Minggu, 16 Januari 2022

MERANCANG STANDAR INSTRUMEN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN YANG IDEAL DALAM MENDUKUNG TUJUAN PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN

 


(Sumber Gambar: Sampul Buku)

Pendahuluan

Penyederhanaan perijinan saat ini menjadi salah satu poin penting kerja para menteri di era Presiden Joko Widodo. Poin tersebut merupakan terjemahan sembilan visi dan misinya kepemimpinannya ke dalam berbagai agenda pembangunan periode 2020-2024. Presiden mengarahkan agar pembangunan Indonesia difokuskan pada pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur, penyederhaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, serta transformasi ekonomi melalui Perpres 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pengembangunan Nasional menyusun agenda pelaksanaan pembangunan lima  tahun yaitu ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan, pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan, sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing, revolusi mental dan pembangunan kebudayaan, infrastruktur untuk ekonomi dan pelayanan dasar, dan lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan perubahan iklim, serta stabilitas politik, hukum pertahananan, kemananan dan transformasi pelayanan publik.

Rancangan dan desain besar tersebut ditujukan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Indonesia diharapkan menjadi negara yang memiliki sumber daya manusia yang unggul, berbudaya dan menguasai iptek. Selain itu Indonesia menjadi negara dengan ekonomi maju dan berkelanjutan, mencapai pembangunan yang merata dan inklusif, dan menjadi negara yang demokratis, kuat, dan bersih[1].

 

Peran Kementerian LHK dalam Pembangunan Berkelanjutan

Terbitnya Perpres Nomor 92 tahun 2020 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan salah satu landasan dalam menjalankan tanggung jawabnya kepada Presiden melalui pengurusan bidang lingkungan hidup dan kehutanan (LHK). Organisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terlibat aktif dalam upaya mencapai peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan antar generasi.

Luas kawasan hutan Indonesia mencapai 120,6 juta hektar yang terdiri dari hutan konservasi seluas 21,1 juta hektar, hutan lindung seluas 29,7 juta hektar, dan hutan produksi seluas 68,8 juta hektar. Dengan adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, maka potensi Kawasan hutan juga didorong untuk dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) secara signifikan melalui empat hal yaitu: (1) Upaya harmonisasi kebijakan dan kemudahan perijinan; (2) Mendorong investasi yang berkualitas; (3) Menciptakan lapangan kerja yang berkualitas, dan (4) Pemberdayaan UMK-M serta Koperasi.

Beberapa aturan turunan akibat dari terbitnya UU Cipta Kerja tersebut yang terkait dengan bidang LHK yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.  Dengan adanya aturan turunan tersebut diharapan pemerintah dapat menyelesaikan berbagai permasalahan bidang LHK yang selama ini dianggap menghambat kontribusi sektor LHK terhadap PDM.

Menteri LHK, Siti Nurbaya menyatakan bahwa substansi UU Cipta Kerja dalam sektor LHK yaitu untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini diimplementasikan dalam penyederhanaan prosedur perizinan dan mengatasi hambatan penyediaan lapangan kerja bagi angkatan kerja baru dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup. Menguatkan hal tersebut Sekretaris Jenderal LHK, Dr. Bambang Hendroyono menegaskan bahwa UU Cipta Kerja juga memiliki cita-cita didalam mengantarkan keadilan kepada masyarakat dan menciptakan lapangan kerja di sekitar kawasan hutan dan dalam kawasan hutan, bahkan di sekitar industri hilir[2].

Saat ini Kementerian LHK melibatkan diri dalam major project yang fokus pada pembangunan upaya pemulihan industri, pariwisata, dan investasi dengan terlibat dalam empat prioritas nasional (PN). Keempat PN tersebut yaitu: PN 1 (Memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan berkualitas dan berkeadilan), PN 2 (Mengembangankan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan), PN 3 (Meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing), dan PN 6 (Membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim)[3].

Dari ke empat PN yang dilaksanakan oleh KLHK, maka diturunkan dalam beberapa program prioritas (PP) yaitu di dalam PN 1 KLHK mendukung PP 2 (peningkatan kuantitas/ketahanan air untuk mendukung pertumbuhan ekonomi), dan PP 6 (peningkatan nilain tambah, lapangan kerja, dan investasi di sektor riil, dan industrialisasi). Di dalam PN 2 KLHK mendukung PP 4 (pembangunan wilayah Kalimantan), PN 3 KLHK mendukung PP 6 (pengentasan kemiskinan) dan PP 7 (peningkatan produktivitas dan daya saing), dan PN 6 KLHK mendukung PP 1 (peningkatan kualitas lingkungan hidup), dan PP 2 (peningkatan ketahanan bencana dan iklim).

Kementerian LHK juga menjabarkan program prioritas tersebut dalam berbagai sasaran strategis, program dan kegiatan. Kegiatan yang dilaksanakan oleh KLHK tidak akan lepas dari berbagai value yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB). Cakupan pembangunan LHK meliputi bentang alam yang sangat luas dan melalui siklus panjang, maka dari 17 TPB yang ditetapkan, KLHK terlibat di dalam 11 TPB[4] yaitu TPB 1 (tanpa kemiskinan), 2 (tanpa kelaparan), 3 (kehidupan sehat dan sejahtera), 6 (pendidian  berkualitas), 7 (energi bersih dan terjangkau) ,8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi), 9 (industry, inovasi dan infrastruktur),10 (berkurangnya kesenjangan), 11 (kota dan permukiman yang berkelanjutan), 13 (penangan perubahan iklim), dan 15 (ekosistem daratan).

Upaya KLHK dalam mempercepat upaya pencapaian TPB telah dilakukan dengan membentuk Tim melalui Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.346/MenLHK/Setjen/Set.1/8/2018 tentang Pembentukan Tim Pelaksana, Pokja dan Tim Pakar TPB/SDGs tahun 2017[5]. Sebab terbentuknya tim tersebut yaitu KLHK menyadari capaian kinerja yang dilakukan juga abil langsung maupun tidak langsung telah mendukung TPB. Di dalam TPB juga memiliki tujuan sama dengan KLHK yang sama yaitu untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan antar generasi.

 Pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU Cipta Kerja akan selali diawasai atau dikontrol melalui pelaksanaan sanksi yang tegas bagi para pelaku kejahatan bidang LHK. Semangat pembangunan yang berkelanjutan yang didorong melalui berbagai upaya yang ada, sehingga dapat memberikan kontribusi positif baik secara ekonomi maupun lingkungan dengan memegang teguh empat pilar TPB, yaitu Pilar Pembangunan Sosial, Pilar Pembangunan Ekonomi, Pilar Pembangunan Lingkungna, dan Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola.[6]

 

Perlunya Standar Pengelolaan Bidang LHK

            Semangat UU Cipta Kerja perlu disambut dengan tersedianya berbagai instrumen pengelolaan di berbagai bidang LHK untuk memastikan bahwa ekosistem dalam lansekap yang ada tetap terjaga kelestariannya. Di dalam memastikan standar pengelolaan bidang LHK berprinsip bahwa standar merupakan instrumen tata kelola yang bersifat sistem yang memuat berbagai praktik terbaik yang berasal dari kontribusi kolektif.

            Selain prinsip standar yang menjadi pedoman, terdapat juga berbagai tujuan diperlukannya standardisasi bidang LHK yaitu antara lain: (1) standar tersedia lengkap, mutakhir dan diterapkan untuk semua peraturan perundangan dan instrument kebijakan kementerian LHK; (2) Standar kebutuhan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan LHK tersedia lengkap, mutakhir dan diterapkan dalam rangka pelaksanaan komitmen pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim; (3) Instrumen penerapan standar lengkap dan kompeten Instrumen pengendalian standar dan penerapan standar tersedia dan terlaksana; (4) Penerapan standar sinkron di jajaran pemerintah Pusat dan Daerah, dan para pemangku kepentingan yang relevan; (5) Penerapan standar mendukung berfungsinya instrumen penegakan hukum, disinsentif dan insentif dalam pengelolaan LHK. [7]

            Identifikasi berbagai kegiatan dan produk yang berstandar dan terinformasi secara menyeluruh saat sangatlah dibutuhkan, mengingat semakin beratnya tantangan dalam pengelolaan lansekap lingkungan hidup ditengah arus globalisasi dan moderenisasi. Proses yang dihasilkan dari standar yaitu terbentuknya sistem informasi yang memudahkan pemangku kepentingan mengontrol dan memastikan bahwa usaha yang dilakukan memiliki keberlanjutan baik ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Tidak cukup dengan kontrol dan pemastian keberlanjutan, namun dengan adanya regulasi standar instrumen yang dibentuk dapat menjangkau kelangsungan produksi dari usaha yang dilakukan berjalan secara berkualitas, bermutu dan memiliki jaminan yang teruji melalui upaya sertifikasi. Maka konsep pendekatan yang dilakukan yaitu dengan pendekatan perijinan dan non perijinan[8]. Kedua pendekatan tersebut yang diharapkan mampu menekan resiko dari dampak usaha yang dilakukan dengan menerapkan standar yang telah ditetapkan baik untuk sektor lingkungan hidup maupun sektor kehutanan.

            Untuk menyambut upaya tersebut, Menteri LHK, Dr. Siti Nurbaya membentuk sebuah badan yang dapat memandu pembangunan berwawasan lingkungan yaitu melalui pembentukan Badan Standardisasi Instrumen Linkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2020 Tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pembentukan BSILHK dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Organisasi dan tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

            Organisasi BSILHK dalam Peraturan Menteri LHK tersebut memiliki tugas menyelenggarakan koordinasi dan perumusan, pengembangan, serta penerapan standar dan penilaian kesesuaian standar instrumen di bidang LHK. Adapun fungsi BSILHK yaitu: (1) penyusunan kebijakan teknis rencana dan program perumusan dan pengembangan, serta penerapan standar dan penilaian kesesuaian standar instrumen di bidang LHK; (2) pelaksanaan koordinasi dan perumusan, pengembangan, serta penilaian kesesuaian standar instrumen di bidang LHK; (3) pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan fasilitasi penerapan standar instrumen di bidang LHK; (4) pelaksanaan tugas administrasi Badan Standardisasi Instrumen LHK; dan (5) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan[9].

            Didalam menjalankan tugas dan fungsinya, disebutkan bahwa susunan organisasi BSILHK terdiri atas: Sekretariat Badan, Pusat Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup, Pusat Standardisasi Instrumen Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim, dan Pusat Fasilitasi Standardisasi Instrumen LHK (dapat dilihat dalam gambar 1). Walaupun demikin, BSILHK juga memiliki 15 Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dapat membantu menjalankan tugas dan fungsi standardisasi instrumen LHK didaerah-daerah. Sehingga dengan demikian peran standardisasi dapat optimal dilakukan.


 Gambar 1. Struktur Organiasasi BSILHK (PermenLHK Nomor 15 Tahun 2021)[10]


Menjawab Tantangan dengan Merancang Standar Instrumen yang Ideal

            Pembangunan diberbagai sektor telah berubah begitu cepat dan mengalami berbagai inovasi lintas disiplin ilmu. Bahkan praktik-praktik pengelolaan telah melibatkan dan memasukkan berbagai unsur yang secara konsep dapat berjalan  terarah dan terukur.

Demikian halnya sektor LHK yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dari hulu hingga hilir. Konsep pengelolaan sumber daya alam berbasis lansekap atau bentang alam yang selalu menjadi isu penting dalam berbagai pertemuan terus mengalami dinamika. Dalam upaya pengelolaannya terus diupayakan menjadi arus utama untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian ekosistem dalam setiap pembangunan yang dilakukan.

Menurut Dr. Alue Dohong, Wakil Menteri LHK dalam sambutannya di acara Peran Rimbawan dalam Geopolitik Sumber Daya Hutan Menuju Indonesia Emas 2045, menurutnya terdapat empat rasionalitas yang melandasi dinamika pengelolaan sumber daya alam tersebut, yaitu: Pertama, arus globalisasi yang dicirikan dengan komunikasi dan mudahnya interaksi, yang telah mendorong peningkatan perdagangan bahan baku (raw materials) berbasis sumber daya alam. Kedua, pertumbuhan penduduk dunia yang sekaligus dampak pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan kebutuhan terhadap sumber daya energi, pangan, pakan, obat-obatan, dan berbagai material sumber daya alam lain. Ketiga, kemiskinan masyarakat di negara-negara terbelakang (under developing countries), yang memperburuk tingkat kerusakan sumber daya alam akibat pembangunan guna mengatasi kemiskinan. Keempat, adanya perubahan iklim, polusi dan penurunan kualitas lingkungan yang berpengaruh terhadap suplai sumber daya alam.[11]

Menarik jika keempat rasional diatas menjadi salah satu semangat kita sebagai rimbawan dan pegiat lingkungan untuk berinovasi dalam menjembatani upaya mewujudkan tata kelola bidang LHK melalui rancangan standardisasi instrumen dibidang LHK. Rancangan yang seperti apa? Menurut hemat penulis, bahwa dari berbagai paparan yang terkait dengan standardisasi yang dipaparkan baik oleh tim transisi maupun dari penggalian kebutuhan standar oleh masing-masing direktorat teknis, maka secara garis besar terdapat tiga poin penting dalam mewujudkan standar yang ideal, yaitu:

1.     Rancangan Standardisasi yang Terintegrasi

Standar instrumen yang dibutuhkan dalam konteks bidang LHK dari hulu ke hilir yaitu bidang lingkungan hidup, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan ketahanan bencana dan perubahan iklim. Konsep terintegrasi didalam sektor LHK yang memiliki otoritas pelaksanaan kegiatan teknis dapat mengintegrasikan hasil dari penyusunan standar dengan kebijakan nasional standar yang diampu oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Peran standardisasi yang dilakukan LHK lebih pada pengusulan berbagai instrumen untuk menjamin kelestarian pengelolaan lingkungan dari hulu ke hilir, sehingga dapat tercipta regulasi yang tepat sasaran dan berkelanjutan. Sebab komitmen keduanya antara KLHK dan BSN yaitu sama-sama ingin menjaga kelestarian bidang LHK.[12]

2.     Rancangan Instrumen yang Perlu Distandardisasi

Adapun instrumen yang perlu distandardisasi yaitu di bidang lingkungan hidup mencakup penciptaan standar untuk menjamin kualitas lingkungan hidup mulai dari perijinan berusaha, pelaksanaan hingga penerapan serta pelaporan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Indikator lingkungan hidup memiliki cakupan yang luas, setidaknya terdapat beberapa unsur yang perlu dilakukan standardisasi seperti air, udara, dan tanah. Didalam unsur tersebut terdapat berbagai permasalahan dari dampak usaha yang dilakukan oleh manusia sehingga diperlukan adanya standar pengelolaan agar unsur-unsur tersebut dapat terjaga kualitasnya.

Di bidang pengelolaan hutan berkelanjutan, standardisasi yang perlu dilakukan yaitu dalam upaya pemanfaatan hutan baik kayu maupun non kayu serta jasa lingkungan di kawasan hutan. Akan tetapi terdapat juga standardisasi lain dalam upaya mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan yaitu seperti dalam pengadaan benih dan bibit tanaman kehutanan. Sebab benih dan bibit merupakan sumber daya yang juga harus terjamin kualitasnya agar hutan tetap lestari.

Di dalam bidang ketahanan bencana dan perubahan iklim instrumen yang diperlukan untuk dilakukan standardisasi yaitu kondisi dan kepastian atas kondisi ekosistem bentang alam, upaya pencegahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim, dan sektor penghasil emisi.

3.     Rancangan yang Perlu Diprioritaskan

Didalam rancangan standardisasi yang pada perencanaan merupakan satu kesatuan yang seharusnya atau idealnya terlaksana secara bersamaan. Akan tetapi dalam penetapan standar yang diprioritaskan merupakan sebuah pilihan untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan rencana pembangunan baik jangka pendek dan panjang.

Penyusunan skala prioritas setidaknya dapat melihat empat hal yaitu berdasarkan tingkat kebutuhan, urgensi standardisasi, cakupan stakeholder yang terpengaruh, dan kompleksitas standardisasi yang disusun. Hal ini juga akan mempengaruhi seberapa besar sumber daya yang dibutuhkan dalam proses penyusunan standardisasi[13].

Skala prioratas di dalam penciptaan standar, penerapan, pengawasan, serta evaluasi dan pelaporan merupakan bagian yang tidak dipisahkan antara dokumen perencanaan di tingkat KLHK yaitu Rencana Strategis KLHK Tahun 2020-2024 dan Rencana Strategis BSN Tahun 2024. Seperti didalam dokumen Renstra BSN Tahun 2020-20224 bahwa arah kebijakan yang akan dilakukan selama lima tahun yaitu pengembangan dan evaluasi standar, penerapan standan dan penilaian kesesuaian, tata kelola standardisasi dan penilaian kesesuaian, akreditasi lembaga penelianan kesesuaian, dan pengelolaan standar nasional satuan ukuran.

Maka prioritas dan capaian yang akan dilakukan untuk mendapatkan standardisasi serta level standardisasi, dapat mengacu kedua dokumen tersebut yang juga disusun untuk mendukung RPJMN Tahun 2020-2024.[14]

 

Penutup

            Standardisasi instrumen akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan jaman sebagaimana perkembangan ekonomi global dengan sistem standardisasi yang terus berkembang.  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian adalah penerapan dari sistem pengelolaan infrastruktur untuk menjamin mutu nasional yang diakui baik di tingkat nasional maupun internasional.

Standar yang dibuat digunakan sebagai upaya mejalankan sebuah sistem yang fundamental dalam upaya peningkatan daya saing dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Bagi bangsa Indonesia untuk berkompetensi di kancah ekonomi global terutama bidang LHK. Terbitnya UU Cipta Kerja bukanlah menjadi penghalang untuk mewujudkan TPB. Sebab TPB merupakan salah satu upaya untuk mendorong kebijakan KLHK dapat mendukung berbagai inisiatif global dengan berbagai macam indikator yang telah ditentukan. Dengan dibentuknya sebuah badan yang menangani standar instrumen LHK, diharapkan dapat mendorong dengan cepat penyelesaian berbagai permasalahan bidang LHK dan mendukung TPB secara lebih optimal.


Catatan: Naskah ini merupakan naskah lomba karya tulis lingkup KLHK yang telah memiliki persyaratan. Publikasi ini hanya bersifat pribadi tidak untuk dipublikasikan diluar blog ini.

[1] Kementerian PPN/Bappenas. 20219. Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur. Jakarta

[3] Rencana Strategis KLHK Tahun 2020-2024. Hal. 90.

[4] Agus Justianto. 2021. Peluang dan Tantangan Pencapaian SDGs Bidang Kehutanan Melalui Implementasi UU Cipta Kerja. Makalah Dies Natalis Universitas Hasanuddin.

[6] http://sdgs.bappenas.go.id/ Diakses 30 September 2021.

[7] Paparan Rancangan Kerangka PERMENLHK tentang STANDARDISASI, Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pustanlinghut KLHK. Maret 2020

[8] Ary Sudijanto. 2021. Paparan Ketua Satgas BSIKLHK. Advice Kebijakan dan Langkah Kerja: Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

[9] KLHK. 2021 Organisasi dan tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan. http://jdih.menlhk.co.id/uploads/files/2021pmlhk015_menlhk_07222021142042.pdf Diakses 30 September 2021. 

[12] BSN. 2021. BSN Berkomitmen Untuk Mendukung Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. https://bsn.go.id/main/berita/detail/12341/bsn-berkomitmen-untuk-mendukung-pelestarian-lingkungan-hidup-dan-kehutanan diakses 20 September 2021

[13] Ary Sudijanto. 2021. Paparan Ketua Satgas BSIKLHK. Advice Kebijakan dan Langkah Kerja: Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

[14] BSN. 2020. Rencana Strattegis Badan Standardisasi Nasional Tahun 2020-2024.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar