Sabtu, 01 Oktober 2022

KEBUTUHAN STANDARDISASI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI INDONESIA

 Faridh Almuhayat Uhib H. S.Hut., M.Si[1]

Pada berbagai bentang alam di muka bumi terdapat berbagai macam formasi hutan berdasarkan tempat tumbuhnya, antara lain hutan hujan tropika, hutan musim, hutan kerangas, hutan gambut, hutan rawa, hutan pantai dan hutan mangrove. Mangrove merupakan tanaman yang memiliki peranan penting dalam menjaga kestabilan ekosistem laut terutama di wilayah pesisir laut.

Kata mangrove merupakan kombinasi antara Bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu spesies yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Protugis, mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kustanti, 2011).

Mangrove adalah hutan pantai yang ditemukan di muara yang terlindung dan di sepanjang tepi sungai dan laguna di daerah tropis dan subtropis. Istilah mangrove menggambarkan keduanya ekosistem dan famili tumbuhan yang telah beradaptasi khusus untuk hidup di lingkungan pasang surut (FAO, 2007).

Menurut statistik global tercatat luas total mangrove seluruh dunia yaitu 135.882 km2 dan Asia merupakan benua yang memiliki luas mangrove terluas disusul dengan Amerika Utara dan Amerika Tengah, dan Afrika. Lima negara (Indonesia, Australia, Brasil, Meksiko dan Nigeria) bersama-sama menyumbang 42 persen dari total luas global, dan 64 persen dari total luas mangrove ditemukan hanya di sepuluh negara (Giri et al., 2011). Indonesia merupakan negara yang menyumbang hampir 22,6% luas mangrove seluruh dunia.

Luas hutan mangrove di Indonesia seluas pada tahun 2013 hingga tahun 2019 mencapai 3.311.242 ha yang tersebar di pulau Sumatera seluas 666.438 ha, Jawa seluas 35.910 ha, Kalimantan seluas 735.886 ha, Bali-Nusa Tenggara seluas 34.834 ha, Sulawesi seluas 118.891 ha, Maluku seluas 221.560 ha, dan Papua seluas 1.497.723 ha. Wilayah yang paling luas yaitu di Papua yang hampir menguasai 50% luas mangrove secara nasional. Pada tahun 2021 luas hutan mangrove di Indonesia seluas 3.364.081 ha atau meningkat sebesar 52.839 ha (Gambar 1).

Gambar 1. Luas Hutan Mangrove Indonesia (Sumber: Direktorat PDASRH, KLHK. 2022)

 

Manfaat Mangrove

Komunitas mangrove yang tumbuh di wilayah pesisir laut telah terbukti memberikan banyak manfaat ekologi maupun manfaat ekonomi bagi masyarakat bahkan manfaat bagi kedaulatan negara. Manfaat secara ekologi, ekosistem mangrove berfungsi sebagai penjaga keberlangsungan habitat laut yaitu menjaga mata rantai makanan/sumber makanan spesies yang ada, dan menjadi tempat hidup biota laut. Dari aspek ekonomi, mangrove dapat menunjang perekonomian masyarakat yang merupakan bagian dari satu kesatuan ekosistem wilayah pesisir melalui pemanfaatan bahan kayu, tempat pariwisata, penghasil obat-obatan dan makanan olahan.

Dari aspek fisik, ekosistem mangrove mampu menahan abrasi air laut, menurunkan kandungan CO2 (4-5 kali lipat menyerap karbon-Blue Carbon), menahan badai dan angin yang bermuatan garam, penambat bahan penceramar di perairan pantai. Di sisi lain mangrove dapat berperan dalam pengendalian perubahan iklim. Berbagai studi memperkirakan penyerapan karbon dari ekosistem mangrove sebesar ± 10 – 31% emisi tahunan dari sektor penggunaan lahan. Penelitian lain juga memperkirakan cadangan karbon mangrove di Indonesia ± 891,70 ton C/ha dengan total cadangan karbon mangrove nasional ± 2,89 Tt C. Potensi penyerapan karbon mangrove di Indonesia ± 52,85 ton CO2/ha/tahun, sehingga total potensi penyerapan karbon mangrove nasional ± 167 Mt CO2/tahun sampai 170,18 Mt CO2/tahun.

Dari sisi geopolitik, mangrove berperan penting juga dalam menjaga kedaulatan politik Indonesia berupa keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah hutan mangrove berada di pesisir-pesisir yang merupakan titik pangkal terluar untuk batas Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinental wilayah Indonesia dengan batas wilayah laut negara lain disekitarnya merupakan garda terdepan kedaulatan negara.

Pengelolaan Mangrove di Indonesia dan Tantangan Permasalahan

Pengelolaan mangrove di Indonesia dari masa ke masa memiliki karakteristik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo memberikan mandat dalam merehabilitasi mangrove seluas 600.000 ha dalam kurun waktu tahun 2021 – 2024 dengan memfokuskan di sembilan provinsi prioritas yaitu Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Terdapat pesan penting Presiden terkait rehabilitasi mangrove yang merupakan “lampu hijau” bagi  pengelolaan mangrove dimasa yang akan datang,  baik dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian, pengawasan, dan penegakan hukum. Rehabilitasi merupakan salah satu langkah dalam upaya perbaikan dalam pengelolaan mangrove. Pada prinsipnya, pengelolaan mangrove yang sukses tidak telepas dari dari pengaturan wilayah atau tata ruang yang mendukung kelestarian lingkungan hidup wilayah pesisir, maka dibutuhkan berbagai instrumen yang melandasinya.

Sebagai landasan pengelolaan hutan mangrove yang lestari, terdapat beberapa peraturan perundang-undanganyang dijabarkan dalam kerja-kerja yang dilakukan pemerintah bersama stakeholder terkait untuk mencapai kondisi lingkungan hidup yang lestari dan mencegah kerusakan ekosistem mangrove secara sistematis.  Beberapa perundangan tersebut antara lain Undang-Undang (UU) Dasar 1945, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 6 Tahun 1994 tentang Konvensi Perubahan Iklim, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Perpres Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional

Hingga saat ini, berbagai permasalahan dan tantangan pengelolaan mangrove masih sering mengemuka. Permasalah dan tantangan yang dimaksud antara lain terkait dengan konversi lahan, pencemaran limbah domestrik dan limbah berbahaya lainnya, illegal logging dan eksploitasi sumber daya mangrove secara berlebihan, konsep tata ruang wilayah yang belum mengakomodir perlindungan kawasan mangrove, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove, dan penegakan hukum yang belum optimal. Selain itu pengelolaan database mangrove juga belum terorganisir secara optimal.

Kebutuhan Instrumen Standardisasi dalam Pengelolaan Mangrove

Menjawab permasalahan pengelolaan mangrove di Indonesia dibutuhkan strategi dalam upaya mencegah kerusakan, melestarikan, dan menambah jumlah luasan hutan mangrove melalui identifikasi kebutuhan standar instumen pengelolaan hutan mangrove antara lain:

Pertama, Instrumen perencanaan tingkat nasional. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam program pengelolaan hutan berkelanjutan telah memiliki target yaitu menurunnya laju penyusutan hutan. Lebih spesifik dijabarkan dalam sasaran kinerja terkait ekosistem mangrove yaitu meningkatnya kualitas ekosistem mangrove. Maka hal tersebut menjadi bagian kerja dari seluruh elemen masyarakat termasuk K/L serta stakeholder terkait lainnya untuk dapat andil dalam peningkatan kualitas ekosistem mangrove.

Peningkatan kualitas akan beriringan dengan semakin terkelola ekosistem mangrove, maka perlu standar pengelolaan mangrove sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, sampai pelaporan pelaksanaan program. Dalam hal perencanaan, mangrove telah mendapatkan “fokus” kerjanya melalui target lima tahunan. Untuk mendorong instrumen perencaan dapat terimplementasi maka terdapat direktorat yang menanganinya dan badan khusus yang membidangi untuk mencapai target tersebut.

Hingga saat ini, penting untuk diberikan perhatian khusus terkait ekosistem mangrove agar masuk dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan strategis di semua tingkatan (pusat hingga daerah) dalam bentuk standar dan prosedur pengelolaan eksosistem mangrove yang berkelanjutan sesuai dengan karakteristik wilayah di Indonesia.

Kedua, instrumen target kelola ekosistem mangrove. Sebagai landasan pencapaian target pengelolaan ekosistem mangrove pada tahun 2045 yaitu  pemulihan mangrove seluas 3,49 juta ha, salah satu instrumen target yang digunakan yaitu Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja, Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional yang merupakan penjabaran dari Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Sebagai intrumen pencapaian target di lapangan diperkuat dengan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Dalam peraturan tersebut juga telah diatur upaya dan langkah yang harus dilakukan dalam rangka mencapai target di tahun 2030. Implementasi FOLU Net Sink 2030 akan menegaskan kedudukan dan martabat Indonesia sebagai party terhadap UNFCCC dan pemenuhan komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 . Pengelolaan ekosistem mangrove dan gambut yang berkelanjutan menjadi sangat penting dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca disebabkan ekosistem mangrove dan gambut memiliki kemampuan menyerap emisi karbon lebih besar dibanding ekosistem hutan daratan (KLHK, 2022).

Ketiga, instrumen dukungan teknis. Hal-hal terkait dengan teknis seperti pembibitan, penanaman, pelaksanaan monitoring, dapat menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah tersedia, atau dengan peraturan terkait. Sebagai contoh dalam penanganan benih, saat ini telah ada SNI 7513:2008 tentang Penanganan benih dan bibit bakau (mangrove).

Contoh teknis lain yaitu dukungan standar penanaman dengan mengikuti formasi alam dan menggunakan bibit yang dapat beradaptasi dengan lingkungan habitat pesisir. Seperti bagian terdepan pantai yang berbatasan langsung dengan laut lepas sebaiknya ditanam dengan jenis-jenis Avicennia sp dan Sonneratia sp, kemudian di belakangnya dengan Rhizophora sp dan Bruguiera sp. Pada bagian peralihan dengan ekosistem rawa ataupun persawahan menggunakan jenis Nipa (Nypa fruticans) hingga membentuk jalur hijau yang dapat menjaga fungsi ekologis ekosistem mangrove. Struktur zonasi seperti pada Gambar 2 (Karmiasih, E. 2007).


Gambar 2. Struktur zonasi mangrove dari tepi laut hingga daratan

Instrumen teknis lain yang dibutuhkan yaitu penyediaan informasi geospasial (IG) untuk mendukung database mangrove. Terdapat SNI 7717-2020 tentang Spesifikasi IG Mangrove skala 1:25.000 dan 1:50.000. Di dalam SNI tersebut berisi dukungan dalam pengadaan peta mangrove nasional yang dimutakhirkan secara berkala. Kelas tutupan tajuk dalam SNI tersebut terdiri dari 3 kelas, yaitu: 1) Mangrove lebat (70 - 90%), 2) Mangrove sedang (30 - 70%), dan 3) Mangrove jarang (0 - 30%). Pengelompokkan potensi habitat mangrove terbagi kedalam 5 (lima) kelas, yaitu area terabrasi, mangrove terabrasi, lahan terbuka, tambak, dan tanah timbul (akresi).

Keempat, instrumen penguatan paradigma pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu dan rasional. Instrumen penguatan paradigama pengelolaan mangrove tentu harus disusun dengan melihat spesifikasi dari ekosistem mangrove di berbagai wilayah di Indonesia. Hal tersebut harus dilakukan secara terpadu dan rasional berdasarkan kebutuhan pengelolaan yang akan dilakukan sehingga dapat menjadi “guidance” dan kontrol atas aktivitas pengelolaan yang dilakukan.

Kusmana (2009) menjabarkan secara terperinci bahwa paradigma pengelolaan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya mangrove harus berdasarkan pada basis ekologis atau filosofi konservasi, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menjaga mangrove dari kerusakan. Dalam hal ini yang sangat penting adalah upaya mengoptimasikan konservasi sumberdaya mangrove yang dapat memenuhi kebutuhan hidup (barang dan jasa) masyarakat di satu pihak dan menjamin keanekaragaman hayatinya di pihak lain. Langkah kedua yaitu mangrove dikelola berdasarkan pada prinsip kelestarian dimana mangrove merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources). langkah ini lebih menekankan bahwa sumberdaya mangrove harus dapat dipanen secara berkelanjutan, sementara ekosistem mangrove itu sendiri dapat dipertahankan secara alami seperti semula. Langkah ketiga yaitu preservasi sebagian areal mangrove yang betul-betul tidak terganggu (pristine mangrove forest) yang dalam hal ini mangrove menjadi biodiversity bank atau biological resources.

Berbagai instrumen diatas penting dalam pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan di Indonesia. Diharapkan dapat dihasilkan berbagai standar pendukung pengelolaan mangrove berdasarkan karakteristik wilayah, sehingga standar pengelolaan dapat tepat guna dan mudah untuk diterapkan sesuai pengaturan wilayah atau tata ruang yang terpadu dengan prinsip kelestarian lingkungan.

 

Foto: Rehabilitasi Mangrove di Percut, Deli Serdang, Sumatera Utara tahun 2014 (Dokumen Pribadi)


DAFTAR PUSTAKA

Food Agriculture Organisation. 2007. The Worls’s Mangrove 1985.Rome. Italy

Giri, C.; Ochieng, E.; Tieszen, L.L.; Zhu, Z.; Singh, A.; Loveland, T.; Masek, J.; Duke, N. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Glob. Ecol. Biogeogr. Page, 20, 154–159. [Akses: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x dan https://www.fao.org/forestry/mangrove/3643/en/ ]

Karmiasih, E. 2007. Pemanfaatan Ekosistem Mangrove bagi Minimasi Dampak Bencana di Wilayah Pesisir. JMHT Vol. XIII (3): 182-187. Bogor: Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2022. Rencana Operasional indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Jakarta.

Kusmana, Cecep. 2009. Pengelolaan Sistem Mangove Terpadu. Makalah Workshop Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jawa Barat. Jatinangor, 18 Agustus 2009

Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor

 

Tulisan dipublikasi di Majalah Standar yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Vol. 1 No. 5 (2022) yang dapat diunduh pada tautan: Tampilan Vol 1 No 5 (2022): STANDAR: Better Standar Better Living (menlhk.go.id)


[1] Tim Perencana Program dan Kegiatan, Sekretariat BSILHK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar