan sawit besar (PSB) dan 16 kebun
sawit rakyat. Kebun-kebun tersebut berada di Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelelawan, dan Kabupaten
Siak di Provinsi Riau. Penelitian tersebut diketahui bahwa lahan yang dijadikan
kebun sawit tersebut, sudah tidak berstatus
sebagai kawasan hutan dan jika dilihat berdasarkan luasan seluruh areal PSB
yang diamati sebesar 46.372,38 hektar, sebanyak 68,02 persen status lahan yang
dialih fungsikan berasal dari hutan produksi konversi atau areal penggunaan
lain (APL). Selain itu, 30,01 persen berasal dari hutan produksi terbatas, dan
1,97 persen berasal dari hutan produksi.
Adapun status lahan pada kebun sawit rakyat yang diamati 47,5 hektar,
sebanyak 91,76 persen status lahannya sudah bukan kawasan hutan saat areal tersebut dijadikan kebun kelapa sawit. Hanya
8,24 persen yang masih berstatus kawasan hutan atau areal peruntukan kehutanan
(APK). Hal ini tidak lain karena adanya perbedaan cara pandang dalam
mengartikan deforestasi yang selama ini terjadi.
E. Catatan Penting dan Telaah
Catatan
penting dan telaah terhadap produk sawit dan turunannya yang diekspor ke Uni
Eropa ini dikompilasi dari berbagai data serta tulisan untuk memperjelas
bagaimana upaya dan strategi yang harus dilakukan untuk menghadapi kebijakan
Uni Eropa.
Terdapat
dua sudut pandang yang berbeda antara Indonesia dan Eropa yaitu:
a) Berdasarkan
data statistik Kementerian Perindustrian tahun 2017, trend nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia dan turunannya
dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 mengalami trend penurunan. Pada tahun 2013 nilai ekspor CPO dan turunannya
sebesar USD 3,4 miliar sedangkan pada tahun 2016 menurun menjadi hanya sebesar
USD 2,3 miliar.
b) Volume
dan nilai impor CPO Indonesia meningkat dalam 8 bulan terakhir di tahun 2017
menurut EU, akan tetapi gambaran ini tidak secara otomatis menggambarkan tidak
adanya diskriminasi dalam perdagangan produk palm oil Indonesia di EU. Hal ini dapat terlihat dari trend
penurunan ekspor CPOdan produk turunannya ke EU dari tahun 2013 sampai dengan
tahun 2016. Kinerja ekspor CPO Indonesia ke EU semakin berkurang.
Terkait
dengan pelarangan ekspor biodisel berbahan baku sawit dari Indonesia, bahwa impor
biodiesel berbasis sawit dari Indonesia oleh Uni Eropa Berdasarkan data Palm
Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) bahwa volume ekspor
biodiesel Indonesia terus meningkat dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013
dari sebesar 204.000 kilo liter menjadi 1,8 juta kilo liter. Akan tetapi sejak
tahun 2013 Uni Eropa menetapkan kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang
cukup besar berupa pajak impor sebesar 8,8% sampai dengan 23,3% (76,94 euro s/d
178,85 euro). Uni Eropa menerapkan BAMD untuk melindungi produsen domestik biodieselnya
akibat pesatnya perkembangan volume impor biodiesel dari Indonesia. Dengan
demikian EU menciptakan hambatan perdagangan yaitu dengan pengenaan pajak impor
yang tinggi atas impor biodiesel dari Indonesia dengan tudingan adanya dumping
atas impor biodiesel dari Indonesia (dan juga Argentina).
Strategi
yang dilakukan pemerintah saat ini untuk memperbaiki tata kelola sawit
diupayakan dengan berbagai cara, seperti:
1. 1. Memperkuat
regulasi ISPO
Hal
ini dilakukan dengan merevisi Peraturan Menteri Pertanian menjadi peraturan
presiden mengenai ISPO yang menitikberatkan pada aspek legalitas usaha
perkebunan, manajemen perkebunan, pelindungan terhadap pemanfaatan hutan alam
primer dan lahan gambut, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tanggung jawab
terhadap pekerja, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat,
dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.
2. 2. Perbaikan
regulasi pelepasan kawasan hutan untuk kelapa sawit
Seperti
Permenhut No 51/2016 yaitu dengan menekankan bahwa pelepasan kawasan hutan
hanya dapat dilakukan pada areal Hutan Produksi Konversi (HPK) yang tidak
produktif yaitu areal dengan penutupan lahannya didominasi lahan tidak berhutan
antara lain semak belukar, lahan kosong dan kebun campur.
3. 3. Pelaksanaan
kebijakan reforma agraria
Redistribusi
tanah dan legalisasi aset untuk mengatasi konflik tenurial hutan dan perkebunan
sawit. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P.84 tahun 2015 bahwa kebijakan
reforma agraria untuk mengatasi konflik tenurial ini ditunjang dengan skema
Perhutanan Sosial melalui beberapa jenis ijin kelola yaitu: Hutan
Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan
dan Hutan Adat. Pola yang dikembangakan melalui intercroping sawit setengah daur dan tanaman hutan.
4. 4. Penguatan
regulasi pemanfaatan gambut
Melalui
PP No 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dalam
pasal 44 secara tegas mengatur pengenaan sangsi bagi para penanggungjawab usaha
atau kegiatan pemanfaatan ekosistem gambut.
5. 5. Tata
Kelola Sawit Berkelanjutan
Hal ini dilakukan seiring menguatnya komitmen pihak swasta dan pemerintah dalam upaya pengelolaan sawit dan hutan yang lestari tanpa membakar lahan, tidak melakukan pengusahaan di lahan gambut, tidak mendeforestasi, dan mengurangi konflik sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar