Minggu, 19 November 2017

NEGERI ULALA VS NEGERI PANCASILA

Suatu ketika, saya berdiskusi dengan seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa. Kami bertemu secara tida sengaja diperjalanan kelembaga pemerintah. Kami mencoba bertukar nomor handphone dan akhirnya kami banyak berdiskusi kesana kemari. Hingga pada suatu obrolan selalu terbersit dalam benakku, bahwa temanku ini banyak menyinggung soal berbagai permasalahan yang ada di negeri Ulala. Negeri Ulala yaitu negeri yang teramat sangat indah untuk dilupakan, sebab tanahnya subur, rakyat makmur, dan yang paling aneh yaitu rajanya juga Ulala.

Disinilah kami berdiskusi tentang negeri itu dengan saling melempar joke-joke segar. Namun dalam hal satu ini, dia sepertinya serius. Dia bertanya tentang Pancasila. "Bung, coba kau jelaskan tentang negeri yang memakai Pancasila dijadikan sebagai pedoman hidup, dasar negera itu? Apakah tidak keblinger? Kita di negeri Ulala saja tidak memakai itu saja bisa makmur, rakyat aman tenteram?"
Aku mencoba menanggapinya, "Hei sahabat, sepanjang jalan kenangan dari buku-buku yang saya baca tentang negeri tetangga kita itu, mereka MERDEKA bukan karena pemberian. Mereka berjuang dari semangat yang dikobarkan oleh semua elemen bangsa. Mereka bersatu. Sejarah mencatat, justeru masa-masa penjajahan dari Inggris, Belanda, Jepang, dan sekutu-sekutunya hingga berabad-abad membuat mereka belajar, bahwa politik DEVIDE ET IMPERA (strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah) merupakan politik yang sangat merugikan mereka, sehingga masa-masa sulit selama berabad-abad itu mereka lalui dengan semangat untuk belajar. Beda dengan negeri Ulala kita ini, tanpa perjuangan, dan merdekapun itu pemberian bukan hasil pejuangan. Betul tidak? Hehehe, akhirnya dengan sedikit tercenang dan mengaminkan, kita tertawa bersama-sama.

"Kenapa mereka bisa bersatu ya Bung? Jika dilihat dari pulaunya saja mustahil mereka bisa bersatu, kenapa tidak membuat negara dimasing-masing kepulauannya itu?" sahut temanku itu.

Lantas aku jawab, "Sahabat, bagaimanapun kita bisa belajar dari mereka, bahwa kelas sosial didalam masyarakat justeru menimbulkan kesenjangan. Seperti anak saudagar, keturunan raja (priyayai) dll nya itu bisa sekolah dengan fasilitas dari penjajah, sehingga bisa sekolah hingga keluar negeri. Namun berbeda dengan masyarakat biasa alias "wong cilik" tidak bisa sekolah dan hanya layak dijadikan pelayan saja. Inilah hebatnya, anak-anak priyayi, pemuka agama, tokoh adat, dan rakyat di negeri tetangga kita itu, mereka sadar akan penderitaan rakyat kecil dari Sabang sampai Merauke, sehingga mereka bersatu dengan dibarengi semangat perjuangan untuk merdeka dari penjajah".

"Kalau itu sih juga sama saja Bung, dimana-mana juga dilatar belakangi dari penderitaan bersama. Gak ada ada yang spesial tuh sepertinya?" timpal temanku yang sedikit tidak terima.

Kemudian dengan nada datar saya jelaskan kembali,"Bat, kita belajar lagi yok. Coba bayangkan sekelas priyayi yang bisa sekolah tinggi menanggalkan egonya dari mana latar belakangnya untuk menularkan ilmu kepada saudara-saudaranya rakyat kecil, yang pemuka agama mengobarkan keyakinan perjuangan melawan penjajah itu jihad, yang tokoh adat juga mengobarkan semangat perlawanan agar nilai-nilai warisan leluhurnya tidak tergilas oleh Westernisasi, yang rakyat kecil mereka "manut" alias ikut kata orang-orang yang ngerti taktiknya untuk merdeka. Beda kayak negeri kita Bat, kebanyakan pada sok tau, sok ngerti, suka komen, suka curiga, njelek-njelekin negerinya sendiri, rakyatnya tidak mau berjuang dengan darah dan keringatnya. Kamu mau ngerasasin gak gimana mereka berjuang saat itu, gampangnya gini aja kamu lari 1 km aja bawa beras 1 kg aja kamu kasih kesaudara kita yang jadi gelandanga disana itu?".

Temanku itu menggeleng-gelengkan kepala pertanda dia tidak sanggup. Hehehe. Kids jaman now gitu lhoh.

"Mereka itu Bat, walaupun berbeda-beda pendapat, suku, bangsa, agama, budaya, bahasa tapi bisa bersatu. Karena mereka ikut para pemimpinnya, ikut ulamanya, ikut pemuka agamanya, pengen budayanya tetap lestari, pengen bebas bersama-sama, sehingga kita tahu ada makna-makna dan peristiwa bersejarah yang patut kita acungi jempol. Seperti Sumpah Pemuda, Resolusi Jihad, Proklamasi, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945, Hari Pahlawan, dan banyak sekali peristiwa lainnya. Mereka disatu sisi tidak meninggalkan budayanya, tetapi mereka juga tidak anti dengan perubahan-perubahan yang terjadi Bat". ujarku.

Dengan mengangguk-anggukan kepalanya, sahabatku itu sepertinya meresapi betul perjuangan para pahlawan negeri Pancasila itu. Seolah-olah dia malu dengan dirinya sendiri. Lalu dia bertanya lagi, "Bung, Pancasila itu apa sih?".

Aku jawab saja dengan singkat, "Sepengetahuanku Bat, Pancasila itu ideologi dasar bagi negara Indonesia yang diambil dari bahasa Sansekerta, yaitu panca berarti lima dan sīla berarti prinsip atau asas. Jadi Pancasila itu kayak rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia, gitu bat. Mereka merumuskan Pancasila juga merupakan hasil dari berbagai pengalaman sejarah yang sudah mereka lalui. Kayak di Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka menyadari bahwa di negeri Indonesia itu terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, sehingga pada prinsipnya mereka adalah masyarakat yang ber-Tuhan, tidak memaksakan dengan satu agama untuk dijadikan dasar bernegara, karena akan menimbulkan perpecahan kembali".


Sahabatku itu memotong diskusi karena ia ada meeting di kantornya, dia bilang "Bung, nanti kita gali lebih tentang Pancasila itu. Sepertinya menarik, karena negera yang sangat luas itu kok bisa bersatu padu begitu ya?". 
"Aku siap-siap aja bat, tapi kita saling belajar ya. Jangan cuman aku aja yang menjawab bat, nanti kita ajak yang lain". Ucapku padanya.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar