Kamis, 20 Oktober 2011

BERSIH-BERSIHLAH TNBBS


Media masa, baik cetak maupun elektronik, di Indonesia khususnya Lampung sedang ’’Geger’’. Geger dalam arti ramai membicarakan tentang peristiwa yang mungkin hampir sama motifnya di zaman Orde Baru. Yaitu penurunan perambah yang menduduki kawasan hutan konservasi.

    NAMUN, pascareformasi menjadi titik baliknya para penggarap di kawasan hutan untuk memberanikan diri ’’adu nyali’’ memasuki areal kawasan hutan. Seperti di daerah resort Ngambur, Balaikencana, Sukarajaatas, Rataagung, Pugungtapak, Waynipah, Tampang, Biha, Pemerihan, Balikbukit, dan Lombok. Menurut data per Desember 2010 Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS), jumlah luas areal yang sudah dirambah yaitu 61.786 hektare dengan jumlah kepala keluarga (KK) 16.214.     Angka luasan wilayah dan jumlah KK yang ’’mencengangkan’’, di mana salah satu kawasan konservasi di Indonesia memiliki jumlah perambah yang sangat banyak dibanding luas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang hanya 355.511 ha.
Belum lama ini, berita di media cetak memberitakan tentang penurunan perambah pada beberapa resort di TNBBS. Antara lain, resort Ngambur, Balaikencana, Sukarajaatas, dan Rataagung dengan total luas areal yang dirambah yaitu 15.527 ha yang terdiri 2.385 KK (data BBTNBBS, 2011).
    TNBBS merupakan salah satu taman nasional di Pulau Sumatera yang memiliki ekosistem hutan dataran rendah terbesar pada hutan hujan tropis di Asia Tenggara. TNBBS memiliki fungsi strategis sebagai penyangga kehidupan yang perannya sangat penting bagi masyarakat sekitarnya. Sebab, kawasan ini merupakan daerah tangkapan air (cachment area).
    Kawasan TNBBS memiliki 23 sungai besar dan ratusan anak sungai yang mengalirkan airnya ke daerah-daerah hilir di sepanjang pesisir Tanggamus, Lampung Barat, dan wilayah Bengkulu Selatan. Pada kawasan TNBBS sangat banyak potensi flora dan fauna, seperti harimau sumatera, gajah sumatera, badak sumatera, beruang, dan meranti.
    Melihat potensi tersebut, TNBBS di tunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982. Kemudian ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 489/Kpts-II/1999 tanggal 29 Juni 1999 yang luasnya ± 355.511 ha dan terletak di dua provinsi, yaitu Lampung dan Bengkulu. Pertanyaannya mengapa potensi tersebut justru menjadi ’’ancaman’’ bagi kita? Berbagai penelitian yang dilakukan, baik segi ekonomi, budaya, maupun sosial, menjadi lampu kuning yang dapat berbalik sewaktu-waktu ke hijau dan merah. Dan, kesemuanya bergantung dari kemauan jga kesadaran kita bersama guna menjaga maupun melestarikan keberadaan taman nasional.
    Ancaman dan gangguan taman nasional yang sampai kini terjadi yaitu perambahan, konflik tata batas, perburuan liar, pembalakan liar, invasi tumbuhan pengganggu, penambangan liar, jalan tembus, dan tekanan enclave. Kesemuanya memberikan andil terhadap rusaknya ekosistem TNBBS. Namun, konsentrasi saat ini bagi BBTNBBS yaitu penurunan perambah, yang sampai ini masih menyimpan banyak masalah di balik penurunan perambah seperti hilangnya pekerjaan.
Bisa saja pihak taman nasional saat ini tegas untuk menurunkan perambah. Akan tetapi, apakah semangat tersebut akan tetap konsisten dalam pelarangan dan penghentian perambah untuk masuk kawasan konservasi yang dijuluki Tropical Rainforest Heritage of Sumatera oleh UNESCO pada 2004. Atau bisa jadi dalam 2–3 bulan ke depan, mereka (perambah) memasuki kawasan kembali untuk kembali berkebun dan memetik hasil dari tanaman-tanaman yang mereka tanam bertahun-tahun lamanya di kawasan hutan konservasi.
    Pihak BBTNBBS harus kembali belajar dari pengusiran perambah di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) beberapa bulan lalu. Tetapi, gejala ’’back to forest again’’ untuk napak tilas sisa-sisa usaha di kawasan oleh para perambah sudah mulai terjadi berbagai cara saling umpat-umpatan dengan petugas. Di mana fungsi pemerintah daerah? Apakah semua permasalahan dikembalikan ke pemerintah pusat yang diwakili unit pelaksana teknis (UPT) di daerah, sehingga seolah-olah pemerintah daerah lebih mencari aman. Sebab, indikasi nuansa ’’politis’’ lebih kuat dibandingkan kebutuhan akan pentingnya alam (taman nasional) bagi kehidupan orang banyak yang dapat menyediakan suplai oksigen, cadangan pangan, sumber obat-obatan, sumber air, dan lain-lain.
    Perambah-perambah yang saat ini sedang diturunkan menurut hemat saya tidak dapat disalahkan begitu saja, mengapa? Karena perambahan terjadi beberapa faktor. Antara lain, faktor kebutuhan ekonomi, kebutuhan sumber daya lahan, lemahnya penegakan hukum, kurangnya tersampaikannya informasi kepada masyarakat, serta kebijakan (policy) yang kurang mendukung.
    Saya pikir seharusnya masyarakat juga tidak berpangku tangan menunggu bantuan dari pemerintah saja. Akan tetapi, harus bangkit dan mandiri memulai kehidupan barunya di luar kawasan taman nasional dengan memberdayakan segala pikiran dan tenaga untuk keberlanjutan hidup mereka. Belajar dari proses pembangunan hutan di Kabupaten Gunungkidul, Jogjakarta, yang benar-benar memulai semangat dari ’’gersang dan tandus’’ hingga ’’hijau dan sejuk’’ di wilayah mereka. Jika boleh saya katakan, inilah yang disebut dengan pembangunan mental dan spiritual masyarakat yang sukses.
    Pihak BBTNBBS sendiri juga tidak selamanya salah untuk melakukan penurunan perambah di kawasan konservasi dengan menggandeng berbagai pihak termasuk aparat kepolisian. Karena mereka bekerja untuk berupaya menyelamatkan salah hutan hujan tropika yang masih di Provinsi Lampung dan Bengkulu yang masih tersisa. Namun kita juga harus memahami bersama, bahwa yang terjadi saat ini adalah permasalahan klasik yang melanda kawasan konservasi termasuk taman nasional yaitu keterbatasan anggaran, staf yang kurang memenuhi syarat, kelemahan infrastruktur, hubungan yang tidak lancar dengan masyarakat setempat di sekitar kawasan (Wiratno, 2004).
    Selain itu, juga keterbatasan sumber daya manusia (kualitas dan kuantitas) serta keterbatasan sarana dan prasarana. Sebagai contoh data di BBTNBBS personil kehutanan yang bertugas di wilayah masing-masing resort hanya 3–4 personel sedangkan kawasan yang harus dijaga seluas 13.000 hingga 37.000 ha. Idealnya adalah 3.500 ha/pegawai (Laksono, 2000).
Permasalahan ini seharusnya menjadi perhatian penting pemerintah pusat untuk menyikapi permasalahan yang terjadi agar tidak ada kesan pusat memerintahkan untuk melestarikan kawasan hutan. Akan tetapi, tidak diimbangi jumlah personel yang memadai.
    Jika kita melihat dari sejarah berbagai kasus-kasus yang ada di taman nasional, membuktikan pengelolaannya tidak segampang yang dibayangkan ketika pada awal penetapan. Penunjukan taman nasional masih bersifat top down sebagian besar mekanismenya ditetapkan di tingkat pusat dengan konsultasi terbatas di wilayah provinsi.
Padahal, di luar Pulau Jawa kebergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam sangat tinggi. Akibatnya seperti saat ini banyak konflik berkepanjangan antara masyarakat dan pihak taman nasional. Hal inilah yang menjadi menarik untuk dikaji dan diselesaikan secara adil dan bijak melalui pendekatan partisipatif dengan mengintensifkan sosialisasi ke masyarakat. Terutama yang memiliki hubungan tradisional terhadap taman nasional. Namun, hal ini belum dianggap penting oleh para manajer taman nasional.
    Posisi dan keberadaan taman nasional di luar Pulau Jawa, dalam hal ini TNBBS, harus diubah. Paling sedikit harus dilakukan renegoisasi ulang terhadap kelompok-kelompok masyarakat setempat. Dengan tujuan yang diharapkan dapat memperbaiki persepsi masyarakat mengenai eksistensi taman nasional baik status lahan, fungsi serta perannya bagi masyarakat setempat dan masyarakat sekitar, maupun dalam konteks yang lebih luas.
    Selain itu, manajerial dari TNBBS harus memerlukan seorang manajer berjiwa rimbawan dan mampu menyusun strategi dan taktik pengelolaan yang bervariasi sekaligus adaptif terhadap kondisi riil lapangan. Pola-pola pengelolaan konvensional yang sangat bergantung pada kebijakan dan arahan pusat harus ditinggalkan. Kemampuan menganalisis para pemangku kepentingan, membangun jaringan kerja dan penyuluhan konservasi, mengembangkan kolaborasi dengan masyarakat, kelompok-kelompok LSM seperti (Garsy, Watala, Mitra Bentala, Walhi, Wanacala, Ulayat, EKWS, Telapak, Kawan Tani, WWF, WCS, dan YABI), perguruan tinggi, serta lembaga donor internasional sudah harus prasyarat minimum.
    Saya yakin, dengan demikian di masa mendatang diharapkan tidak akan muncul lagi pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi, hakikat, dan konsekuensi penetapan taman nasional. Kemudian hubungannya dengan hak-hak masyarakat terhadap sumber daya yang ada di dalamnya termasuk permasalahan ’’perambah’’ yang belum kunjung selesai-selesai. Semoga BBTNBBS dan kita semua saling memahami akan pentingnya keseimbangan alam untuk kelangsungan hidup manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. (*)



Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Radar Lampung : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/42791-bersih-bersihlah-tnbbs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar